ADALAH seorang wanita tua, di kota lama Yaroslavl, di tepi Sungai Volga, yang. menangis menyaksikan demokrasi. Hari itu, pekan lalu, wanita Rus itu menonton sebuah sejarah yang sedang diubah -- suatu proses dramatis yang bahkan dibentangkan di lavar televisi. Ia mengikuti laporan luar biasa dari Moskow itu: sebuah konperensi dari Partai yang berkuasa, yang dulu begitu tertutup dan angker, tapi kini serasa tidak, yang dulu sering menampilkan wajah seram, tapi kini bisa lucu, yang dulu seperti mengingkari genealoginya sendiri, tapi kini seakan insaf: bahwa Partai itu pernah jadi palu dan sabit yang menggertak rakyat, memancung.... Wanita tua itu terhenyak. Buat pertama kalinya -- menurut ingatannya yang panjang -- sebuah konperensi Partai berlangsung terbuka. Bukan saja sidang itu disiarkan ke seluruh khalayak, tapi juga di sidang itu para delegasi bisa mengkritik, bisa mendebat, bisa beradu pendapat. Tak ada rasa terancam bahwa nanti malam polisi rahasia akan mengetuk pintu kamar dan membawa beberapa pembangkang pergi, menghilang, seperti sisa salju pagi hari. Wanita tua itu memang tergetar. Ia kemudian bercerita kepada wartawan The New York Times: "Saya duduk di depan pesawat televisi saya dan saya menangis. Kakak saya hilang di bawah pemerintahan Stalin. Pada suatu malam mereka datang dan tak lama kemudian ia pun punah. Hampir tak terbayangkan oleh saya bahwa kini orang bisa bicara begitu bebas. Ini sebuah keajaiban, benar-benar sebuah keajaiban." Tapi dari mana datangnya keajaiban itu, Ibu Kita tak mudah tahu dari mana datangnya keajaiban, kita juga tak gampang mengerti dari mana datangnya demokrasi. Pada tanggal 4 Juli 1776 sejumlah orang -- banyak di antaranya pandai, berani, bercita-cita tinggi, dan pintar berdebat -- berkumpul di Philadelphia, di koloni Inggris yang bernama Amerika. Mereka ingin menyatakan kemerdekaan dari Inggris. Setelah berdiskusi kurang-lebih sepekan, mereka akhirnya menyetujui rancangan deklarasi yang ditulis oleh Thomas Jefferson, untuk menyerukan bahwa semua manusia "dikaruniai oleh Sang Pencipta hak-hak tertentu yang tak dapat disisihkan" -- yakni hak untuk "hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan". Dokumen itu kemudian tcrmasyhur. Ia terbukti bisa berlaku sampai lebih dari 200 tahun kemudian. Amerika Serikat pun jadi negeri yang paling lama bertahan dalam menjaga hak-hak itu, meskipun dengan segala risiko gawatnya. Pada umumnya dokumen yang berbicara untuk dan tentang "semua manusia" itu memang dilihat hanya khas produk Amerika. Sejarawan Page Smith pernah menulis bahwa memang ada yang bersifat "sangat Amerika" dalam dokumen itu, yakni ketika mereka mencantumkan usaha "mencari kebahagiaan" sebagai hak -- satu hal yang agak ganjil sebenarnya. Tapi toh ketika Jefferson menyusun naskah deklarasi itu di kamarnya di tingkat kedua sebuah rumah bata Philadelphia itu, ia tak berpretensi ingin menyajikan sebuah gagasan yang orisinil. Benih deklarasi ini memang tak bermula di kepalanya. Kita bahkan bisa mengusut lebih jauh dari sana: ke persengketaan agama di Eropa khususnya di Inggris, yang bercampur dengan persengketaan kepentingan lain-lain Waktu itulah raja-raja Stuart -- terutami yang berpermaisurikan wanita Katolik berhadapan dengan para pendukung Protestantisme yang mendominasi parlemen. Konflik bersenjata terjadi. Raja James II kalah Parlemen menang. Apa yang diperjuangkan hampir selama 100 tahun sepanjang abad ke-17 itu akhirnya tercapai: hak-hak seorang warga dengan teguh terjaga di hadapan kesewenang-wenangan penguasa. Sang "Revolusi Agung", The Glorious Revoluton, itu terjadi di tahun 1689. Revolusi itu kemudian punya gema pada Revolusi Amerika di tahun 1776, dan Revo lusi Amerika pada gilirannya punya gema pada Revolusi Prancis. Sehari sebelum 1 Juli 1789, hari ketika rakyat Paris menghancurkan penjara Bastille -- sebuah lambang penindasan para raja -- orang pun mengangkat La Fayette jadi wakil ketua Majelis perwakilan yang dihimpun untuk Revolusi. Kita tahu La Fayette ikut berperang dalam Revolusi Amerika, pengagum Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis ingin memperoleh getarannya. Barangkali demokrasi adalah satu demam yang menular. Kita tak tahu pasti benarkah demam itu hanya khas "Barat". Kita juga tak tahu pasti adakah yang "Barat" itu akhirnya akan tetap selalu jadi benda asing di tubuh sebuah negeri "Timur" -- termasuk Rusia Korea, dan Indonesia. Banyak yang kita belum tahu. Tapi kita tahu mengapa nenek di tepi Sungai Volga itu menangis melihat orang mulai bisa bebas bicara: ia menangis syukur karena ia pernah ketakutan. Ia pernah tahu bagaimana rasanya diinjak. Ia seperti tukang rambutan yang digambarkan oleh sajak Taufiq Ismail: seorang sederhana yang menyambut penuh harap gelombang protes mahasiswa Indonesia untuk demokrasi di tahun 1966. Demokrasi, tentu, bukan perkara mudah. Toh ia mudah diketahui apa maknanya. tanpa mempersoalkan apa merknya. Kalau tak percaya, tanyakanlah kepada rumput yang terinjak, kepada orang yang tertindas .... Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini