Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUSAN imigrasi di Bandar Udara Internasional Sarajevo sama sekali di luar ekspektasi: ringkas dan tidak -ribet. Saya dan petugas imigrasi cuma bertukar kode dua kali. Pertama, dia mengangkat kepalanya dan saya menyodorkan paspor. Kedua, dia melirik ke atas dan saya segera memelototi sensor mata yang digantung tinggi di depan counter. Setelah itu, beres.
Semula saya membayangkan akan mendapat pertanyaan sulit. Bagaimanapun, ini Bosnia dan Herzegovina, negara dengan reputasi “seram”—tempat Perang Dunia Pertama dimulai dan belum lama keluar dari perang saudara. Nyatanya, hanya dalam beberapa menit, pegawai imigrasi itu mengembalikan paspor saya sambil tersenyum. “Welcome to Bosnia,” katanya.
SAYA tiba bersama dua teman wartawan dan Trinity, penulis serial buku The Naked Traveler, pada 26 Februari lalu. Nadim Idrizovic, pengusaha di Sarajevo, dan sahabatnya, Amir Dzedic, wartawan stasiun televisi pemerintah, Radiotelevizija Bosne i Hercegovine cabang Zenica, menjemput kami di bandara. Keduanya telah menyiapkan jadwal padat bermobil selama lima hari singgah di Kota Travnik, Bihac, Banja Luka, Mostar, dan Sarajevo.
Air terjun Strbacki Buk di kawasan Taman Nasional Una, Bosnia-Herzegovina. Nacionalni Park Una
Matahari telah tinggi tatkala kami meninggalkan bandara. Di dasbor mobil Amir, pengukur suhu menunjuk angka 6. “Kalau kalian datang beberapa bulan lagi, hutannya sudah hijau lebat,” ujar Muhsin Spahic, menunjuk deretan bukit yang meranggas di kiri-kanan jalan. Muhsin adalah pria Bosnia-Herzegovina yang menikah dengan wanita Indonesia dan tinggal di Tangerang, Banten. Dia menemani kami sejak dari Jakarta, mewakili Kedutaan Bosnia-Herzegovina yang mengatur tur ini bersama Qatar Airways. Perusahaan penerbangan ini membuka jalur ke Sarajevo dari Jakarta dan Denpasar, lewat Doha, sejak 2016.
Mula-mula kami menuju Travnik, sekitar 90 kilometer dari bandara. Ibu kota Kanton Bosnia Tengah ini mendapat julukan “Istanbul Eropa” lantaran memiliki banyak masjid dan bangunan tua dari zaman Ottoman, abad ke-15 sampai ke-19.
Berjalan kaki di kota tua, kami melihat kuburan para gubernur jenderal Ottoman berjejer di tepi jalan, masjid kuno, dan Benteng Stari Grad, yang diperkirakan ada dari abad ke-15. Beberapa puluh meter di bawah benteng, mengalir Sungai Lašva. Masyarakat setempat menyebutnya Plava Voda atau Air Biru. Banyak turis senang bersantai di hulu sungai yang mengalir cepat dan menembus kota yang ada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut itu. Airnya jernih, sejuk, berwarna biru kehijauan.
Dekat dari situ, ada Museum of Ivo Andrić. Ivo Andrić pemenang Hadiah Nobel Sastra yang memotret sejarah kekerasan di Bosnia-Herzegovina sejak abad ke-16 hingga awal Perang Dunia I melalui novelnya, The -Bridge on the Drina. Dia lahir dan tinggal di kota itu hingga berusia 2 tahun. Semua karya Andrić, foto dan pernak-pernik lain, dipamerkan.
Esoknya, kami menuju Bihac. Bermobil menyusuri pegunungan, setiap saat mata kita bisa berserobok dengan pemandangan seindah gambar di kartu pos: hutan cemara yang tertimbun salju, sungai yang jernih kehijauan atau kebiruan, juga air terjun dalam berbagai pose.
Sungai Una di kawasan Taman Nasional Una. Nacionalni Park Una
Menyimpang dari jalur utama, sedikit di luar Travnik, terdapat air terjun Jayce. Kami berhenti sebentar. Air terjun yang berasal dari Sungai Pliva ini unik. Limpasannya jatuh ke sungai lain, Vrbas, yang mengalir sepanjang ngarai di kedalaman 40-an meter.
Menjelang Bihac, terdapat kawa-san Taman Nasional Una. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari area parkir—kalau beruntung dapat melihat hewan-hewan endemis, antara lain beruang, serigala, lynx, dan kelelawar—kami sampai di sebuah jembatan kayu yang menjorok ke Sungai Una. Dari situ, air terjun -Strbacki Buk terpampang di depan mata, jatuh bertingkat-tingkat.
Banyak lokasi wisata tumbuh berkat taman nasional. Salah satunya Desa Budaya Cardaklije, tempat kami bersantap siang hari itu. Konon, nenek moyang penghuni desa itu berasal dari Lika, pegunungan di Kroasia. Berbagai menu tradisional disajikan, dari daging panggang; kentang; acar sayuran, terutama kol dan paprika; roti; bubur jagung; sampai burek—pizza ala Bosnia yang terbuat dari adonan tak beragi diisi daging, keju, kadang ditambah bayam dan apel. Semuanya organik, dari kebun sendiri.
Orang Bosnia-Herzegovina tak menyukai ikan meski hewan itu berlimpah di sungai. Lauk utama mereka adalah daging, sapi atau kambing. Cevapi, misalnya, menu yang paling populer, berisi 5-10 sosis daging padat seukuran cerutu dibungkus somun, roti tradisional yang tengahnya kosong. Biasanya makanan itu disajikan bersama kajmak, sejenis keju lembut; dan bawang bombai cincang.
Kampung tradisional Cardaklije di Kanton Una-Sana. TEMPO/Philipus Parera
Bagi yang bermalam di Car-daklije, penduduk menawarkan paket mengolah makanan di hutan hingga arung jeram dari Strbacki Buk. Didahului oleh pemandu yang meloncat ke dalam air yang jatuh dari ketinggian, peserta arung jeram mengikuti aliran Sungai Una hingga dermaga kecil di luar Kota Bihac, dekat pintu masuk taman nasional dari arah lain. Dermaga tersebut milik kelompok hotel Opal, yang mendirikan resor Eko Selo Natura Art di situ. Pondok-pondoknya dinamai seturut dengan nama populer perempuan kelompok etnis utama: Fata (Fatima-Bosniak), Mara (Maria-Serbia), dan Kata (Katerina-Kroat).
“Kami baru berkembang. Pada tahap awal ini kami berharap bisa menjadi tempat singgah para pelancong yang melintas,” ucap Zrinka Delic, penggiat pariwisata Una-Sana.
Dari Bihac, pada hari ketiga di Bos-nia-Herzegovina, kami menuju Banja Luka. Ibu kota Republik Srpska itu serupa dengan kota lain, dipenuhi peninggalan penjajah Romawi, Ottoman, dan Austria-Hungaria. Salah satu yang tertua adalah Benteng Kastel, yang diperkirakan dibangun oleh legiun Romawi pada sekitar abad ke-8 sampai ke-13. Sekarang tempat itu menjadi pusat pelesiran yang ramai. Teras Restoran Kazamat, tempat kami makan siang, menghadap Sungai Vrbas. Berbagai aktivitas, seperti lomba mendayung kano, selalu melintasi bagian sungai di tempat itu.
Meski mayoritas warga Banja Luka pemeluk Ortodoks, gereja Katolik dan masjid yang berusia lebih dari seabad ada di mana-mana. “Ketika perang, warga muslim melarikan diri, terutama ke Eropa atau Skandinavia. Orang Serbia juga banyak yang pergi,” kata Drazen Brdar, anggota staf kantor pariwisata. Dia membawa kami melihat Masjid Ferhadija yang baru selesai dibangun kembali. Masjid tersebut dinamai seperti pendirinya, Gubernur Ottoman Ferhad Pasha, yang berkuasa di sana pada abad ke-16.
Masjid Ferhadija di Banja Luka. Tourist Board of Banja Luka
BOSNIA-HERZEGOVINA menarik bahkan sejak sebelum saya menginjakkan kaki di sana. Pertama-tama karena perang saudara yang selalu menjadi berita utama Dunia dalam Berita TVRI pada 1992-1995. Selain itu, mungkin tak banyak orang tahu, negara tersebut memiliki tiga presiden!
Sistem politik yang tak ada duanya itu merupakan konsekuensi perjanjian damai di Dayton, Ohio, Amerika Serikat, pada 21 November 1995, yang membagi negara tersebut atas Federasi Bosnia dan Herzegovina (etnis Bosniak-Islam dan -Kroat-Katolik); Republik Srpska (Serbia-Ortodoks); dan Distrik Brcko, sebuah kota otonom di antara keduanya. Warga ketiga etnis utama memilih presiden masing-masing, yang memimpin negeri itu secara bergilir hingga pemilihan berikutnya.
Di luar itu, kedua entitas memiliki pemerintah dan parlemen sendiri. Federasi Bosnia dan Herzegovina lebih jauh membagi diri menjadi 10 kanton, masing-masing dipimpin seorang perdana menteri. Semua itu untuk negeri seluas Jawa Timur dengan jumlah penduduk tak sampai 4 juta orang tersebut.
Sistem yang disebut presidensial ini mengadopsi model pemerintahan Federasi Sosialis Yugoslavia. Tadinya Bosnia-Herzegovina bersama Serbia, Kroasia, Slovenia, Makedonia, dan Montenegro bergabung dalam Yugoslavia. Setelah meninggalnya Josip Broz Tito, yang ditunjuk sebagai presiden seumur hidup, negara itu pecah.
Perang Bosnia-Herzegovina meletup setelah negara tersebut mem-proklamasikan kemerdekaannya pada 1 Maret 1991, menyusul referendum yang diboikot kelompok etnis Serbia. Tentara etnis Serbia pimpinan Presiden Srpska kala itu, Radovan Karadzic, dengan dukungan dari Presiden Serbia Slobodan Milosevic, bergerak melakukan pembantaian. Kota-kota hancur. Sarajevo dikurung. Lebih dari 100 ribu orang meninggal dan 2 juta lainnya mengungsi.
PERANG sudah lama berakhir. Banyak bangunan dan fasilitas umum telah dipugar. Kehidupan berjalan normal. Sarajevska Zicara, kereta gantung kebanggaan warga Bosnia-Herzegovina di tengah Kota Sarajevo yang dibangun pada 1959, pun telah beroperasi kembali. Tapi perekonomian yang terpukul keras oleh perang dan bubarnya Yugoslavia belum membaik.
“Kami kehilangan 38 ribu pekerjaan seusai perang dan belum pulih sampai sekarang,” kata Perdana Menteri Kanton Bosnia Tengah Tahir Lendo saat menjamu kami dalam acara makan malam di Restoran Kastel na Hendeku, Travnik, pada hari pertama kami di Bosnia-Herzegovina.
Secara umum, selain menghasilkan produk pertanian organik dan turunan susu, Bosnia-Herzegovina merupakan produsen senjata dan penghasil besi kualitas terbaik. Namun kegagalan privatisasi menyebabkan penganggur membeludak. Investor asing yang mengambil alih perusahaan negara juga tak mampu mempertahankan jumlah pekerja di pabrik. Pada 2014, sebuah demonstrasi besar menjalar dari Tuzla, Mostar, Zenica, hingga Sarajevo. Ratusan orang terluka, termasuk polisi.
Rumah penggilingan jagung dan gandum di Mlincici, Jajce. Tourist Board of Banja Luka
Amir Dzedic bercerita, pabrik baja di kotanya, Zenica, kini hanya mempekerjakan sekitar 3.000 orang setelah dibeli ArcelorMittal, perusahaan baja terbesar dunia. Sebelum perang, jumlah pekerja di sana mencapai 20 ribu orang.
Pemerintah lalu menggalakkan pariwisata, sembari mengundang investasi di sektor lain. Hasilnya, jumlah kunjungan terus tumbuh. Tahun lalu turis asing mencapai sekitar 1,8 juta orang, kebanyakan dari Austria dan Kroasia.
Persoalannya, industri pariwisata yang baru mulai merangkak belum menyerap banyak tenaga kerja. Menurut data terakhir, angka pengangguran di antero negeri mendekati 28 persen. Tekanan kemiskinan diduga turut mendorong 200-an mujahid perang 1992-1995 bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah. Yang lain banyak mencoba peruntungan sebagai pekerja migran, terutama di Jerman, tapi peluang mendapatkan visa kerja tepat waktu sama seperti menang lotre. Prosesnya berbulan-bulan. Sering kali, saat visa keluar, perusahaan di luar negeri telanjur membatalkan kontrak karena terlalu lama menunggu.
Toh, para pelaku pariwisata yang kami temui di sepanjang perjalanan tetap optimistis. “Negeri kami indah. Banyak tempat yang dulu sama sekali tidak dikenal sekarang ramai dikunjungi hanya karena pesan berantai di media sosial,” tutur Emir Muharemovic, Manajer Stari Most Tour & Travel di Mostar, ibu kota Kanton Herzegovina. Sehari-hari biro perjalanannya membawa tujuh-delapan bus wisatawan dari seluruh dunia.
Jembatan Stari Most di Kota Mostar. Tourist Board of Banja Luka
Di samping mempunyai Stari Most, jembatan tua dari zaman Ottoman simbol bersatunya dua bagian kota di kiri dan kanan Sungai Neretva, kota itu memiliki dua tempat wisata rohani yang amat populer. Yang satu adalah Medjugorje, tempat ziarah umat Katolik. Menurut cerita, pada 1981, enam orang anak desa itu bertemu dengan Bunda Maria, ibu Yesus. Tadinya hanya berisi beberapa rumah, desa kecil itu kini bak sebuah kota baru dengan puluhan hotel bertingkat, restoran, dan tempat belanja.
Lalu di Blagaj, sekitar 30 menit bermobil dari pusat kota, terdapat Tekija, rumah pertapaan yang dibangun pengikut sufi Darwis sekitar 600 tahun lalu. Rumah mungil bertingkat dua itu terletak di kaki tebing, persis di sisi mulut gua tempat bermulanya Sungai Buna.
“Kami kebagian sekitar 1 juta wisatawan tahun lalu dan akan terus bertambah,” ujar Emir saat makan siang di Restoran Fajic, yang terasnya menyentuh tepi Sungai Buna. Dia terdengar sangat percaya diri. Restoran itu menawarkan menu trout panggang. Tapi Amir Dzedic, Nadim Idrizovic, Emir, dan Savyik Golos, pegawai Emir, tak beralih dari daging. Bagi mereka, seperti kata Emir, kalau dipaksa memangsa hewan air, pilihan akan jatuh pada “kambing yang tenggelam”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo