LAYAR radar di kapal USS Vincennes mendadak memancarkan sinyal darurat. Sebuah pesawat terbang melintas di atas mulut Teluk Persia, yang diproklamasikan secara sepihak oleh AS sebagai zona perang. Kapten kapal langsung memperingatkan pesawat itu untuk menyingkir. Tak digubris. Maka, dua rudal Aegis melesat. Glegerr, pesawat itu meledak dan tercebur ke laut. Para awak kapal bersama 29 awak kapal perang AS lainnya yang ditempatkan di teluk berdarah itu pun bersukaria. Mereka menang. Pada Minggu malam pekan ini, mereka yakin benar bahwa sasaran adalah pesawat tempur F-14 Tomcat milik Iran. Laporan kontan dikirim ke markas besar angkatan laut AS. Tapi, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, kantor berita Iran Irna ribut. Sebuah pesawat penumpang Airbus A-300 milik maskapai Iran Air mendadak lenyap dari radar, beberapa menit setelah lepas landas dari lapangan terbang Abbas, dalam perjalanan menuju ibu kota Persatuan Emirat Arab, Dubai. Tuduhan langsung dilontarkan ke-4 pada AS, karena peristiwa itu terjadi di tengah baku tembak antara armada AS dan kapal-kapal patroli Iran. Suasana di USS Vincennes tiba-tiba berubah mencekam, terutama perwira persenjataan, yang merasa melepaskan Aegis. Salah tembakkah mereka ? Semula Pentagon ngotot, bahwa pertempuran itu hanya merontokkan tiga kapal patroli dan sebuah pesawat F-14 Iran, bukan pesawat penumpan Airbus A-300. Teheran langsung membantah. "Tak satu pun pesawat tempur Iran melintas perairan itu," kata seorang pejabat Iran. Kali ini pihak Iran tak sekadar asal bunyi. Menurut kantor berita Iran Irna, penyelam mereka menemukan kepingan reruntuhan pesawat, yang menunjukkan bukti bahwa pesawat itu ditembak rudal. Benar. Di pagi buta itu, disinari oleh bom-bom cahaya, Iran berhasil mengangkut kepingan-kepingan pesawat nahas itu. Beberapa kepingan menunjukkan pesawat dirobek oleh rudal, karena ada bercak-bercak mesiu. Pada siang harinya, 168 mayat ditemukan, sejumlah di antaranya anak-anak. Sebagai tanda ikut berdukacita, rakyat Iran di seluruh dunia diimbau untuk melakukan salat berkabung. Seorang wanita mengaku pada sebuah kantor berita asing, ia kehilangan seorang putra beserta menantunya, dan tiga orang cucu. Kini dia merasa simpati pada penderitaan Zahra, istri Imam Hussein, yang kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam perang Karbala. AS lalu tak bisa berkelit. Presiden Ronald Reagan terpaksa mengakui tragedi yang membantai 290 jiwa itu sebagai tanggung jawab AS. Toh, Reagan masih mencoba membela. "Kapten kapal telah mengambil keputusan yang layak," katanya. Bahkan Panglima Angkatan Bersenjata AS Laksamana William Crowe mengomentari peristiwa itu sebagai, "Suatu kecelakaan." Padahal, lima tahun lalu AS tak bisa menerima alasan serupa, ketika sebuah pesawat tempur Soviet menembak jatuh pesawat penumpang Jumbo Boeing 747 milik Korean Airlines (KAL). Kala itu Reagan ngotot, bahwa penembakan yang meleyapkan 269 penumpang itu didalangi oleh pemerintah Soviet dengan alasan politik. Kini Washington berdalih, tragedi Teluk Sakhalin tak bisa dijadikan pembanding. Pesawat sipil Korea itu tak melintas zona perang, tak diberi peringatan sebelum ditembak, dan diduga sebagai pesawat mata-mata. "Sedang kapal Vincennes menembak setelah pilot pesawat tak menanggapi peringatan," kata Laksamana Crowe. Dia tak menyebutkan bahwa tragedi KAL terjadi di atas wilayah Soviet. Para perwira di kapal perang Italia Espero, yang juga ditempatkan di sana, mendukung Crowe. Kata mereka, pesawat itu memang melenceng dari jalur penerbangan komersial dan sudah diperingatkan. "Itu semua omong kosong," bantah Mohamad Reza Majidi, direktur pelaksana Iran Air. Sebab, kalau memang ada peringatan, peringatan itu juga akan tertangkap oleh menara kontrol di lapangan terbang Iran dan Dubai. Pesawat nahas itu, menurut Majidi, tak menyimpang dari jalur penerbangannya. Karena itu, ia akan mengundang ahli-ahli penerbangan internasional untuk memeriksa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penerbangan itu dan pita rekaman pemblcaraan pilot. Soviet segera nimbrung. Menurut kantor berita Tass, peristiwa itu adalah konsekuensi langsung dari upaya AS dalam memperkuat kekuatan mdlternya di Teluk Persia. "Tak ada unsur kecelakaan," tulis Tass. Adapun Iran memang marah besar. "Kami tak akan membiarkan kejahatan Amerika ini tak berbalas," kata siaran radio Teheran. Dan PM Iran Hussein Mousavi menuduh para pimpinan puncak AS di Gedun "Hitam" -- maksudnya Pentagon, kantor kementerian pertahanan AS -- sudah memproklamasikan perang terbuka melawan bangsa Iran. AS rupanya menanggapi ancaman Iran dengan serius. Segera, semua kedutaan besar AS di seluruh dunia diperintahkan siaga penuh. Sementara itu, perusahaan penerbangan Pan Am membatalkan semua penerbangan mingguannya dari Frankfurt ke Karachi lewat Teluk Persia. Lapangan terbang Heathrow di London, yang termasuk paling sibuk di dunia dan paling sering dipecundangi teroris, juga ikut sibuk. Penjagaan diperketat dengan satuansatuan polisi bersenjata senapan semiotomatis, dan semua barang yang akan diangkut ke pesawat AS diperiksa ketat. Di mana sebenarnya biang kerok tragedi itu? Para ahli pertahanan AS cenderung menganggap peristiwa itu disebabkan oleh faktor manusia. Sistem radar di kapal Vincennes hampir tak mungkin keliru membedakan pesawat tempur yang kecil dengan pesawat penumpang yang jauh lebih besar. Itu diakui oleh kapten kapal Vincennes Will C. Rogers, beberapa pekan lalu, bahwa kapalnya yang berbobot mati 9.400 ton termasuk jenis supercanggih. Demikian canggihnya, Vincennes sampai mampu melacak 200 sasaran dalam radius 385 km, serta mampu menghantam 20 sasaran sekaligus. Kapal bernilai milyaran dolar itu baru pertama kalinya dikirim ke Timur Tengah. Seorang pengamat AL AS, Scott Truver, mengatakan operator sistem kontrol radar kapal perang AS itu pasti bekerja dalam keadaan tertekan dan amat peka, sehingga menimbulkan kesalahan interpretasi. Memang, saat itu, awak Vincennes dalam keadaan tegang, karena harus menghadapi kapal-kapal patroli Iran. Tapi Laksamana Crowe, panglima angkatan bersenjata AS itu, punya teori lain yang cukup aneh. Katanya, pesawat itu merunduk ke arah Vincennes dalam kecepatan tinggi, sehingga gelombang elektronik yang dipancarkan mirip pesawat tempur F-14. Karena itu, Crowe memuji kedisiplinan kapten dalam melindungi kapalnva. Tapi sebenarnya Pesawat Airbus yang dikenal sangat tak lincah itu tak mungkin mampu menukik seperti F-14. Apalagi bila muatan pesawat itu hampir mencapai batas maksimum, sehingga tak mungkin bisa mencapai terbang lincah. Lebih ngawur lagi, ketika dihajar rudal pesawat itu justru sedang dalam tahap mengangkasa, sehingga bisa ditangkap oleh mata telanjang sekalipun. Dengan demikian, bisa saja, pesawat itu sengaja ditembak karena kapten kapal menduga yang bukan-bukan soal muatan pesawat itu. Bisa jadi, sang kapten mengira pesawat itu bermuatan penuh bom, bukan manusia. Tampaknya, Crowe mencoba melepaskan tanggung jawab dan cenderung menyalahkan Iran. Dia berteori, jika sebuah negara biasa mengirim operasi tempur ke suatu wilayah, lalu mengirim pesawat komersial pada saat yang sama, kecelakaan seperti itu pasti terjadi. Tapi kebanyakan ahli militer percaya, faktor keteganganlah yang jadi sumber malapetaka. Para awak armada AS di Teluk Persia jadi tegang lantaran ada kabar bahwa Iran akan melancarkan gempuran dahsyat, menyongsong hari kemerdekaan AS 4 Juli. Itulah yang membuat AS mengirim kapal supercanggih. Serangan itu, menurut Pentagon, bakal sulit diatasi. Pasalnya, Iran diduga sudah menylapkan pangkalan-pangkalan permanen bagi rudal-rudal Ulat Sutera di bawah tanah. Seperti kata Jenderal George B. Crist, komandan Pusat Operasi Militer AS, karena pangkalan semacam itu lebih sulit dilacak ketimbang pangkalan peluncuran yang bergerak di permukaan tanah. Repotnya, AS belum menemukan resep ampuh untuk menghancurkannya. Maka untuk sementara ini, sejak Kamis pekan lalu, Jenderal Crist membebaskan armada AS melancarkan serangan jika layar radar menunjukkan sinyal adanya serangan, tanpa perlu melapor dulu. Bisa jadi, perintah itu juga punya andil dalam tragedi kali ini. Ulat Sutera yang buatan RRC itu memang sudah teruji keampuhannya, kendati pernah gagal waktu dipakai menghantam kapal perang AS. Tapi toh AS tak pernah berhasil mematahkan gempuran rudal itu terhadap kapal-kapal tanker, yang sering terjadi di depan hidung armada AS. Tak hanya Amerika yang akan menderita, kalau serangan dari pangkalan bawah tanah rudalrudal jarak dekat itu sukses. Betapa tidak. Hampir separuh dari lalu lintas minyak dunia harus melewati Teluk Persia, yang mungkin akan tertutup oleh timbunan bangkai-bangkai kapal supertanker. Bagaimanapun AS, agaknya, harus kerja keras untuk memperbaiki citranya di mata internasional. Tak mustahil, tragedi berdarah itu justru bisa menarik simpati internasional bagi Iran. Apalagi, sehari sebelum peristiwa itu, Hashemi Rafsanjani, panglima angkatan bersenjata Iran dan Pasdaran, mengumumkan kebijaksanaan luar negeri cukup moderat: menghentiikan permusuhan dengan negara-negara netral dan tak lagi mengabaikan teman-teman yang potensial. Langkah-langkah kongkret sebenarnya sudah dilakukan Iran bulan lalu. Hubungan diplomatik dengan Prancis dipulihkan dan pendekatan diplomatik dengan Inggris dan Kanada maju pesat. Selain itu, Iran juga akan dapat angin dalam upaya mengungkit keabsahan kehadiran militer AS di Teluk Persia. Pemerintah Iran sudah memutuskan, akan membawa kasus ini ke PBB, dengan alasan AS tak berhak membuka zona perang di luar wilayahnya. Tapi, yang paling dekat dengan maut, mungkin para sandera asing di Llbanon. Yang diketahui sampai sekarang, mereka diculik oleh kelompok Hizbullah, kelompok Syiah yang berkiblat pada Iran -- tempat penahanan mereka sama sekali tak diketahui. Warga asing lain di Libanon ikut waswas. Kelompok radikal Palestina Front Populer Pembebasan Palestina mengutuk peristiwa ini sebagai "kejahatan hitam" pemerintah AS. Merontokkan pesawat sipil adalah bentuk kejahatan baru dari terorisme internasional pemerintah Reagan. Nah, jangan-jangan kelompok yang sering dituduh mendalangi pembajakan pesawat ini akan menambah daftar sandera. Sekutu AS sendiri juga sudah ada yang berani ikut berpihak. Yakni pemerintah Yunani, yang mengharapkan agar awak Vincennes yang terlibat dalam peristiwa itu dihukum. Dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (IATA) di Jenewa menyesalkan penggunaan senjata terhadap pesawat sipil. Bagi prajurit Amerika di Teluk Persia, apa boleh buat, mereka harus menghadapi ancaman baru. Sejak Senin pekan ini, rakyat Iran berbondong-bondong ke kantor Pasdaran. Mereka siap melancarkan serangan bunuh diri dengan perahu-perahu kecil. Bisa dipahami bila semangat tempur rakyat Iran berkobar lagi. Farida Sendjaja & Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini