Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pembantaian Berkedok Sayembara

Polisi menangkap sembilan tersangka pembunuh orang utan di Kalimantan Timur. Setiap mayat orang utan dihargai Rp 1 juta. Kasus baru terungkap setelah tim dari Markas Besar Kepolisian diterjunkan mengusut pembantaian ini.

26 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TULANG-belulang terhampar di atas meja laboratorium Universitas Mulawarman, Samarinda. Ada tengkorak, tulang lengan, taring, dan jari. Semuanya sekitar sepuluh tulang dan tak ada yang utuh. Warnanya memutih. "Ini kerangka orang utan dewasa," kata Yaya Rayadin, peneliti orang utan, yang menunjukkan tulang itu kepada Tempo, Senin pekan lalu. Warnanya yang putih, kata Yaya, pertanda ia dikubur tak begitu dalam. "Dikubur sekitar lima bulan lalu."

Usia orang utan itu sekitar 30 tahun. Tubuhnya tambun dan bobotnya saat hidup diperkirakan mencapai 120 kilogram. Namun ada yang aneh dari tulang-belulang itu. Di tulang lengan terdapat bekas sabetan benda tajam. Tulang jemarinya juga tak utuh, terputus-putus. "Orang utan ini tewas dibunuh," kata Yaya menyimpulkan.

Yaya menerima sepuluh tulang tersebut dari Kepolisian Resor Kutai Timur, Kalimantan Timur. Polisi hendak memastikan tulang itu adalah orang utan. Jika benar, ia akan digunakan sebagai barang bukti di pengadilan. Tulang itu ditemukan terkubur di area kebun sawit milik PT Prima Citra Selaras di Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur. Orang utan itu diduga dibunuh pada 27 Mei 2011. "Pelakunya sudah kami tangkap Kamis dua pekan lalu," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kutai Timur Ajun Komisaris Sugeng Subagyo kepada Tempo.

Mereka adalah Tajar, 60 tahun, Tulil (56), dan Rahman (57). Polisi masih mengejar Ijul, tersangka lain yang keburu kabur. Menurut Sugeng, keempat karyawan PT Prima ini melihat orang utan, hewan yang memiliki nama latin Pongo pymaeus morio ini itu sedang mengudap tunas sawit yang baru ditanam di area perkebunan. Mereka lalu menangkap, menombak, serta menebas orang utan itu dengan parang. "Mereka merekam adegan itu lewat telepon seluler," ujar Sugeng. Video rekaman itu juga dijadikan barang bukti untuk menjerat mereka.

Peristiwa serupa terjadi di perkebunan sawit PT Sabhantara Rawi Santosa, Desa Jukaya, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur. Mandor kebun dan anak buahnya, yang oleh polisi diinisialkan Li, 32 tahun, dan Ta, 21 tahun, ditangkap akhir November lalu karena dituduh membunuh orang utan. Kepada polisi, keduanya berkukuh hanya mengikat orang utan yang mereka tangkap di area kebun pada Juli lalu. Namun bukti tulang orang utan yang polisi temukan berkata lain. "Mereka menyiksa satu ekor orang utan hingga mati," kata Sugeng.

l l l

Alangkah gembiranya Imam Muhtarom dan Mujiyanto menerima sebuah kabar pertengahan tahun lalu. Widiyanto, kepala kebun PT Khaleda Agroprima Malindo, perusahaan perkebunan kelapa sawit, menawarkan pekerjaan kepada kedua pria berusia 32 tahun itu. Syaratnya, mereka harus punya anjing pemburu. "Kami ditawari menjadi tim pemburu monyet dan orang utan," kata Imam, yang biasa dipanggil Gondrong, kepada Tempo.

Syarat itu tentu saja gampang mereka penuhi. Selama ini, Mujiyanto punya 12 ekor anjing. Gaji yang ditawarkan pun menggiurkan. Per orang diupah Rp 1,2 juta tiap bulan. Ini masih upah mentah, belum bonus. Monyet yang mereka bunuh akan dihargai Rp 200 ribu per ekor. Harga orang utan lebih mahal. "Satu mayat orang utan dibayar Rp 1 juta," ujar Imam.

Tak sampai dua pekan setelah tawaran itu, perburuan dimulai. Menurut Imam, ada dua tim lain yang seperti mereka, berburu orang utan atas perintah PT Khaleda. Pembagian "wilayah kerja" diatur sesuai dengan kebun sawit seluas 16 ribu hektare di Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yaitu wilayah tengah, selatan, dan utara. Imam dan Mujiyanto berburu di wilayah selatan, di Desa Puan Cepak.

Perburuan mereka mirip seperti berburu babi hutan. Ke-12 anjing mereka lepas saat melihat ada orang utan. Anjing-anjing itu kemudian menyerang orang utan. Di tengah pergumulan itu, Imam melepaskan tembakan: dor. Imam memang selalu membawa senapan angin saat berburu untuk menembak orang utan.

Setelah tewas, orang utan itu mereka bopong, dikumpulkan dengan monyet hasil buruan, lalu disusun berjejer dan difoto sebelum dikuburkan di area perkebunan. Imam sendiri, sebagai ketua tim, ikut berpose di depan barisan bangkai tersebut. Foto yang kemudian dicetak tersebut diserahkan kepada Widiyanto sebagai bukti. "Jumlah orang utan dan monyet di foto itu nanti dihitung untuk upah kami," kata Imam.

Foto-foto inilah yang mengungkap aksi keji Imam dan kawan-kawannya. Seorang karyawan perkebunan pada September lalu menyerahkan foto itu kepada wartawan di Samarinda dan Center of Orangutan Protection (COP), lembaga yang sejak empat tahun lalu dibentuk untuk melindungi orang utan. Mereka membentuk tim investigasi dan menemukan 18 kerangka orang utan di area perkebunan di Desa Puan Cepak. "Temuan itu kami laporkan kepada polisi," kata Area Manager COP Kalimantan Timur Arfiana Khairunnisa.

Pada 19 November lalu, polisi menangkap Imam dan Mujiyanto. Imam mengaku baru membunuh dua ekor orang utan. Dari keterangan mereka, polisi mencokok Widiyanto dan Phuah Chuan Hum, Manajer Kebun Senior PT Khaleda. Sedangkan General Manager PT Khaleda yang juga warga negara Malaysia, Aru Mugem Samugem, kini jadi buron. Kedua pejabat perkebunan ini diduga memberi perintah pembantaian puluhan orang utan.

Penyidik menyita dua bundel kertas berisi 20 faktur pembayaran perburuan orang utan, yang mencantumkan Rp 25 juta tiap fakturnya, dari kantor mereka. "Namun faktur ini tidak bisa menjadi acuan jumlah orang utan yang dibantai," kata Kepala Polres Kutai Kartanegara Ajun Komisaris Besar I Gusti Kade Budi Harryarsana. Sembilan tersangka kini meringkuk di ruang tahanan dan dijerat dengan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Mengungkap pembantaian orang utan itu bukan perkara gampang. Pengungkapan di Desa Puan Cepak butuh waktu satu bulan sejak kasus ini diadukan ke polisi. Padahal bukti sangat banyak dan transparan. Media massa juga ramai memberitakan kasus ini. Sumber Tempo menyebutkan kemandekan itu terjadi antara lain karena salah satu komisaris PT Khaleda yang dimiliki pengusaha Malaysia itu adalah purnawirawan jenderal polisi.

Pembantaian itu mulai diusut serius setelah Markas Besar Kepolisian mengirim tim investigasi khusus dari Jakarta untuk menangani kasus ini. Para tersangka ditangkap, dan kasus-kasus pembantaian orang utan di kawasan lain juga mulai dibuka lagi. Menurut sumber Tempo, kedatangan tim juga untuk mengusut siapa saja yang menjadi beking di balik pembantaian tersebut. Tapi Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Anas Yusuf menyanggah kabar bahwa kedatangan timnya untuk membereskan urusan beking-membeking itu. "Kami hanya mensupervisi Polda Kalimantan Timur dalam kasus ini," katanya kepada Tempo.

l l l

Pemilik kebun sawit menganggap orang utan sebagai hama karena sering memakan daun sawit muda yang berusia di bawah satu tahun yang baru ditanam. Menurut Arfiana Khairunnisa, daun sawit muda sebenarnya bukan makanan utama orang utan. "Mereka terpaksa memakannya," katanya. Orang utan kini kehabisan makanan utama, seperti dedaunan, buah, madu, dan semut, untuk bertahan hidup. Semua makanan itu menghilang seiring dengan meluasnya kebun sawit secara sangat cepat di area yang dulunya hutan habitat orang utan itu.

Arfiana dan timnya tak lantas puas dengan ditangkapnya para pembunuh orang utan tersebut. Ia menduga masih banyak kasus pembantaian orang utan yang belum terungkap di area kebun sawit. Media asing, misalnya, menurut dia, pernah menghitung sekitar 750 orang utan dibantai setiap tahun di Indonesia. Jumlah orang utan yang dibantai di Pulau Borneo ini diduga mencapai puluhan ekor sejak awal tahun lalu.

Penduduk setempat tak tahu bahwa membunuh orang utan itu melanggar hukum. Bagi mereka, membunuh orang utan, kata Arfiana, sama dengan membunuh babi hutan karena hewan itu dianggap hama kebun. "Pengelola kebun sawit memanfaatkan ketidaktahuan ini dengan mengupah pemburu dengan kedok sayembara menangkap orang utan," ujarnya.

Imam alias Gondrong mengaku sama sekali tak tahu bahwa membunuh hewan hutan itu melanggar hukum. Saat direkrut sebagai karyawan kebun, ia tak pernah mendapat penjelasan soal itu. Niatnya hanya mengabdi pada perusahaan sawit agar digaji dan bisa menghidupi istri dan dua anaknya. Ia tak pernah membayangkan bahwa membunuh orang utan bakal mengantarkannya ke ruang tahanan. "Kalau tahu (dilarang), ngapain saya kerja begini," katanya.

Juru bicara PT Khaleda, Mirhan, menyatakan para tersangka itu hanya pura-pura tak mengerti bahwa membunuh orang utan dilarang. Perusahaan, kata Mirhan, justru membuat kebijakan melarang pembunuhan orang utan. Perintah perusahaan kepada para pemburu itu, ujar Mirhan, hanya mengusir orang utan dari area perkebunan, bukan malah membunuhnya. "Pembantaian orang utan itu tak pernah ada," ujarnya.

Mustafa Silalahi (Jakarta), Firman Hidayat (Samarinda)


Terjebak di Rimba Sawit

SEJAUH mata memandang, hanya ada hamparan kebun sawit di Desa Puan Cepak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kawasan yang diselingi perbukitan itu memang cepat berubah. Lima tahun lalu, sebagian desa itu masih dipenuhi hutan. Kini, bukan hanya kebun sawit, pabrik crude palm oil pun sudah gagah berdiri di sudut desa itu sejak setahun lalu.

Kebun sawit di desa itu dimiliki PT Khaleda Agroprima Malindo, anak perusahaan Metro Kajang Holdings Bhd, milik pengusaha asal Malaysia. Tak tanggung-tanggung, mereka mengantongi izin membabat 16 ribu hektare lahan hutan itu menjadi kebun sawit. Penanaman dilakukan sejak 2007. "Kami sudah panen sawit satu kali," kata juru bicara PT Khaleda, Mirhan, kepada Tempo.

Perusahaan ini mulai disorot setelah polisi menetapkan status tersangka kepada General Manager PT Khaleda, Aru Mugem Samugem; Phuah Chuan Hum, manajer kebun senior; dan kepala kebun Widiyanto. Mereka dituduh memerintahkan pembantaian orang utan yang masuk ke perkebunan itu sejak tahun lalu. Phuah, warga negara Malaysia, dan Widiyanto sudah ditahan di Kepolisian Resor Kutai Kartanegara sejak dua pekan lalu. Sedangkan Aru kabur dari Pulau Borneo itu. "Polisi sudah melibatkan Interpol untuk mengejarnya," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Ajun Komisaris Sugeng Subagyo kepada Tempo.

Kondisi yang sama terjadi di Desa Jukaya, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur. Hutan di sana sudah disulap menjadi lahan sawit yang dikelola PT Sabhantara Rawi Santosa. Di Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur, idem ditto. PT Prima Citra Selaras mengelola lahan hutan di sana menjadi perkebunan sawit. Kedua perusahaan ini bernasib sama dengan PT Khaleda: karyawannya ditahan karena dituduh membantai orang utan.

Peneliti Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin, menyebutkan saat ini ada sekitar 200 ekor orang utan yang terjebak di sekitar area kebun sawit milik tiga perusahaan tersebut. Perkebunan itu, kata dia, dulunya adalah habitat asli orang utan. Pengelola kebun tidak menyediakan kawasan konsesi khusus bagi para orang utan itu. "Mereka semakin terdesak hingga mencari makan di kebun sawit," ujarnya.

Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur Chairil Anwar menyebutkan, akibat pembantaian orang utan ini, pihaknya sedang memetakan kembali luas hutan di Kalimantan Timur. Pada 2001, Dinas mencatat luas hutan 14,6 juta hektare, sementara total luas provinsi itu 19 juta hektare. Perusahaan sawit itu menggunakan izin area penggunaan lain (APL), yaitu izin mengelola hutan menjadi kebun sawit. Tentang mereka menyerobot hutan lindung dan konservasi, Chairil belum bisa menjawab. "Kami belum bisa memastikannya," katanya.

Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari menebar ancaman. Ia menyebutkan akan langsung menghukum perusahaan yang ketahuan membantai orang utan. "Izin perkebunannya akan kami cabut," ujarnya. Sesuai dengan semangat otonomi daerah, perusahaan tak perlu capek-capek ke Kementerian Kehutanan di Jakarta demi mendapatkan izin mengelola kebun sawit. "Izinnya ada di Bupati," kata Chairil.

Perkara menghukum ini yang sulit. Sejauh ini, polisi menyimpulkan pembantaian orang utan itu merupakan inisiatif individu karyawan, bukan kebijakan perusahaan. Polisi masih kekurangan bukti. Apalagi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak mengatur spesifik hukuman terhadap perusahaan yang terlibat pembantaian hewan langka.

Mustafa S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus