BANYAK dokter cenderung mau gampang saja, lantas memberi
klofibrat pada pasien untuk menurunkan kadar kholesterol. Cara
begini, demikian Ir. Eddy Hartanuh, ahli penyakit jantung di
Jakarta, "seperti satu pertemuan goodbye saja." Maksudnya,
harapan sang pasien terpenuhi dan sang dokter pun terhindar
dari kepusingan.
Soalnya ialah Bundesgesundheitsamt (BGA), dinas kesehatan di
Jerman Barat, telah melarang obat penurunan kadar kholesterol
itu. Sejak berlakunya larangan itu Januari lalu, banyak timbul
reaksi di mana-mana, baik pro maupun kontra.
Kholesterol menyempitkan pembuluh darah dan karenanya terjadi
serangan jantung yang bisa berakibat mati. Bila dijaga kadar
kholesterol -- kalau perlu diturunkan, selamatlah anda. Tapi
persoalannya tidaklah begitu sederhana Sebagian besar
kholesterol dihasilkan oleh tubuh sendiri, sebagian kecil dari
makanan. Kadarnya yang dianggap normal antara 180 mg sampai 250
mg per 100 ml darah. Bila mencapai 300 mg, ia mulai
membahayakan. Diperlukan satu pemeriksaan yang rumit untuk
menentukannya. Tidaklah cukup dengan suatu sore hari ke dokter
untuk bisa langsung diketahui tingkat bahaya penyakit ini,
apalagi obatnya.
Tak Berlaku
BGA pernah selama 5 tahun mengakan penelitian terhadap 10.627
pasien, yang disponsor oleh WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia)
bersama ICI, produsen obat Jerman yang terkemuka. Hasil
penelitiannya, seperti dilaporkan oleh majalah British Heart
Journal no. 40, 1979, menilai manfaat obat klofibrat ini tidak
banyak, dibanding dengan risiko efek samping yang dialami
pasien, seperti gangguan metabolisme, kelainan fungsi hati dan
kanker usus.
Alasan BGA melarangnya, seperti dikemukakan oleh direkturnya,
Gunther Lawandowski, bertujuan membatasi penggunaan klofibrat
terhadap kasus yang penting saja. Namun peraturan pembatasan
agaknya sukar diterapkan seperti terbukti dengan phenformin --
obat anti diabetes, yang juga di Indonesia sudah 2 tahun
dilarang.
Di Indonesia klofibrat beredar dengan berbagai nama seperti
Arterol, keluaran Darya-Varia, Atromid-S dari ICI, Clofipront
500 dari Mack, dan Liprinal dari Mead Johnson. Larangan BGA di
Jerman itu saja memang tidak berlaku di Indonesia, tetapi ia
pasti menimbulkan tanda tanya terhadap keamanan obat ini.
Dalam hal ini dr. Iwan Darmansjah, Kepala Bagian Farmakologi
FKUI, yang juga anggota tim penilai obat jadi Depkes,
menerangkan bahwa Indonesia tidak perlu tergesa-gesa ikut
melarangnya. "Yang penting adalah mencegah jangan sampai terjadi
penyalahgunaan."
Menurut dr Darmansjah, karena ada unsur keuntungan dari
pemberian obat ini, dokter mendorong penggunaannya menjadi
berlebihan, sehingga pasti menimbulkan bermacam efek negatif.
"Kita memang mengetahui bahwa setiap obat membawa risiko
tertentu, tetapi soalnya bagaimana menekan penggunaannya sekecil
mungkin," ujar Darmansjah. Ia menganjurkan para dokter supaya
pemberian klofibrat dibatasi sampai dosis seperlunya saja.
Tak ada negara lain yang menganggap perlu untuk mengikuti
larangan BGA itu. Misalnya IKS -- lembaga penilai obat di Swiss
-- tidak melihat alasan untuk mengambil tindakan drastis.
Committee on Safety of Medicine di Inggeris masih akan mengikuti
perkembangan dengan seksama. Hanya Selandia Baru bersikap
menunda penentuan tarif obat itu, yang berakibat menyulitkan
peredarannya.
FDA dari Amerika Serikat, yang terkenal ganas, juga tidak
mengambil tindakan tergesa-gesa. Tapi Sidney Wolfe Direktur
Perhimpunan Penelitian Kesehatan (HRG) di Amerika Serikat,
menganggap bahwa kini alasan untuk melarang klofibrat lebih kuat
dan meyakinkan. Risiko yang terkandung dalam penggunaan obat ini
melebihi manfaatnya, kata Dr. Wolfe.
Perancis tidak bermaksud untuk melarangnya. Klofibrat di negeri
itu dihasilkan oleh Fournier dengan nama Lipanthyl
(fenofibrate). J-L. de Gennes, dokter ahli di sana, menulis
dalam suratkabar Le Monde bahwa dalam penelitian yang disponsori
WHO, klofibrat diberikan kepada pasien yang semestinya tidak
memperoleh obat itu, sehingga menimbulkan efek samping yang
negatif. Seharusnya klofibrat hanya diberikan kepada mereka yang
kadar kholesterol dan trigliserida memang tinggi, demikian Prof.
de Gennes.
Boehringer Mannheim, perusahaan farmasi raksasa di Jerman Barat,
akhirnya mendapat angin dengan pemasaran obat penurun kadar zat
lemak, hasil produksinya. Bezafibrate -- demikian nama obat itu
-- dipropagandakannya sebagai tidak mengandung klofibrat. Dan
BGA mengizinkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini