Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Produksi opium di Myanmar turun untuk pertama kalinya sejak kudeta militer pada 2021, kata PBB pada Kamis 12 Desembe 2024. Meski demikian, negara tersebut tetap menjadi produsen narkotika terbesar di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Myanmar memproduksi 995 ton opium pada 2024, menurut Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada “korelasi kuat” antara berkurangnya panen dan meningkatnya konflik di wilayah pertanian opium tradisional, kata peneliti Inshik Sim pada konferensi pers di Bangkok seperti dilansir Channel NewsAsia pada Kamis 12 Desember 2024.
Sebagian wilayah negara bagian Shan di timur, yang menghasilkan sekitar 80 persen hasil panen, telah terlibat dalam konflik tahun ini. Hal ini menurut Survei Opium Myanmar 2024 telah mendorong banyak petani opium meninggalkan ladang mereka.
Keterbatasan pergerakan ke daerah terpencil dan musim hujan yang ekstrem disebut-sebut sebagai faktor lain yang mungkin menyebabkan penurunan ini.
Bunga poppy telah lama tumbuh subur di daerah perbatasan terpencil Myanmar, tempat kelompok etnis minoritas bersenjata dan kelompok kriminal mengolahnya menjadi heroin dan penegak hukum menutup mata terhadap perdagangan bernilai miliaran dolar tersebut, kata para analis.
Tahun lalu Myanmar menjadi produsen opium terbesar di dunia, memanen 1.080 ton narkotika – lebih dari dua kali lipat dibandingkan pemimpin sebelumnya, Afghanistan. Produksi negara itu turun setelah pemerintah Taliban menindak penanaman opium.
Namun, UNODC mengatakan panen tahun ini masih merupakan panen terbesar kedua di Myanmar dalam dua dekade terakhir dan merupakan sumber utama pendapatannya.
Perekonomian Myanmar telah merosot sejak kudeta, dan Bank Dunia pada minggu ini memperkirakan kontraksi sebesar 1 persen pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2025.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa kelebihan pasokan di pasar heroin regional dan pergeseran rantai pasokan obat global mungkin telah mengurangi permintaan ekspor opiat dan menyebabkan penurunan harga.
Masood Karimpour, Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, mengatakan ada risiko tinggi perluasan lebih lanjut seiring dengan penyesuaian rantai pasokan dan peningkatan metode budidaya.
Pihak berwenang Myanmar menghadapi “tantangan berat” dalam membatasi penanaman opium, kata menteri dalam negeri junta kepada media pemerintah pada Juni.
Junta Myanmar teah dimintai komentar mengenai temuan terbaru PBB.
Kudeta tersebut memicu kekacauan sosial dan ekonomi serta konflik bersenjata di seluruh negeri dan telah menyebabkan lebih dari tiga juta warga Myamar mengungsi, menurut PBB.