TAHUN 1978 yang kemarin lewat barangkali cenderung disebut
"Tahun Yusuf". Setidaknya selama tengahan kedua 1978 itu Menteri
P&K Daoed Joesoef dan Menteri lankam M. Jusuf dapat
pemberitaan, dan sambutan, yang teramai dalam dan lewat media
massa. Orang boleh kaget atau ragu, gembira ataupun
menebak-nebak, tapi mereka membicarakannya.
Setidaknya suasana yang agak beku pada tengahan pertama 1978
dengan segeberubah. Awal tahun lalu memang ditandai
ketidak-tenteraman. Sejumlah koran penting tibatiba dilarang
terbit, kampus didatangi pasukan keamanan dan beberapa pemimpin
mahasiswa ditahan. Sejak itu memang tidak ada ramai-ramai,
kecuali di beberapa kampus seperti di ITB. Tak terdengar
teriakan, tak ada demonstrasi. Tenang. Tapi kebungkaman itu
apakah menenteramkan?
Lalu, alhamdulillah, Presiden Soeharto dilantik. Wakil Presiden
Adam Malik dilantik. Kabinet baru diumumkan. Menteri P&K yang
baru dengan segera mengumumkan rencara dan gagasannya tentang
"normalisasi kampus". Banyak juga suara dari kalangan mahasiswa
yang menolak, atau meragukan konsep Daoed Joesoef itu. Namun
setidaknya Daoed Joesoef menunjukkan siap dengan sebuah gagasan
yang menuntut pemikiran -- bukan sekedar dekrit. Suatu
perdebatan yang bermutu tinggi memang belum terbit setelah itu.
Tapi, biarpun dengan agak penuh emosi serta prasangka, para
pengecam dan pendukung akhirnya terlibat dalam semacam diskusi.
Agak terbatas, tapi cukup luas.
Diskusi luas berarti juga partisipasi. Orang nampaknya lebih
menyukai adanya saling asah pendapat yang berbeda-be da
ketimbang membiarkan "inggih" yang palsu. Kepatuhan yang
terpaksa toh sama maknanya dengan menolak. Maka mungkin memang
lebih baik mereka mengambil sedikit risiko dengan ungkapan yang
agak berani, daripada membiarkan situasi terkena sampar
ketakutan. Sebab apa jadinya bangsa ini, jika baik yang di atas
maupun orang di bawah, serba takut?
Tak disangka-sangka terhadap pertanyaan itu masuklah jawaban,
dari Menteri Hankam Jusuf. Yang dilakukannya sebenarnya hal yang
biasa saja. Ia datang untuk melihat kehidupan prajurit dan
keluarganya. Ia melihat penderitaan. Dan seperti halnya para
prajurit bawahan yang tak lari dari penderitaan, meskipun
mungkin mengaduh diam-diam Menteri Jusuf juga tak ingin kita
lari dan menoleh dari kenyataan buruk. Lebih penting lagi,
kenyataan itu tak hendak disembunyikannya dari rakyat Indonesia,
ibu dan bapak kandung yang sering disebut-sebut itu. Ringkasnya:
tidak ada ketakutan.
Tak ada ketakutan untuk membiarkan suara dari bawah berbicara
secara sebenarnya. Tak ada ketakutan untuk memblarkan orang lain
tidak takut.
Menteri Jusuf suatu ketika berkata, kita ingin membentuk sebuah
bangsa yang berwatak bukan bangsa yang lain bicaranya bila
berdepan-depan, dan lain lagi jika berbisik di belakang.
Mudah-mudahan. Banyaknya justa dan sikap terpaksa munafik masih
mencemaskan, memang. Tapi jika harapan tidak ada lagi, buat apa
tahun 1979?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini