ALLAHU Akhar! Allahu Akhar!" teriak 500 orang Mujahidin sambil bertepuk tangan. Ketegangan sirna, ditelan kegembiraan yang meluap. Sebagain peserta sidang yang tak kuasa menahan emosi lalu berpeluk-pelukan, sementara puji syukur kepada Tuhan terus bergema. Semua terjadi Kamis malam pekan lalu di Ryadh, ibu kota Arab Saudi, dalam acara penutupan sidang Organisasi Konperensi Islam (OKI). Mereka gembira lantaran sukses menendang pemerintah Afghanistan dukungan Soviet lewat sebuah keputusan. "Konperensi mengundang Mujahidin Afghanistan untuk menduduki kursi negara Afghanistan." Orang yang paling berjasa dalam melincinkan kelahiran keputusan itu adalah Raja Fahd dari Arab Saudi. Tiga pekan lalu, dialah kepala negara pertama yang mengakui pemerintahan sementara Afghanistan. Dia pula orang yang paling gigih mendesak anggota OKI agar memutuskan hubungan dengan rezim Kabul. Selain itu, Arab Saudi adalah pemasok dana dan senjata paling besar bagi Mujahidin. Kendati demikian, Fahd tak mau meremehkan Iran. Karena itu, dia tak ngotot untuk mencatumkan nama pemerintah sementara Afghanistan dalam deklarasi. Cukup Mujahidin saja. Fahd tak mau bentrok dengan Iran, pendukung pejuang Syiah Afghanistan yang masih belum mau bergabung, gara-gara tak diberi porsi layak di Majelis Sura (parlemen) dan kabinet pemerintah sementara itu. Sebaliknya, Iran juga sudah mulai melunak. Tak terdengar protes atau ancaman dari Teheran kepada OKI, yang menolak usul Iran agar mendukung perintah hukuman mati buat Salman Rushdie, si pengarang The Satanic Verses. OKI sepakat bahwa novel itu menghujat Islam, karena itu, "Melarang peredaran Ayat Setan di seluruh negara Islam." Hasil sikap kompromi itu sudah mulai nyata. Dua pekan mendatang, kedua negara Islam itu menjalin hubungan lagi. Itu semua membuat pemerintah sementara Afghanistan optimis. "Secara de facto itu sama dengan pengakuan," ujar Abdul Kadir Karyab, ketua bidang politik kelompok Herb-i-Islami. Sebab, selama ini hanya Persekutuan Islam Mujahidin Afghanistan (IUAM) yang diterima sebagai peninjau dalam sidang OKI. Sebelumnya, sejak tahun 1979, OKI mengosongkan kursi untuk Afghanistan. Dengan alasan, pemerintah Afghanistan tak sah. Selain bahwa idelogi rezim Kabul komunisme, hingga tak layak duduk di sidang OKI, juga karena pemerintah ini sebenarnya tak bisa berdiri tanpa dukungan Soviet. Maklum, Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan (PDRA), sebagai penguasa tunggal di sana, memakai Marxisme-Leninisme sebagai ajaran tertinggi. Sebagai rezim PDRA tak menggubris pemecatan Afghanistan dari OKI. Baru pada tahun 1987, ketika Soviet memutuskan untuk menarik seluruh pasukannya dari negeri tiu, dan kaum Mujahidin tak kunjung surut memperjuangkan jatuhnya rezim kiri, para bos partai mulai merayu dunia Islam. Konsitusi negara diubah. Hukum tertinggi negara yang semula bersumber pada Marxisme dan Leninisme diganti dengan Islam. Presiden Najibullah berkali-kali membujuk Mjahidin agar bersedia duduk di pemerintahan koalisi. Selain itu, Najibullah pun selalu mengirimkan ucapan selamat kepada setiap kepala negara Islam yang berulang tahun atau sedang merayakan hari kemerdekaannya. Najibullah pun tak lupa menulis bismillahirrahmanirrahim sebagai kalimat pembuka. Bahkan tahun lalu, di Kabul, ibu kota Afghanistan, Najibullah menyelenggarakan konrensi Islam internasional, yang juga dihadiri oleh wakil dari Indonesia. Tapi segal jerh payah Najibullah tak pernah digubris oleh OKI. Mereka menganggap pendekatan itu sekedar tipuan politik, karena rezim Kabul tetap tak mau menyingkirkan Marxisme dan Leninisme. Sedangkan sistem multipartai tak pernah dilaksanakan. Maka, OKI pun berbependapat, apalah artinya konsitusi negara Islam kalau yang berkuasa orang komunis. Kini rezim Kabul tentu lebih waswas. Bisa jadi, dengan OKI yang beranggotakan 46 negara di belakang pemerintah sementara Afghanistan, semagat perang para pejuang Islam akan ikut terkatrol.Prg
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini