Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

1978: Tahun Apa Kiranya?

Pemberitaan yang paling menonjol pada th 1978 adalah tentang menteri P & K Daoed Joesoef dan Menhankam M. Jusuf, sehingga tahun ini cenderung disebut "tahun Yusuf". (nas)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 1978 yang kemarin lewat barangkali cenderung disebut "Tahun Yusuf". Setidaknya selama tengahan kedua 1978 itu Menteri P&K Daoed Joesoef dan Menteri lankam M. Jusuf dapat pemberitaan, dan sambutan, yang teramai dalam dan lewat media massa. Orang boleh kaget atau ragu, gembira ataupun menebak-nebak, tapi mereka membicarakannya. Setidaknya suasana yang agak beku pada tengahan pertama 1978 dengan segeberubah. Awal tahun lalu memang ditandai ketidak-tenteraman. Sejumlah koran penting tibatiba dilarang terbit, kampus didatangi pasukan keamanan dan beberapa pemimpin mahasiswa ditahan. Sejak itu memang tidak ada ramai-ramai, kecuali di beberapa kampus seperti di ITB. Tak terdengar teriakan, tak ada demonstrasi. Tenang. Tapi kebungkaman itu apakah menenteramkan? Lalu, alhamdulillah, Presiden Soeharto dilantik. Wakil Presiden Adam Malik dilantik. Kabinet baru diumumkan. Menteri P&K yang baru dengan segera mengumumkan rencara dan gagasannya tentang "normalisasi kampus". Banyak juga suara dari kalangan mahasiswa yang menolak, atau meragukan konsep Daoed Joesoef itu. Namun setidaknya Daoed Joesoef menunjukkan siap dengan sebuah gagasan yang menuntut pemikiran -- bukan sekedar dekrit. Suatu perdebatan yang bermutu tinggi memang belum terbit setelah itu. Tapi, biarpun dengan agak penuh emosi serta prasangka, para pengecam dan pendukung akhirnya terlibat dalam semacam diskusi. Agak terbatas, tapi cukup luas. Diskusi luas berarti juga partisipasi. Orang nampaknya lebih menyukai adanya saling asah pendapat yang berbeda-be da ketimbang membiarkan "inggih" yang palsu. Kepatuhan yang terpaksa toh sama maknanya dengan menolak. Maka mungkin memang lebih baik mereka mengambil sedikit risiko dengan ungkapan yang agak berani, daripada membiarkan situasi terkena sampar ketakutan. Sebab apa jadinya bangsa ini, jika baik yang di atas maupun orang di bawah, serba takut? Tak disangka-sangka terhadap pertanyaan itu masuklah jawaban, dari Menteri Hankam Jusuf. Yang dilakukannya sebenarnya hal yang biasa saja. Ia datang untuk melihat kehidupan prajurit dan keluarganya. Ia melihat penderitaan. Dan seperti halnya para prajurit bawahan yang tak lari dari penderitaan, meskipun mungkin mengaduh diam-diam Menteri Jusuf juga tak ingin kita lari dan menoleh dari kenyataan buruk. Lebih penting lagi, kenyataan itu tak hendak disembunyikannya dari rakyat Indonesia, ibu dan bapak kandung yang sering disebut-sebut itu. Ringkasnya: tidak ada ketakutan. Tak ada ketakutan untuk membiarkan suara dari bawah berbicara secara sebenarnya. Tak ada ketakutan untuk memblarkan orang lain tidak takut. Menteri Jusuf suatu ketika berkata, kita ingin membentuk sebuah bangsa yang berwatak bukan bangsa yang lain bicaranya bila berdepan-depan, dan lain lagi jika berbisik di belakang. Mudah-mudahan. Banyaknya justa dan sikap terpaksa munafik masih mencemaskan, memang. Tapi jika harapan tidak ada lagi, buat apa tahun 1979?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus