Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembangkangan Perempuan di Negeri Salman

Pemerintah Arab Saudi menangkap para aktivis perempuan dan mengancamnya dengan hukuman mati. Juga berujung pada ketegangan hubungan dengan Kanada.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemerintah Arab Saudi menangkap para aktivis perempuan dan mengancam mereka dengan hukuman mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETISI online di Change.org oleh Organisasi Hak Asasi Manusia Internasional Kanada Manitoba diluncurkan pada Jumat dua pekan lalu. Tuntutannya adalah mendesak Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud membebaskan Israa al-Ghomgham, perempuan aktivis hak asasi manusia yang kini terancam hukuman mati. Hingga Jumat pagi pekan lalu, sebanyak 1.500 orang lebih telah menandatangani petisi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengadilan akan menjatuhkan vonisnya pada 28 Oktober mendatang. Setelah itu, kasus ini akan dibawa ke Raja Salman untuk mendapat pengukuhan. Bila hukuman mati itu dijalankan, Israa akan menjadi perempuan pertama yang dihukum mati di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan 29 tahun itu ditangkap bersama suaminya, Moussa al-Hashem, karena terlibat protes anti-pemerintah tiga tahun lalu. Penangkapan dan pengadilan ini merupakan rangkaian tindakan keras pemerintah Saudi terhadap perempuan aktivis hak-hak asasi manusia di negeri kaya minyak tersebut. Menurut Amnesty Internatonal, setidaknya ada 13 aktivis perempuan yang ditangkap. Beberapa orang diadili atau dibebaskan, tapi ada juga yang tetap ditahan tanpa dakwaan.

Kasus Israa bermula pada 2011 saat gelombang reformasi menyapu sejumlah negara Arab, yang disebut sebagai Musim Semi Arab. Pada tahun itu juga terjadi demonstrasi di Provinsi Qatif, Arab Saudi, daerah yang didominasi Syiah. Menurut EurAsian Times, Israa dan suaminya mengorganisasi dan berpartisipasi dalam demonstrasi yang menyerukan diakhirinya diskriminasi secara sistematis terhadap Syiah, kelompok minoritas di negara Sunni tersebut.

Pemerintah Saudi dinilai mendiskriminasi minoritas Syiah di sekolah umum, tempat kerja, dan kegiatan keagamaan. Peradilan pidana khusus negara itu juga dinilai kerap dipakai untuk menghukum komunitas Syiah. Pada 2014, pengadilan menghukum delapan aktivis Syiah, termasuk ulama terkemuka Syekh Nimr al-Nimr. Pada 2016, 14 orang ditangkap karena ikut protes terhadap pemerintah.

Menurut Human Rights Watch, pemerintah Saudi mengeksekusi setidaknya empat orang Syiah, termasuk Al-Nimr, pada 2 Januari 2016. Pada saat yang sama, ada 43 orang Sunni yang dieksekusi. Sebagian besar dari 43 orang itu dituduh menjadi anggota Al-Qaidah, organisasi teror yang menyerang menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat, 11 September 2001. Ini adalah eksekusi massal terbesar di Saudi sejak 1980.

Israa dan suami ditangkap di rumahnya pada malam 6 Desember 2015 dan ditahan di penjara Al-Mabahith. Mereka sebenarnya dari keluarga kurang mampu sehingga tak dapat menyewa pengacara. Ketika kasus ini mencuat, sejumlah pengacara mengulurkan bantuan secara pro bono. Namun, selama masa penahanan, mereka tidak bisa ditemui pengacara. Di tahanan, menurut Organisasi Arab Saudi untuk Hak Asasi Manusia, mereka disiksa dan diperlakukan sewenang-wenang.

Israa akhirnya diadili pada 6 Agustus lalu. Dalam sidang di Pengadilan Pidana Khusus Arab Saudi di Riyadh, jaksa menuntut hukuman mati untuk Israa dan lima terdakwa lain karena sejumlah "dosa", termasuk protes anti-pemerintah, hasutan untuk membangkang, dan memberikan dukungan moral kepada demonstran anti-pemerintah di Qatif.

Dakwaan hukuman mati terhadap Isra dkk ini memicu protes dari berbagai penjuru dunia. "Menghukum mati perempuan pembela hak asasi adalah preseden berbahaya di Arab Saudi," kata Ali Adubisi, Direktur Organisasi Hak Asasi Manusia Arab Eropa. "Eksekusi apa pun mengerikan. Tapi hukuman mati untuk aktivis seperti Israa al-Ghomgham, yang bahkan tidak dituduh melakukan kekerasan, itu mengerikan," ucap Sarah Leah Whitson, direktur soal Timur Tengah di Human Rights Watch.

Aktivis perempuan lain yang bernasib mirip dengan Israa adalah Samar Badawi. Ia ditangkap karena memprotes diskriminasi terhadap perempuan. Meski sudah mendapat beberapa kebebasan di Saudi, termasuk hak untuk mengemudi sejak Juni lalu, para perempuan masih memerlukan persetujuan wali laki-laki untuk bepergian atau belajar di luar negeri dan mendapatkan paspor.

Hal itu mendorong Samar meninggalkan rumah orang tuanya dan melancarkan gugatan untuk melepaskan status walinya pada Maret 2008. Ia sempat ditahan secara singkat sebelum akhirnya dibebaskan. Sejak saat itu, Samar dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan.

Pada 2011, menurut Human Rights Watch, Samar menjadi wanita pertama yang mengajukan gugatan terhadap pemerintah dengan menuntut hak perempuan untuk memilih. Setahun kemudian, ia menerima Penghargaan Perempuan Internasional atas Keberaniannya dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Pada 2014, otoritas Saudi melarang Samar bepergian ke luar negeri. Dua tahun kemudian, dia ditahan sebentar karena diduga mengelola akun Twitter yang mengkampanyekan pembebasan mantan suaminya, Waleed Abu al-Khair, yang sedang menjalani hukuman 15 tahun penjara karena menjadi pengacara hak asasi manusia.

Meskipun gugatan Samar ditolak, pada 2015, Raja Arab Saudi saat itu, Abdullah bin Abdulaziz, mengumumkan bahwa perempuan akan diizinkan memilih dan bahkan menjadi kandidat dalam pemilihan umum kota. Samar juga bergabung dengan gerakan kampanye untuk mengakhiri larangan mengemudi bagi perempuan. Larangan perempuan mengemudi akhirnya dicabut pada Juni lalu. Tapi, sebulan kemudian, Samar ditangkap aparat keamanan.

Penangkapan Samar diprotes Kanada. Samar adalah saudara perempuan Raif Badawi, yang ditahan di Saudi sejak 2012 karena dituduh menghina Islam. Istri dan anak-anak Raif Bawadi menjadi warga Kanada pada 2018. Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland membela Samar. "Kanada berdiri bersama keluarga Badawi di masa sulit ini dan terus menyerukan pembebasan Raif dan Samar Badawi," tulis Freeland di Twitter, 1 Agustus lalu.

Saudi bereaksi keras terhadap sikap Kanada itu. Pada 5 Agustus lalu, Saudi menyebut Kanada telah ikut "campur tangan terang-terangan dalam urusan internal Kerajaan". Saudi juga memanggil Duta Besar Kanada dan memberinya waktu 24 jam untuk keluar dari negara itu. Selain itu, Saudi mengumumkan penangguhan semua transaksi perdagangan dan investasi baru dengan Kanada. Mahasiswa Saudi yang berada di Kanada diminta segera pulang. Pasien Saudi yang sedang berobat juga diminta keluar dan mencari rumah sakit di negara lain.

Menurut Independent, langkah Saudi ini tidak memiliki dampak finansial besar karena perdagangan dua negara itu tergolong kecil. Kanada mengekspor barang senilai 1,37 miliar dolar Kanada ke Arab Saudi dan mengimpor 2,63 miliar dolar Kanada dalam bentuk barang pada 2017, hanya 0,4 persen dari total perdagangan Kanada tahun itu.

Dampak sikap keras Saudi ini justru dinilai akan dirasakan mahasiswa dan warga negaranya di Kanada. Setidaknya 1.000 pekerja medis Saudi bekerja di rumah sakit Kanada sebagai bagian dari program pelatihan ekstensif. Mereka diberi waktu hingga akhir Agustus untuk meninggalkan negara itu. Ada sekitar 8.300 mahasiswa non-kedokteran Saudi yang terdaftar di kampus-kampus di Kanada dan semuanya telah diperintahkan pulang oleh Kementerian Pendidikan Saudi.

Langkah dramatis ini memicu spekulasi soal motif Saudi di bawah Putra Mahkota Muhammad bin Salman, yang selama ini mengkampanyekan "langkah reformasi" di negara Teluk itu. Menurut Hisham A. Hellyer, peneliti di Atlantic Council dan Royal United Services Institute di London, Saudi mungkin mencoba membentuk preseden baru dengan negara-negara Barat. "Strategi Saudi tampaknya adalah bahwa jika negara-negara (Barat) ingin berhubungan baik dengan Riyadh, mereka harus tetap diam atas pelanggaran domestik di Arab Saudi," kata Hellyer.

Adapun Sarah Leah Whitson tetap mendesak Saudi melakukan reformasi. "Jika Putra Mahkota benar-benar serius tentang reformasi, dia harus segera memastikan tidak ada aktivis yang ditahan secara tidak adil atas pekerjaannya sebagai pegiat hak asasi manusia," ujarnya.

Abdul Manan (Human Rights Watch, Independent, Guardian, Al Jazeera)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus