FIDEL Castro telah memperlakukan KTT Non-Blok di Havana bagalkan
rapat intern partai. Setidaknya gitulah kesan golongan moderat
yang cukup jengkel terhadap sikap Presiden Kuba itu. Dari semula
dia dicurigai hendak menyelewengkan KTT ini ke pihak Uni Soviet.
Tindak-tanduknya cenderung begitu. Namun hasil KTT itu sendiri,
walaupun tidak memuaskan semua anggota, belum menyeleweng
betul.
Hari Minggu lalu, terlambat dua hari dari jadwal semula, KTT
Havana diakhiri setelah sidang semalam suntuk. Seusai
menyampaikan pidato penutupannya, Castro masih dapat tepuk
tangan para delegasi yang meriah. Mungkin pula tepuk tangan itu
karena KTT Non-Blok tidak jadi terpecah seperti yang ditakutkan
semula.
Tercapai suatu kesepakatan baru yang tersusun dalam sebuah
deklarasi. "Usaha mencari perdamaian dunia pada hakekatnya
berkaitan dengan perjuangan kita melawan imperialisme,
kolonialisme neo-kolonialisme, apartheid, rasialisme dan
zionisme." Kutipan ini memberi kesan bahwa gerakan Non-Blok
masih berpijak pada kemurniannya. Paling tidak seperti yang
tercantum di atas kertasnya. Toh, sejak didirikannya organisasi
ini di Beograd tahun 1961 ia sudah menampilkan citra 'anti
imperialis'.
Namun pertemuan puncak ke VI itu ang dihadiri 45 kepala negara
dari 96 negara anggotanya tak bisa membebaskan diri dari
pertentangan yang memang 'ada' di antara sesama anggota. Dua
masalah besar, yaitu kedudukan Mesir dan masalah siapa yang
berhak mewakili Kamboja, merupakan topik yang hampir
menghabiskan energi para peserta.
Mesir yang setelah persetujuan Camp David menjadi seteru
kelompok negara Arab hampir saja dikucilkan dari pertemuan itu.
Apalagi pihak tuan rumah menunjukkan simpatinya yang
berlebih-lebihan kepada kelompok negara Arab radikal. Untung
saja seorang pendiri Non-Blok, Marsekal Josip Broz Tito tampil
dengan garis moderat. Tito mengingatkan bahwa bagaimanapun Mesir
punya sejarah dalam mendirikan gerakn Ini.
Biro Kordinasi
Tapi sebuah resolusi yang mengutuk persetujuan Camp David dan
perjanjian terpisah Mesir-Israel (Maret 1979) berhasil
disepakati sidang. Ditambah dengdn pembentukan panitia Ad Hoc
yang terdiri dari anggota Biro Kordinasi untuk menilai kembali
kedudukan Mesir. Panitia itu akan bersidang di New Delhi tahun
1981 guna menentukan apakah Mesir akan dikeluarkan atau tetap
dalam gerakan itu.
Soal Kamboja yang tak bisa diputuskan dalam sidang tingkat Menlu
negara Non-Blok di Colombo Juni laiu juga merupakan bahan
perdebatan yang cukup sengit. Kuba sebagai tuan rumah ingin
cepat-cepat agar kursi Kamboja dibiarkan kosong saja. Padahal
masih banyak perbedaan pendapat di kalangan delegasi dalam
melihat kasus ini. Jalan tengah akhirnya ditemukan juga, namun
kursi Kamboja sampai akhir sidan tetap dikosongkan. Presiden
Khiu Sampan yang mewakili rejim Pol Pot yang sudah digulingkan
dan begitu pula leng Samrin yang didukung Vietnam terpaksa
terus menerus berada di luar wilayah persidangan. Sebuah
resolusi Havana memutuskan bahwa kontroversi ini yaitu siapa
yang berhak mewakili Karmboja pun akan ditentukan oleh Biro
Kordinasi dalam sidangnya di New Delhi tahun 1981.
Di luar keramaian pembicaraan tentang masalah rawan, secara
sayup kedengaran juga himbauan kelompok negara miskin. Sekali
ini yang kena tuding tentu saja para anggota OPEC yang kaya
karena minyak. Presiden Bangladesh Ziaur Rachman, misalnya,
mengharapkan agar produsen minyak yang menjadi anggota Non-Blok
hendaknya memberikan bantuan ekonomi yang lebih efektif kepada
negara sedang berkembang. Apalagi diketahui sebagian besar
anggota OPEC juga menjadi anggota Non-Blok. Sementara itu PM
Jamaica Michael Manly selain menghimbau negara produsen minyak
agar menanamkan modalnya di negara sedang berkembang, juga
mengeritik tingkah beberapa negara OPEC. "Kami sangat sedih
melihat petro dollar yang merupakan hasil keringat rakyat
miskin dari negara sedang berkembang diinvestasikan di negara
yang ekonominya sudah maju," kata Michael Manly. Bahkan dia juga
menganjurkan negara produsen minyak membicarakan secara bersama
'cara menjadikan dolar bermanfaat bagi mereka yang miskin'.
Hanya anjuran tentunya.
Bagi Indonesia khususnya, KTT ini agak mengecewakan. "Konperensi
mencatat dengan rasa khawatir bahwa sekalipun telah diputuskan
dalam KTT ke V, rakyat Timor Timur masih berada di bawah
dominasi asing." Itu tercantum dalam suatu bagian dari
deklarasinya. "Adalah hak rakyat Timor Timur," demikian
deklarasi Havana ini, "untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai
dengan resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/IX."
Jadi, KTT ini tidak mengakui kenyataan bahwa Timor Timur sudah
aman dan memilih masuk Republik Indonesia. Tidak mengherankan
bahwa Wapres Adam Malik meninggalkan Havana sebelum KTT itu
berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini