Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pemuda Berbahaya dari Wina

Ketua organisasi sayap kanan Austria diduga terlibat serangan teror di Christchurch, Selandia Baru. Pengikut tokoh penganjur fasisme gaya baru.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Martin Sellner di Wina, Maret 2019./Reuters/Lisi Niesner

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Brenton Harrison Tarrant bukan nama yang asing di telinga Martin Sellner. Dia mengenal Tarrant sebagai dermawan yang pernah menyumbangkan uang sebesar 1.500 euro atau sekitar Rp 24 juta kepadanya dan kelompok sayap kanan yang dipimpinnya, Gerakan Identitas Austria, pada Januari 2018.

Tidak pernah sedikit pun tebersit di benak Sellner bahwa pemberian duit itu bakal menyeretnya ke persoalan besar. Apalagi mereka terpaut jarak 18 ribu kilometer. Sellner tinggal di Wina, Austria, sementara Tarrant di Dunedin, Selandia Baru. “Dia bermurah hati memberi saya sumbangan dan saya berterima kasih kepadanya, itu saja,” kata Sellner.

Semua berubah saat polisi Austria menggerebek kediaman Sellner pada Senin, 25 Maret lalu. Mereka menggeledah kamar apartemen serta menyita telepon seluler dan komputer jinjingnya. Penggerebekan itu terjadi sepuluh hari setelah Tarrant menembaki jemaah di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru. Serangan brutal Tarrant menewaskan 50 orang dan melukai puluhan lainnya.

Sebelum penyerangan, Tarrant meng-unggah manifesto setebal 74 halaman berjudul “Penggantian Besar” di akun media sosialnya. Di situ, pria kulit putih 28 tahun asal Australia tersebut menyatakan pindah dan menetap di Dunedin, 362 kilometer di selatan Christchurch, sejak tiga tahun lalu untuk “berlatih” dan menyusun rencana aksi teror.

Polisi Austria menyelidiki hubungan Sellner dengan Tarrant. Sellner membantah terlibat dan mengutuk serangan keji di Christchurch. Tapi dia mengaku pernah berkorespondensi dengan Tarrant lewat surat elektronik. Dalam salah satu komunikasi mereka, menurut Sellner, Tarrant pernah mengagumi kemampuannya dalam memimpin Gerakan Identitas Austria.

Sellner menyatakan tak pernah bertemu dengan Tarrant meski Tarrant diketahui berkeliling Eropa dan pernah singgah di Wina pada akhir 2018. Tapi Sellner mengaku pernah membagikan tautan video berbahasa Inggris buatannya di situs YouTube. “Dia dapat menonton video-video saya di sana dan saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya terhadap kerja saya,” ucapnya.

LAHIR dan dibesarkan di pinggiran Wina, Martin Sellner mengenal dunia aktivisme sayap kanan sejak remaja. Pria 30 tahun ini pernah bergabung dengan kelompok neo-Nazi. Pada 2008, dia terlibat dalam sejumlah aksi menantang demonstrasi kelompok kiri dan liberal. Dia bahkan ikut berziarah ke pekuburan tentara Wehrmacht, pasukan Nazi Jerman.

Sellner menyatakan tidak membenci imigran, tapi tidak ingin kaum kulit putih Eropa menjadi minoritas di kampung halaman. Dia juga menolak keras penyebaran Islam lewat pendatang di Benua Biru. “Kami menganggap diri kami patriot, bukan neo-Nazi,” ujar lulusan filsafat yang kini menjadi desainer grafis itu. Mereka juga menggambarkan diri sebagai “hipster sayap kanan”.

Tiga tahun sebelum unjuk rasa anti-imigran menyeruak di Eropa pada 2015, Sellner mendirikan Gerakan Identitas Austria. Organisasi sejenis juga dibentuk di Prancis dan Italia. Ketika Sellner baru meresmikan kelompoknya, arus pengungsi dan imigran dari negara-negara yang didera konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara belum mengalir deras ke Eropa.

Ketika pencari suaka membanjiri negara-negara Eropa, yang mencapai puncaknya saat Jerman menerima lebih dari 1,1 juta pendatang, Sellner dan kelompoknya gencar mengkampanyekan penolakan terhadap orang asing. “Ketakutan terbesar saya adalah imigrasi massal akan membuat masyarakat terpecah secara etnis,” kata Sellner. Orang asing yang dimaksudnya bukan pendatang dari sesama wangsa Eropa, melainkan ribuan orang yang masuk dari Suriah, Afganistan, dan negara berpenduduk mayoritas muslim lain.


Gerakan Identitas Austria tidak hanya memikat ratusan pengikut dan ribuan simpatisan di dunia nyata. Dengan penampilan rapi serta tutur kata sopan dan lugas, Martin Sellner tampil persuasif dalam sederet video propagandanya di dunia maya.


Seperti Brenton Tarrant, Sellner memeluk ideologi radikal yang tak ramah pendatang. Mereka memuja teori “Penggantian Besar”, yang dicetuskan penulis Prancis, Renaud Camus, pada 2011. Gagasan yang percaya bahwa pendatang non-Eropa dan muslim akan menggeser populasi orang kulit putih dan Kristen di Benua Biru itu telah bertahun-tahun menjadi inti kampanye Sellner.

Gerakan Identitas Austria tidak hanya memikat ratusan pengikut dan ribuan simpatisan di dunia nyata. Dengan penampilan rapi serta tutur kata sopan dan lugas, Sellner tampil persuasif dalam sederet video propagandanya di dunia maya. Dia memiliki lebih dari 90 ribu pelanggan di YouTube dan 16 ribu pengikut di Telegram. Setiap kali mengutarakan pandangan dan argumennya, pria yang kerap tampil berkacamata ini selalu berbicara dengan rileks sambil sesekali menyelipkan senyum.

Gerakan Identitas Austria besutan Sellner adalah cabang dari Generasi Identitas, gerakan politik nasionalis pemuda yang lahir dan tumbuh subur di Prancis sejak 2002. Gerakan ini memiliki cabang di berbagai negara di Eropa dengan ciri khas simbol lambda Yunani, yang konon melambangkan perisai serdadu Sparta saat melawan penjajah Persia pada 480 sebelum Masehi.

Gerakan Identitas yang lebih besar muncul pertama kali di Prancis pada 1960-an sebagai cabang dari Hak Baru atau Nouvelle Droite, gerakan sayap kanan seusai Perang Dunia II. Gerakan ini menjamur di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru, tempat sebagian besar populasi kulit putih.

Kelompok pan-Eropa ini diperkirakan memiliki ribuan aktivis dan puluhan ribu pengikut online. Mereka gencar mengadvokasi pembelaan terhadap apa yang mereka anggap sebagai identitas dan budaya orang kulit putih Eropa. Mereka menampilkan dirinya sebagai gerakan patriotik dan mengklaim tidak rasis.

“Pengikut Identitas sebenarnya antikekerasan,” kata Peter Neumann, Direktur Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi di King’s College, London, seperti diberitakan New York Times. Tapi, menurut dia, mereka mempromosikan ide yang diambil oleh beberapa orang untuk membenarkan kekerasan. Mereka tidak secara langsung bertanggung jawab, tapi memungkinkan terjadinya kekerasan.

Sellner adalah pengikut Gottfried Küssel, aktivis politik sayap kanan Austria dan tokoh penganjur fasisme gaya baru serta penentang Holocaust sejak 1970-an. “Sellner bagian dari gerakan neo-Nazi dan tokoh paling terkenal dari gerakan itu, Gottfried Küssel, adalah mentornya,” tutur Natasha Strobl, penulis buku tentang Gerakan Identitas yang telah bertahun-tahun mengikuti perkembangan mereka.

Kelompok besutan Sellner telah beberapa kali berbuat onar. Mereka pernah menyerbu sebuah ceramah tentang suaka dan migrasi di Alpen-Adria University di Klagenfurt. Pada 2013, mereka menduduki sebuah gereja di Wina dalam protes anti-imigran dan dibubarkan secara paksa oleh pasukan keamanan.

Tiga tahun berselang, sebanyak 50 anggota kelompok ini menyerbu panggung di University of Vienna sambil mengusung spanduk bertulisan “Islamisasi Mematikan” yang berlumuran darah palsu. Protes ini ditujukan pada drama karya seorang penulis Yahudi yang dimainkan para pengungsi.

Sellner dan 16 anggota kelompoknya dituduh menyebarkan ideologi radikal dan islamofobia serta menjual materi propaganda secara online pada Juli 2018. Mereka diadili di Kota Graz dengan tuduhan membentuk organisasi kriminal, menebar ujaran kebencian, melakukan pemaksaan, dan merusak properti pribadi.

Pandangan ekstremnya terhadap pendatang dan Islam membuat Sellner beberapa kali tersandung masalah. Dia dan pacarnya, Brittany Pettibone, pernah ditolak masuk Inggris di Bandar Udara Luton pada Maret 2018. Kehadiran Sellner, yang saat itu akan berpidato di Hyde Park, London, dianggap tidak kondusif untuk kepentingan umum. Mereka ditahan selama dua hari dan kemudian dideportasi.

Rencananya menikahi Pettibone, bintang YouTube asal Amerika Serikat, pada musim panas tahun ini juga kandas lantaran pemerintah Amerika tidak memberinya izin masuk. Padahal orang Austria tidak memerlukan visa untuk bepergian ke Negeri Abang Sam. “Kami berencana menikah di Amerika dan saya sebelumnya selalu bisa masuk tanpa masalah,” ucap Sellner di saluran YouTube.

Di dalam negeri, Sellner tak lagi leluasa bergerak. Aparat mengawasi gerak-geriknya. Kanselir Sebastian Kurz, politikus dari Partai Rakyat yang konservatif, mempertimbangkan kemungkinan membubarkan Gerakan Identitas Austria. “Kami tidak peduli ekstremisme macam apa pun, entah itu islamisme radikal entah fanatik sayap kanan, semuanya tidak memiliki tempat di negara dan masyarakat kami,” kata Kurz.

MAHARDIKA SATRIA HADI (DEUTSCHE WELLE, AL JAZEERA, ABC NEWS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus