Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Habibie siap dipanggil

Badan pemeriksa keuangan meneliti penggunaan kurang wajar dalam anggaran pembangunan di badan pengusahaan pelabuhan tanjung priok sebesar rp 24 milyar karena tidak melalui prosedur dip. (nas)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGGUNAAN "kurang wajar" Rp 24 milyar di BPP Priok. Kepala berita harian Suara Karya akhir Agustus lalu cukup mengagetkan pembaca. Banyak yang bertanya apakah akan terungkap korupsi atau manipulasi yang lebih besar dari kasus Budiadji atau Siswadji? Bcrita harian yang merupakan suara Golkar itu mengungkapkan, satu tim yang anggotanya terdiri dari beberapa instansi kini sedang meneliti penggunaan uang negara yang "kurang wajar" di Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) Tanjung Priok sebesar Rp 24 milyar. Ini dilakukan berdasar permintaan Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka) yang mengirim surat pada Menteri Perhubungan berdasar pemeriksaannya pada BPP Tanjung Priok 20 Desember 1978 sampai 29 Januari 1979. Ada 22 masalah yang dinilai kurang wajar dan mencurigakan dalam penggunaan anggaran pembangunan di pelabuhan Tanjung Priok. Antara lain:  Hingga 31 Desember 1977 masih tertunggak kewajiban perusahaan terhadap negara sebesar Rp 10.415.708. 022.  Belum ada kepastian tentang jumlah tagihan BPP terhadap PT Dahan sehubungan dengan sewa/denda penumpukan barang-barang milik PT Krakatau Steel. Penerimaan PT Dahan dari PT Krakatau Steel sebesar Rp 675 juta belum diperhitungkan oleh BPP.  Investasi swasta sebesar p 3.63(). 231.647 belum dapat diyakini kewajarannya.  Pekerjaan tambahan berupa Sly Circle (bangunan penahan tanah dan tiang pancang) dan pekerjaan ekstra seharga Rp 2.857.978.076 dilaksanakan oleh PT Tropical Jaya yang penunjukannya tanpa tender. Dalam proses selanjutnya didapati beberapa kali perubahan mengenai volume dan harga borongan pekerjaan yang belum jelas sebabnya. Menjawab pertanyaan pers, Menteri Perhubungan mengatakan kasus yang diteliti bukan hanya tahun anggaran 1977/1978 tapi sejak 1974/1975. Ia mengatakan angka Rp 24 milyar itu "kurang benar". Perbedaan kesimpulan itu karena perbedaan interpretasi. Tapi ia berjanji untuk menyelesaikan masalah ini dan akan mengambil tindakan hukum atau administrati bila memang ada kelainan yang bertentangan dengan peraturan. Penelitian Bepeka itu agaknya didasarkan pada hasil pemeriksaan tim 5 orang dari Inspektorat Jenderal Departemen Perhubungan yang dilakukan September sampai Oktober 1978. Hasil pemeriksaan tim ini menuding J.E. Habibie, bekas Administrator Pelabuhan Tanjung Priok yang sekarang menjabat Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut sebagai "pelaku utama dan penanggungjawab perbuatan penyelewengan tersebut." Apa komentar J.E. Elabibie sendiri? Sekretaris Ditjen Perla yang sering dipanggil Fanny ini pekan lalu berucap: "Saya juga heran jumlah 24 milyar itu dari mana?". Dijelaskan bekas Adpel Tanjung Priok antara 1972-1978 ini, dalam susunan organisasi BPP Tanjung Priok selain ada organisasi intern, ada juga organisasi ekstern yang mengikutsertakan unsur Departemen Perhubungan, Keuangan dan Bappenas berbentuk suatu Steering Committee, diketuai Sekjen Departemen Perhubungan. Panitia ini ikut langsung mengendalikan proyek, hingga "semua yang saya kerjakan dulu itu dilakukan dengan seijin dan sepengetahuan Steering Committee," lanjut J.F Habibie kepada TEMPO pekan lalu di ruang kerjanya. Diakuinya, tidak semua pengeluaran dilakukan lewat prosedur DIP. Atas permintaan Bank Dunia dan IBRD -yang turut serta membiayai Proyek Perluasan dan Modernisasi Tanjung Priok--sering harus dilakukan perubahan pada rencana, yang agar segera dapat dilaksanakan terpaksa ditomboki atau dibiayai langsung dari penghasilan BPP. "Kondisi waktu itu memerlukan kecepatan. Dan steering committtee waktu itu mengesankan," kata Habibie. Menteri Perhubungan awal Juli lalu telah mengirimkan teguran pada Dirjen Perla agar pelaksanaan proyek tetap mengikuti ketentuan prosedur sesuai Keppres no. 12/1977, agar tidak menimbulkan kejanggalan administratif. Pelampauan dan perubahan anggaran agar dilakukan melalui revisi DIP dan taglhan yang belum dilakukan agar segera ditagih. Tidak Pernah Bayar Pajak Teguran Menteri Perhubungan itu terutama mengenai masalah prosedur yang kurang tepat. Tidak disinggung misalnya mengenai tunggakan kewajiban perusahaan pada negara sebesar Rp 10 milyar lebih. Menurut J.E. Habibie, telah dilakukan langkah-langkah perbaikan, terutama agar kesalahan prosedur ini tidak terulang. Bagaimana tentang tagihan pada PT Krakatau Steel? "Waktu itu banyak sekali pellet besi milik Krakatau Steel tertumpuk di Priok yang memakan ruangan. Ini mengganggu karena ruangannya tidak bisa dimanfaatkan. Saya berkonsultasi dengan Tim Walisongo yang menganjurkan saya bicara dengan Menteri Sumarlin yang mengetuai Tim Krakatau Steel," cerita J.E. Habibie. Sumarlin meminta agar pellet ini bisa dikeluarkan dan biayanya diperhitungkan kemudian. "Kalau saya sekarang diperintah menagih, ya akan saya laksanakan dong," kata Habibie. Lalu tentang tunggakan pada negara sebesar lebih Rp 10 milyar? "Kalau yang dimaksud itu pajak, memang BPP sejak dulu tidak pernah bayar pajak," tegas Habibie Jumlah sebesar itu mungkin karena ditambah bunga yang menumpuk. "Baru setelah saya menjabat Adpel pajak-pajak itu mulai saya cicil," lanjutnya. Pembangunan Tanjung Priok menurut Habibie dilakukan dengan biaya DIP, pinjaman Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, penghasilan BPP sendiri dan swasta. "Bagaimana saya bisa mengajak swasta kaau mereka tidak melihat keuntungan," katanya menanggapi kritik mengapa pembangunan Tanjung Priok tidak dibiayai sendiri oleh BPP. Toh J.E. Habibie menyadari kekurangannya "Saya tahu dalam mengelola perusahaan yang begitu besar ada kesalahan dan kebocoran." Tapi "saya merasa bersih." Ia tidak keberatan kalau masalah ini dibawa sampai pengadilan. "Untuk itu saya siap setiap saat," katanya. Adpel Tanjung Priok sendiri Yulius Tiranda pekan lalu menantang pers untuk berani mengungkapkan di koran kalau memang ada penyelewengan di BPP Tanjung Priok. "Ungkapkan saja, bila itu memang benar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus