PENGGUNAAN "kurang wajar" Rp 24 milyar di BPP Priok. Kepala
berita harian Suara Karya akhir Agustus lalu cukup mengagetkan
pembaca. Banyak yang bertanya apakah akan terungkap korupsi atau
manipulasi yang lebih besar dari kasus Budiadji atau Siswadji?
Bcrita harian yang merupakan suara Golkar itu mengungkapkan,
satu tim yang anggotanya terdiri dari beberapa instansi kini
sedang meneliti penggunaan uang negara yang "kurang wajar" di
Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) Tanjung Priok sebesar Rp 24
milyar. Ini dilakukan berdasar permintaan Badan Pemeriksa
Keuangan (Bepeka) yang mengirim surat pada Menteri Perhubungan
berdasar pemeriksaannya pada BPP Tanjung Priok 20 Desember 1978
sampai 29 Januari 1979.
Ada 22 masalah yang dinilai kurang wajar dan mencurigakan dalam
penggunaan anggaran pembangunan di pelabuhan Tanjung Priok.
Antara lain:
Hingga 31 Desember 1977 masih tertunggak kewajiban perusahaan
terhadap negara sebesar Rp 10.415.708. 022.
Belum ada kepastian tentang jumlah tagihan BPP terhadap PT
Dahan sehubungan dengan sewa/denda penumpukan barang-barang
milik PT Krakatau Steel. Penerimaan PT Dahan dari PT Krakatau
Steel sebesar Rp 675 juta belum diperhitungkan oleh BPP.
Investasi swasta sebesar p 3.63(). 231.647 belum dapat
diyakini kewajarannya.
Pekerjaan tambahan berupa Sly Circle (bangunan penahan tanah
dan tiang pancang) dan pekerjaan ekstra seharga Rp 2.857.978.076
dilaksanakan oleh PT Tropical Jaya yang penunjukannya tanpa
tender. Dalam proses selanjutnya didapati beberapa kali
perubahan mengenai volume dan harga borongan pekerjaan yang
belum jelas sebabnya.
Menjawab pertanyaan pers, Menteri Perhubungan mengatakan kasus
yang diteliti bukan hanya tahun anggaran 1977/1978 tapi sejak
1974/1975. Ia mengatakan angka Rp 24 milyar itu "kurang benar".
Perbedaan kesimpulan itu karena perbedaan interpretasi. Tapi ia
berjanji untuk menyelesaikan masalah ini dan akan mengambil
tindakan hukum atau administrati bila memang ada kelainan yang
bertentangan dengan peraturan.
Penelitian Bepeka itu agaknya didasarkan pada hasil pemeriksaan
tim 5 orang dari Inspektorat Jenderal Departemen Perhubungan
yang dilakukan September sampai Oktober 1978. Hasil pemeriksaan
tim ini menuding J.E. Habibie, bekas Administrator Pelabuhan
Tanjung Priok yang sekarang menjabat Sekretaris Ditjen
Perhubungan Laut sebagai "pelaku utama dan penanggungjawab
perbuatan penyelewengan tersebut."
Apa komentar J.E. Elabibie sendiri? Sekretaris Ditjen Perla yang
sering dipanggil Fanny ini pekan lalu berucap: "Saya juga heran
jumlah 24 milyar itu dari mana?".
Dijelaskan bekas Adpel Tanjung Priok antara 1972-1978 ini, dalam
susunan organisasi BPP Tanjung Priok selain ada organisasi
intern, ada juga organisasi ekstern yang mengikutsertakan unsur
Departemen Perhubungan, Keuangan dan Bappenas berbentuk suatu
Steering Committee, diketuai Sekjen Departemen Perhubungan.
Panitia ini ikut langsung mengendalikan proyek, hingga "semua
yang saya kerjakan dulu itu dilakukan dengan seijin dan
sepengetahuan Steering Committee," lanjut J.F Habibie kepada
TEMPO pekan lalu di ruang kerjanya.
Diakuinya, tidak semua pengeluaran dilakukan lewat prosedur DIP.
Atas permintaan Bank Dunia dan IBRD -yang turut serta membiayai
Proyek Perluasan dan Modernisasi Tanjung Priok--sering harus
dilakukan perubahan pada rencana, yang agar segera dapat
dilaksanakan terpaksa ditomboki atau dibiayai langsung dari
penghasilan BPP. "Kondisi waktu itu memerlukan kecepatan. Dan
steering committtee waktu itu mengesankan," kata Habibie.
Menteri Perhubungan awal Juli lalu telah mengirimkan teguran
pada Dirjen Perla agar pelaksanaan proyek tetap mengikuti
ketentuan prosedur sesuai Keppres no. 12/1977, agar tidak
menimbulkan kejanggalan administratif. Pelampauan dan perubahan
anggaran agar dilakukan melalui revisi DIP dan taglhan yang
belum dilakukan agar segera ditagih.
Tidak Pernah Bayar Pajak
Teguran Menteri Perhubungan itu terutama mengenai masalah
prosedur yang kurang tepat. Tidak disinggung misalnya mengenai
tunggakan kewajiban perusahaan pada negara sebesar Rp 10 milyar
lebih. Menurut J.E. Habibie, telah dilakukan langkah-langkah
perbaikan, terutama agar kesalahan prosedur ini tidak terulang.
Bagaimana tentang tagihan pada PT Krakatau Steel? "Waktu itu
banyak sekali pellet besi milik Krakatau Steel tertumpuk di
Priok yang memakan ruangan. Ini mengganggu karena ruangannya
tidak bisa dimanfaatkan. Saya berkonsultasi dengan Tim Walisongo
yang menganjurkan saya bicara dengan Menteri Sumarlin yang
mengetuai Tim Krakatau Steel," cerita J.E. Habibie. Sumarlin
meminta agar pellet ini bisa dikeluarkan dan biayanya
diperhitungkan kemudian. "Kalau saya sekarang diperintah
menagih, ya akan saya laksanakan dong," kata Habibie.
Lalu tentang tunggakan pada negara sebesar lebih Rp 10 milyar?
"Kalau yang dimaksud itu pajak, memang BPP sejak dulu tidak
pernah bayar pajak," tegas Habibie Jumlah sebesar itu mungkin
karena ditambah bunga yang menumpuk. "Baru setelah saya menjabat
Adpel pajak-pajak itu mulai saya cicil," lanjutnya.
Pembangunan Tanjung Priok menurut Habibie dilakukan dengan biaya
DIP, pinjaman Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia,
penghasilan BPP sendiri dan swasta. "Bagaimana saya bisa
mengajak swasta kaau mereka tidak melihat keuntungan," katanya
menanggapi kritik mengapa pembangunan Tanjung Priok tidak
dibiayai sendiri oleh BPP.
Toh J.E. Habibie menyadari kekurangannya "Saya tahu dalam
mengelola perusahaan yang begitu besar ada kesalahan dan
kebocoran." Tapi "saya merasa bersih." Ia tidak keberatan kalau
masalah ini dibawa sampai pengadilan. "Untuk itu saya siap
setiap saat," katanya.
Adpel Tanjung Priok sendiri Yulius Tiranda pekan lalu menantang
pers untuk berani mengungkapkan di koran kalau memang ada
penyelewengan di BPP Tanjung Priok. "Ungkapkan saja, bila itu
memang benar," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini