DI tengah hujan lebat, ribuan payung mengembang di muka gerbang "Taman Gorky", Moskow. Di bawahnya, 4.000 demonstran, banyak yang basah kuyup, tekun mendengarkan pidato antikomunis sejumlah politikus dan seniman. Di antaranya terdapat nama kondang, seperti penyair Yevgeny Yevtushenko dan direktur teater Yuri Lyubimov. "Mampuslah para bandit yang merebut kekuasaan pada 1917," teriak Valery Fadeyev, anggota Dewan Kota Moskow, yang disambut meriah para pengunjuk rasa. Yevtushenko mengundang tawa, saat membacakan puisi lucu, menyindir sistem buruk komunis. Sedang Lyubimov menirukan dan mengejek aksen selatan sejumlah pemimpin Kremlin, termasuk Presiden Mikhail Gorbachev. Vitaly Korotich, redaktur majalah progresif Ogonyok, menyamakan aksi protes dengan kongres Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) ke-28, yang dimulai Senin pekan lalu. "Yang satu di bawah atap nyaman berpenyejuk suhu, sedang yang lainnya di bawah hujan, di sini," katanya. Aksi demonstrasi di Taman Gorky itu memang untuk memprotes kongres PKUS. Kongres PKUS kali ini nampaknya berjalan seru. Bukan hanya karena pertentangan dua kubu -- reformis radikal dan konservatif -- masih terus berlangsung dan semakin memuncak. Juga pertentangan tajam berlangsung antara kelompok konservatif yang diwakili Yegor Ligachev dan pendukung Gorbachev. Sejumlah delegasi menyerang pemerintah karena dianggapnya telah "kehilangan" hampir seluruh wilayah Eropa Timur. Ini segera dibantah Alexander N. Yakovlev, salah seorang pembantu Gorbachev. "Kita tak bisa menolak fakta bahwa kemampuan buruh berproduksi di Korea Selatan sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan di utara, dan rakyat di Jerman Barat hidup lebih baik dibanding dengan di bagian timur," katanya. Kecuali Ligachev yang tetap bersuara keras, menurut para pengamat, Gorbachev tak mendapatkan lawan tangguh di dalam kongres yang memilih pimpinan Partai Komunis Soviet itu. Namun, pihak radikal mendesak Gorbachev agar turun dari pos pimpinan partai, atau bahkan meninggalkan partai sama sekali, jika kubu garis keras berhasil mengontrol PKUS. Tapi para pendukung Gorby tak menganggap perlu langkah drastis semacam itu. "Dengan tetap di partai, ia masih bisa menanamkan pengaruhnya, sekalipun ia dikelilingi tokoh-tokoh garis keras," ujar seorang anggota Komite Sentral pendukung Gorbachev. Gorbachev sejak awal sudah memperhitungkan kemungkinan terburuk. Konon, beberapa bulan terakhir ia secara hati-hati sudah membangun basis kekuatan alternatif baru. Yakni di Dewan Kepresidenan, institusi tempat ia dan sejumlah pembantu yang dipilihnya dapat menelurkan kebijaksanaan tanpa restu partai sekalipun. "Jangan lagi menganggap partai dan kepemimpinan negara itu sama, walau Gorbachev memimpin keduanya," kata seorang pembantu dekat Gorbachev. Boris Yeltsin, Presiden Republik Rusia, bersikap sama. Sejak terpilih sebagai presiden ia menggunakan parlemen untuk melawan kekuatan partai. Keampuhan parlemen sebagai pengimbang partai terbukti Sabtu pekan lalu. Yakni saat parlemen republik Ukraina memerintahkan 60 delegasi partai -- yang menjadi anggota parlemen -- di kongres PKUS agar pulang kampung. Bisa jadi, karena itu sejumlah pengamat menyebut debat kusir dalam kongres PKUS kini sebenarnya bukan membicarakan masa depan Uni Soviet, melainkan masa depan PKUS. Menurut argumentasi ini, partai sudah tertelan kekuatan ekonomi dan politik di bawah pimpinan Gorbachev. "Masa depan perestroika tak lagi ditentukan oleh partai, seperti lima tahun silam," ujar Gavril Popov, Wali Kota Moskow. Banyak pihak di Soviet yang sependapat dengan Popov: Partai Komunis tak lagi penting bagi kehidupan politik di Uni Soviet. Tapi terlalu pagi, memang, untuk menyebut partai sudah tak berfungsi. Pengaruhnya bisa jadi melorot gara-gara perubahan yang dilancarkan Gorbachev. Namun, dengan sistem sel di tiap badan di seantero negeri, dengan anggaran dua milyar rubel, dengan kontrol atas birokrasi, PKUS masih merupakan kekuatan raksasa -- walau tak populer di mata mayoritas rakyat Soviet. Di kota-kota besar pengaruh partai memang melemah. Tapi di desa-desa dan di pedalaman, PKUS masih mengontrol kebanyakan provinsi. Karena itu, walau sudah membangun basis kekuatan baru, Gorbachev sadar terlalu besar risikonya jika ia melepaskan sama sekali cengkeraman pada partai. Untunglah, dewasa ini tak ada tokoh sekaliber Gorbachev yang pantas memimpin PKUS. Oleh sejumlah besar delegasi garis keras, Gorbachev dianggap satu-satunya tokoh yang mampu mempersatukan partai yang diancam perpecahan itu. "Jika terjadi pemungutan suara, saya akan memilih Gorbachev (sebagai pimpinan partai). Soalnya sederhana saja. Tak ada alternatif lain," kata seorang delegasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini