Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CLAYTON Rhoden, bekas serdadu Amerika Serikat yang sempat terjun berperang di Irak dan Afganistan, kini lebih banyak diam di rumah. Kopral marinir Amerika itu melewatkan hari-harinya dengan bermain game simulasi perang di ruang tengah kediaman orang tuanya di Columbus, Ohio, Amerika. Pemuda 25 tahun itu tidak memiliki pekerjaan tetap.
Untuk menyambung hidupnya, Rhoden—yang ketika menjadi serdadu berpenghasilan US$ 2.500 per bulan—menjual plasma darahnya. Bayaran yang didapat tak seberapa dibanding penghasilannya sebagai tentara. Hanya US$ 80 per pekan. Itu berarti Rhoden hanya mampu mengantongi US$ 320 setiap bulan. Kadang dia mengerjakan gawean kasar dari korps lamanya, tentara cadangan marinir Amerika Serikat.
Tipisnya kocek veteran sepulang perang bukan lantaran mereka malas bekerja. Tak adanya perusahaan yang mau menerima mereka menjadi masalah utama. Pengusaha dan veteran memandang satu sama lain seperti spesies asing. Bagi mereka, dunia sipil dan militer jadi kondisi yang sangat sulit dijembatani. Rhoden mengaku pernah mencoba berbagai macam profesi: dari pelayan restoran, pekerja konstruksi, sampai kurir. Namun tidak ada yang bertahan lama. "Saya butuh pekerjaan yang lebih permanen," ujarnya.
Masalah yang dihadapi Rhoden dipastikan akan melanda ribuan veteran lain: menjadi penganggur pada usia sangat muda, 20-24 tahun. Pejabat Gedung Putih menilai jumlah penganggur akan terus membengkak saat gelombang kepulangan serdadu Amerika dari Irak mulai tiba bertahap akhir tahun ini hingga lima tahun mendatang. "Jumlah veteran di dalam negeri bakal mencapai satu juta dengan usia rata-rata angkatan kerja," demikian pernyataan resmi Gedung Putih seperti dilansir koran terkemuka di Amerika, New York Times.
Sebenarnya, pemerintah Barack Obama berjanji memperjuangkan nasib "pahlawan" perangnya. Salah satu upayanya adalah mendesak banyak perusahaan besar di negara itu agar membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi mereka sepulang dari medan tempur yang mengerikan. Memang ada hasilnya. JP Morgan Chase, perusahaan induk di bidang jasa keuangan yang dinobatkan sebagai perusahaan terbesar di dunia versi majalah Forbes, bersedia mempekerjakan serdadu yang pulang kampung. Begitu juga Verizon, perusahaan internasional di bidang telekomunikasi yang berpusat di Kota New York, tak enggan membuka pintu bagi para veteran.
Dua perusahaan raksasa itu sudah menandatangani kesepakatan mempekerjakan 100 ribu veteran perang Amerika secara bertahap hingga 2020. Jumlah tersebut hampir setengah dari total 220 ribu veteran yang pulang dari Irak dan Afganistan. Lalu ke mana sisanya? Itu masih jadi persoalan. Sebab, faktanya, menurut Theodore Lewis Daywalt, pemimpin Vetjobs.com, situs layanan pencari kerja bagi para veteran, banyak perusahaan beranggapan perekrutan veteran ke dalam struktur bisnis mereka akan merugikan. Itu merupakan stigma yang sulit hilang dari benak para pengusaha Amerika. "Hampir 70 persen perusahaan di Amerika tidak akan mau mempekerjakan veteran," katanya. "Sebab, banyak yang menganggap veteran tidak punya keahlian yang dibutuhkan."
Stigma seperti itu merupakan "musuh" baru bagi para serdadu. Anggapan bahwa veteran hanya beban merupakan penilaian paling kejam yang pernah diterima para veteran. "Bagi mereka (pengusaha), kami seperti bencana," ujar Jeff Mancino, veteran berusia 24 tahun yang sempat bekerja serabutan sepulang perang.
Rhoden masih beruntung. Sebab, ia masih memiliki orang tua dan punya penghasilan kecil-kecilan yang bisa menopang hidupnya. Sedangkan bagi yang lain, Amerika Serikat tempat mereka mengabdi terasa begitu jahat. Berdasarkan data yang dipublikasikan Kementerian Urusan Veteran Amerika, jumlah veteran yang menjadi gelandangan hingga Juni 2011 mencapai 75.700 orang. Jumlah itu, menurut organisasi advokasi veteran Amerika, setara dengan 23 persen dari total gelandangan yang ada di Amerika.
"Ini memprihatinkan. Mereka berpotensi menjadi tunawisma dalam jumlah yang lebih besar dibanding perang di masa lalu (masa Perang Teluk dan Perang Vietnam)," kata Anne Olivia, pejabat Departemen Perumahan dan Pembangunan Kota. Sebab, kondisi ekonomi Amerika belakangan juga dihantam krisis.
Hal yang paling mengkhawatirkan dari semua fakta ini adalah efek psikologis yang harus ditanggung para serdadu sepulang dari medan perang. Beban ekonomi dan stigma negatif veteran bakal berdampak buruk bagi kesehatan mental mereka. Sebuah studi belakangan ini mengungkapkan 300 ribu veteran Amerika dari perang Irak dan Afganistan menderita kelainan jiwa akibat stres pascatrauma.
Para pengamat mengatakan kenyataan tersebut membuktikan pemerintah Amerika gagal dalam tugasnya mempermudah transisi sosial para veteran perang dari kehidupan militer ke kehidupan sipil yang normal. Padahal penempatan tentara ke medan perang seperti Irak bukan pertama kalinya bagi pemerintah Amerika. Mereka menyatakan seharusnya pemerintah sudah memikirkan dampaknya serta menyediakan solusi bagi para veteran.
Gedung Putih memang tidak membantah data soal veterannya yang belum mendapatkan pekerjaan layak seusai perang. Namun, menurut mereka, perjuangan pemerintah Obama untuk menyejahterakan bekas serdadunya masih dalam jalur rencana yang sudah diprogram. Mereka mengklaim, walau masih tinggi, angka veteran yang hidup telantar terus berkurang. Dari Januari 2010 hingga Januari 2011, jumlah bekas tentara telantar turun 12 persen. Angka itu akan dipertahankan hingga tercapai cita-cita pemerintah Obama, yang menginginkan kesejahteraan penuh bagi para veteran pada 2015.
Invasi Amerika di Irak dimulai pada 2003 dengan misi menggulingkan diktator Saddam Hussein. Pada masa puncak perang, lebih dari 170 ribu tentara Amerika ditempatkan di lebih dari 500 pangkalan di negeri seribu satu malam itu.
Rupanya, pesta para serdadu seusai upacara penurunan bendera sebagai tanda berakhirnya masa tugas mereka di Bagdad, Irak, berlangsung singkat. Serangkaian persoalan bakal menghadang mereka sesampai di tanah air. Kampung halaman tidak seramah seperti yang pernah mereka tinggalkan. Amerika kini justru sebuah palagan baru bagi para bekas serdadu.
Sandy Indra Pratama (Press TV, Washington Post)
Veteran dalam Angka
Amerika itu seperti polisi dunia: ikut campur dalam berbagai perang di negara lain. Akibatnya, negara ini menjadi ”produsen” veteran perang terbesar di dunia. Berikut ini catatan dalam angka para bekas serdadu perang Amerika.
Berdasarkan jumlah
Berdasarkan usia
Tingkat pendidikan
Lokasi peperangan
Kondisi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo