Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelukan hangat, senyum, dan jabat tangan erat mengawali pertemuan dua tokoh penting, di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, Ahad 4 Maret lalu. Yang satu mengenakan pakaian tradisional Arab: jubah dengan kafiyeh menghias kepala. Yang lain mengenakan pakaian Barat: jas lengkap berdasi. Lebih dari soal pakaian, Raja Abdullah, penguasa monarki Arab Saudi, mewakili umat Suni Arab, sedangkan Presiden Mahmud Ahmadinejad mewakili umat Syiah dari negeri mullah, Iran.
Keduanya sepakat memadamkan api kemarahan di antara umat Sunni dan Syiah di Irak lewat aneka teror: dari serangan bom bunuh diri hingga berondongan peluru. Juga agar tidak menyebar ke seluruh Jazirah Arab. ”Iran dan Saudi sepenuhnya sadar terhadap ancaman musuh kami,” ujar Ahmadinejad.
Dua hari kemudian di Irak sekitar 10 ribu umat Syiah—kebanyakan berjalan kaki—berbondong menuju Karbala, kota suci kaum Syiah, sekitar 100 kilometer di selatan Ibu Kota Bagdad. Tujuannya memperingati Hari Asyura, saat kematian Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad yang dibunuh pasukan Sunni pimpinan Yazid bin Muawiyah, pada abad ke-7. Sebelum iring-iringan itu tiba di Karbala, dua bom bunuh diri meledak di Hilla. Tubuh-tubuh pun bersimbah darah. Tercatat, 90 orang tewas dan 160 orang luka-luka.
Pada hari yang sama, di Bagdad delapan penduduk Syiah tewas ketika berondongan peluru menembus dinding bus mereka yang sedang melintas di distrik Sunni, Dura. Di bagian Kota Bagdad lainnya, sekitar 15 orang tewas dan 47 luka-luka akibat ledakan bom mobil. Perdana Menteri Nuri-al Maliki, seorang Syiah, pun berang. Ia menuduh serangan itu didalangi pengikut bekas Presiden Saddam Hussein, simbol kekuatan politik Sunni pada masa lalu.
Perjalanan ke Karbala adalah catatan panjang perseteruan politik kaum Suni-Syiah yang berjubah agama. Abbas Ghatie Ali, 32 tahun, nekat berjalan kaki meski serangan terhadap kaum Syiah terus berlangsung. ”Umat Syiah adalah kaum mayoritas dan kami akan membela idiologi dan doktrin kami,” ujar Ali. Begitu juga Khadija Taufik Muhsin, 39 tahun. Saudara lelakinya terbunuh tahun lalu dalam perjalanan ke Karbala, toh ia nekat berangkat berjalan kaki. ”Teroris memberi kami kesempatan pergi ke surga,” katanya.
Menurut Ghanim Hashem Kudhir, dosen sejarah Islam modern Universitas Mustansiriya, sikap sektarian Ali dan Khadija bukan soal perbedaan dogma agama antara Sunni dan Syiah, tapi hanyalah jejak pengalaman kolektif kelompok tertindas pada masa Saddam Hussein masih berkuasa. Kaum Syiah melihat diri mereka sebagai kelompok tertindas, sedangkan kaum Sunni sebagai penindas. ”Bagi kaum Syiah, hidup di bawah pemerintahan Sunni seperti hidup di bawah pemerintah aparteit,” ujar Vali Nasr, pejabat pemerintah Irak.
Ketika konflik sektarian belum mengguncang, penduduk Sunni di Adhamiyah, Bagdad, biasa menyeberangi Sungai Tigris bertandang ke Khadamiya, permukiman kaum Syiah. Muhammad al-Shammari mengenang suasana pada suatu malam bersama kawannya di Khadamiya. Dosen sastra Arab ini seorang Sunni. Ia kerap makan malam di kedai makan Adhamiya yang buka hingga tengah malam. ”Tak ada yang menanyakan apakah kami Syiah atau Sunni,” ujar Al-Shammari. Kala itu bagi kalangan berpendidikan tidak lazim menanyakan sekte orang lain. Sehingga dia baru tahu ternyata temannya seorang Syiah.
Perkawinan campuran Sunni-Syiah pun hal yang biasa, khususnya di kalangan yang berpendidikan. Fatah, seorang teknisi komputer penganut Syiah, melamar pacarnya Zahra kepada ayahnya, seorang penganut Sunni, pada 2002. Lamarannya diterima ayah Zahra tanpa keraguan. Pasangan itu menikah beberapa hari sebelum Amerika menyerbu Irak. ”Banyak tamu yang juga merupakan pasangan campuran (Sunni-Syiah),” ujar Zahra.
Ketika Saddam Hussein, simbol dominasi politik minoritas Sunni atas mayoritas Syiah terjungkal, keadaan berubah secara radikal. Penduduk Suni dan Syiah mempersenjatai diri. Harga senjata AK-47 buatan Cina melonjak empat kali lipat, menjadi Rp 7,3 juta. Versi aslinya, buatan Rusia, Rp 11 juta. PBB mencatat 6.000 rakyat Irak tewas akibat kekerasan sektarian pada Mei dan Juni tahun lalu. Satu jumlah yang tak ada bandingannya sejak Saddam Hussein jatuh pada 2003.
Perkawinan campuran Sunni-Syiah semakin berkurang dan menjadi tidak lazim. Ayah Zahra, penduduk Sunni di Bagdad, sedih melihat adiknya tak diizinkan mengikuti jejaknya menikah dengan seorang laki-laki Syiah. ”Dia orang yang sama,” ujar Zahra menirukan penolakan ayahnya. Kini situasinya semakin parah. ”Sekarang, jika seorang ayah membolehkan anak perempuannya menikah dengan seorang Syiah, tetangga akan mempertanyakan,” ujar Zahra.
Soal sebenarnya adalah pertempuran dominasi politik, baik dalam skala lokal satu negara Arab maupun regional Jazirah Arab. Raja Yordania Abdullah pada awal 2004 memperingatkan kebangkitan Syiah mulai dari Iran melewati Irak dan Suriah hingga Libanon. Meski pemerintah Syiah di Bagdad didukung Amerika, di mata kebanyakan rakyat Arab hal ini menunjukkan ekspansi pengaruh Iran.
Pemimpin Sunni Arab mulai melontarkan retorika mereka melawan kaum Syiah secara umum dan Iran secara khusus. Presiden Mesir Husni Mubarak pada 2006 menyatakan, sebagian besar kaum Syiah patuh pada Iran, tidak pada negeri tempat mereka hidup. Setelah gelombang protes muncul dari Irak dan negara lain, Mubarak berkilah bahwa pernyataannya hanya menyangkut soal agama.
Di wilayah dominan Sunni di Palestina, pendukung Fatah memberikan stempel lawan mereka, Hamas, sebagai organisasi Syiah. Padahal Hamas berakar dari gerakan Ikhwanul Muslimin yang merupakan penganut Sunni di Mesir. Raja Abdullah menyatakan kepada diplomat Iran bahwa campur tangan Iran di Irak mengancam wilayah itu. Ia juga menuduh Iran berhasrat menyebarkan paham Syiah di negeri Sunni. Tapi tak ada bukti yang sahih kelompok Syiah mencoba memurtadkan umat Sunni, atau sebaliknya.
Eksekusi Saddam pada saat jam salat subuh ketika umat Sunni merayakan Hari Raya Idul Adha sehari sebelum umat Syiah juga dianggap sebagai tindakan pemerintah Syiah mempermalukan umat Sunni. ”Itu cara mereka menyatakan kepada kami: ’Kami yang berkuasa sekarang, dan Anda sangat lemah dan bahwa saat liburan kalian pun tak lagi punya makna’,” ujar analis media Kadhim al-Mukhdadi. ”Sejak pagi itu saya tak lagi berharap keadaan menjadi lebih baik,” katanya.
Kebencian telah menyelinap, menyusup di antara masyarakat. Ada seorang Sunni yang mempertaruhkan jiwanya untuk menyelamatkan penduduk Syiah. Othman al-Obeidi, 25 tahun, seorang Suni, nekat terjun ke Sungai Tigris untuk menyelamatkan enam dari ratusan kaum Syiah yang terjun ke sungai karena panik akibat berdesakan di atas jembatan kawasan Adhamiya, Bagdad. Sekitar 1.000 peziarah Syiah tewas dalam tragedi 31 Agustus 2005 itu.
Kini penduduk Sunni Adhamiya malah mencela tindakan Al-Obeidi. ”Dia menyia-nyiakan nyawanya untuk binatang-binatang itu,” ujar Hamza Muslawi. Sebaliknya seorang penjual telepon seluler, Karrar Hussein, 28 tahun, salah seorang peziarah Syiah, menganggap cerita Al-Obeidi hanyalah mitos yang ditiupkan umat Sunni. ”Penduduk (Sunni) Adhamiya malah tertawa dan bersorak ketika umat Syiah tenggelam,” katanya.
Sektarian kini bak racun yang mengalir ke muara yang paling primitif: kekerasan. ”Udara teracuni sektarianisme, dan kami mengisapnya,” ujar Abbas Fadhil, seorang dokter di Bagdad.
Racun itu kini seolah dicoba dinetralkan dua tokoh politik, Raja Abdullah dan Presiden Mahmud Ahmadinejad, yang mewakili Sunni dan Syiah di kawasan Timur Tengah dengan sasaran kepentingan politik kedua negara. ”Mereka (Arab Saudi dan Iran) dapat melontarkan omongan besar tentang mengakhiri konflik sektarian, tapi apa sih yang dapat mereka lakukan?” ujar seorang analis politik Arab Saudi. Iran ingin melepaskan diri dari tekanan Amerika soal nuklir, Arab Saudi ingin menancapkan perannya dalam konflik regional.
Raihul Fadjri (AP, AFP, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo