Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nobel yang <font color=#FF0000>Menggoyang Cina</font>

Pemerintah Cina bereaksi keras atas pemberian Hadiah Nobel Perdamaian kepada tahanan politik Liu Xiaobo. Menggugat campur tangan parlemen Norwegia.

18 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT siang dua pekan lalu, semua acara televisi yang dikendalikan pemerintah Cina tiba-tiba terhenti. Kendati sensor sangat ketat, kejadian itu tergolong tak lazim di Negeri Tembok Raksasa, yang selama beberapa tahun terakhir sudah biasa menerima siaran dari mancanegara.

Bahkan siaran berita dari parabola beberapa kali ikut terhenti. Di layar kaca cuma muncul bintik-bintik. Hari itu di Norwegia sedang berlangsung pengumuman pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang disiarkan ke seluruh dunia.

Terhentinya siaran televisi di Cina tak pelak berkaitan dengan terpilihnya Liu Xiaobo, pesakitan politik yang kini ditahan di sebuah penjara di Beijing, sebagai penerima Nobel Perdamaian. Cina jelas tak mau berita seperti itu muncul di layar kaca.

Kementerian Luar Negeri Cina serta-merta mengeluarkan pernyataan keras yang menyebut pemberian Nobel itu merusak hubungan Cina dan Norwegia. ”Apa yang dilakukan justru bertentangan dengan tujuan Nobel Perdamaian,” kata Ma Zhaoxu, juru bicara kementerian.

Bisa dimaklumi bila pemerintah Cina merasa dicoreng dengan pengumuman ini. Liu adalah narapidana yang dihukum sebelas tahun penjara oleh pengadilan Beijing pada Natal tahun lalu. Dia dianggap terbukti melakukan tindakan subversif dan agitasi terhadap negara dengan menerbitkan Piagam 08, yang mengkritik kebijakan Cina soal hak asasi manusia (lihat ”Piagam Vaclav, Nobel Xiaobo”).

Liu tercatat sebagai orang ketiga peraih Nobel yang ditahan pemerintahnya. Sebelumnya, pada 1991, ada Aung San Suu Kyi dari Burma. Ada pula Carl von Ossietzky dari Jerman pada 1935.

Beijing menuding Nobel buat Liu merupakan tanda Norwegia tak menghormati sistem hukum Cina. ”Pemberian Nobel ini maksudnya apa?” kata Ma. Dia menilai kemajuan pesat Cina dalam sepuluh tahun terakhir mengkhawatirkan banyak negara. Padahal Cina sudah mencapai banyak kemajuan, terutama soal keterbukaan dan penegakan hak asasi manusia. ”Mengapa kemajuan ini tak dihargai?”

Pemberian Hadiah Nobel bagi Liu dianggap sebagai aksi politik untuk menyerang bangsa Cina. ”Bila mereka tak senang bangsa Cina maju, ingin mencampuri politik dan sistem hukum Cina dengan cara seperti ini, mereka salah besar,” Ma menambahkan.

Sikap keras Cina bukan gertak sambal. Selama dua pekan terakhir, dua kunjungan pejabat Cina ke Norwegia dibatalkan. Yang pertama, dua anggota kabinet Cina batal bertemu dengan rekannya di Norwegia. Kemudian ada kunjungan 17 pejabat senior dari kementerian kehakiman. ”Kami kecewa pertemuan penting itu dibatalkan,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Norwegia, Ragnhild Imerslund.

Pemerintah Cina juga menangkapi para pendukung Liu yang merayakan pemberian Hadiah Nobel itu. Di Hong Kong, puluhan pendukung Liu Xiaobo ditahan. Beijing juga melarang Liu Xia, istri Liu Xiaobo, pergi ke Oslo guna mengambil Hadiah Nobel untuk suaminya. ”Saya baru dari penjara menjenguk suami saya,” katanya melalui Twitter. Telepon rumahnya diputus, begitu pula telepon selulernya. Dia menambahkan saat ini ”ditahan” di rumahnya. Pemerintah Norwegia ataupun Amerika Serikat dan Inggris tak bersuara mengenai tindakan keras Beijing terhadap Liu. Presiden Barack Obama hanya menyatakan menghormati Nobel tersebut.

Sebaliknya, dua sekutu Amerika di Asia, yaitu Jepang dan Taiwan, mengecam dan meminta pemerintah Cina melepas Liu. Tak ketinggalan Dalai Lama yang berada di pengasingan.

Perdana Menteri Jepang Naoto Kan ”pasang badan”. ”Hak asasi manusia tak mengenal batas negara, karena itu melepas Liu Xiaobo sangat diharapkan,” ujarnya di gedung parlemen. Tindakan Kan boleh dibilang sangat berani. Sebelumnya, Jepang kalah oleh Cina di medan diplomasi mengenai dua insiden di Laut Cina Timur.

Kendati tetap tegas, suara Taiwan terkesan lebih lunak. ”Kalau dia bisa dibebaskan, rakyat Taiwan akan menghargai,” ujar Presiden Ma Ying-Jeou di depan para ekspatriat di Taipei Arena.

”Beijing mesti mengubah kebijakannya lebih transparan,” ujar juru bicara Dalai Lama yang tak mau dikutip namanya di Bandar Udara Internasional Narita, Jepang. ”Kendati situs Internet diblokir, masyarakat bisa chatting.” Dalai Lama adalah penerima Nobel 1989 dan Obama peraih Nobel 2009.

l l l

Protes Cina didukung cendekiawan Barat yang menganggap Nobel Perdamaian kali ini bersifat politis. Fredrik S. Heffermehl, seorang juri Nobel, tak sepakat dengan anggota panitia lain. Melalui situs World Association of International Studies yang dikelola Universitas Stanford, Amerika Serikat, Heffermehl menilai Nobel itu sebuah kesalahan. Panitia Nobel pun dinilainya tak sah karena ada campur tangan parlemen Norwegia.

”Dengan segala hormat kepada Liu Xiaobo, inilah contoh kesekian campur tangan parlemen Norwegia, bukan lagi keputusan murni panitia Nobel,” tulis Heffermehl. Nobel Perdamaian, menurut dia, untuk mendukung pencegahan perang.

Maka ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi kandidat: ada upaya perdamaian dunia, perubahan dalam hubungan internasional, dan penghentian penggunaan militer. ”Dalam konteks itu, boleh diberikan kepada pejuang bidang hak asasi manusia, demokrasi, pengurangan kemiskinan, dan pelestarian lingkungan,” ujarnya. Namun, bagi Heffermehl, apa yang dilakukan Liu belum berdampak internasional, baru pada tingkat dalam negeri Cina.

Profesor psikologi sosial dari Universitas Sains dan Teknologi Norwegia, Arnulf Kolstad, menilai politisasi Nobel sudah terjadi sejak awal. Panitia Nobel mengaku bebas kepentingan dan independen, tapi pada kenyataannya dipimpin bekas perdana menteri dan presiden parlemen Norwegia.

Dia menilai panitia Nobel cuma ingin mempromosikan nilai Barat ke seluruh dunia. ”Padahal belum tentu cocok dan bahkan kontradiktif dengan tujuan awalnya, yaitu menghargai perbedaan.”

Kolstad menuding Amerika, Inggris, dan Norwegia dalam 50 tahun terakhir paling agresif memaksakan kehendak dan memulai perang dengan negara lain, seperti di Irak dan Afganistan. ”Ironis kalau begini,” ujar profesor yang kerap berbeda pendapat dengan sesama cendekiawan Barat itu.

Yophiandi (AFP, New York Times, Vancouver Sun, VOA, Xinhua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus