Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pengadilan buat Sang Pembangkang

Letnan Satu Ehren Watada menolak dikirim ke medan perang Irak. Ia prajurit Amerika pertama yang melawan perintah atasan saat masih berada di kesatuan.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang pengadilan itu akhirnya dihentikan. Tujuh anggota panel, berpangkat kapten sampai letnan kolonel—setara dengan anggota juri pada peradilan sipil—menyatakan persidangan Letnan Satu Ehren Watada yang berlangsung di pangkalan militer Washington itu menyalahi prosedur (mistrial).

Watada, opsir berdarah Jepang-Amerika kelahiran Hawaii 28 tahun silam, memang belum bisa sepenuhnya bernapas lega. Otoritas militer mematok tanggal 19 Maret 2007 sebagai jadwal persidangan baru. Tapi keputusan yang dibacakan pada Rabu lalu itu mendapat keplok meriah dari ribuan pendukungnya. Ada Sean Penn, Rosie O’Donnell, Martin Sheen, Tim Robbins, Susan Sarandon, sampai Harry Belafonte dari kalangan selebritas; Senator Dennis Kucinich dari Partai Demokrat, Ohio di antara para politikus; dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1984, Uskup Agung Desmond Tutu.

“Konsekuensi logisnya adalah persidangan ini harus batal demi hukum selamanya karena prinsip hukum Amerika Serikat tak membolehkan double jeopardy,” ujar Eric Seitz, pembela Watada. Double jeopardy, seperti asas nebis in idem dalam hukum di Indonesia, tak membolehkan seorang terdakwa diajukan ulang ke pengadilan tanpa adanya dakwaan baru.

Watada perwira Resimen Artileri Medan ke-37 Batalion Pertama pada Brigade ke-3 di Fort Lewis, Washington. Watada dituduh “absen dari tugas militer” dan “bersikap tak sepantasnya sebagai seorang opsir”. Jika ketiga dakwaan itu terbukti, ia bisa meringkuk empat tahun di penjara—maksimal enam tahun.

Watada bukan opsir yang bodoh. Ia lulus sebagai sarjana keuangan dari Universitas Hawaii Pacific dengan “nilai hampir semuanya A” pada 2003, saat perang Irak baru saja dimulai. “Saat itu saya ingin menjadi tentara Amerika karena percaya pada sinyalemen pemerintah bahwa di Irak ditemukan senjata pemusnah massal, dan Saddam Hussein terkait langsung dengan Al-Qaidah dan serangan 11 September 2001,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan koresponden perang Kevin Sites yang dipublikasikan oleh situs Global Research.

Setelah menjalani masa pelatihan di sekolah kadet militer Fort Benning, Georgia, dan mendapat pangkat Letnan Dua, Watada ditugaskan ke Korea Selatan selama satu tahun. Pada Juli 2005, ia ditarik ke Fort Lewis untuk mempersiapkan penugasannya ke Irak. Sambil menunggu waktu, Watada mengadakan riset serius tentang Irak, puncak-puncak kebudayaannya, alasan yang lebih prinsipil mengapa Amerika Serikat harus menginvasi negara yang pernah menjadi sekutu terdekatnya di Timur Tengah itu, serta penerapan hukum internasional atas apa yang disebut “perang”.

Tak hanya tenggelam dalam tumpukan buku, artikel koran dan majalah, Watada mewawancarai sejumlah veteran perang Irak yang baru kembali untuk mengetahui lebih rinci suasana yang terjadi. Hasilnya dahsyat: sejak September 2005 Watada berhenti memercayai aspek moralitas dan legalitas perang yang dikumandangkan bertalu-talu oleh Presiden George W. Bush. “Dengan sedikit keingintahuan dan minat, ternyata tak sulit mengetahui apa yang sedang terjadi di Irak, karena semua terbuka gamblang di media massa,” tutur Watada. Awal Januari 2006, keyakinannya makin mengental. “Perang ini ilegal dan amoral,” katanya dengan nada pasti.

Puncaknya terjadi pada 22 Juni 2006 ketika putra pasangan Robert Watada-Carolyn Ho ini secara terbuka menolak penugasan yang diberikan komandannya, Letnan Kolonel Bruce Antonia, agar ia ikut rombongan ke Irak untuk sebuah tugas administratif nonkombatan. Artinya, ia prajurit Amerika pertama yang melawan perintah atasan saat masih berada di kesatuan. Lebih unik lagi ketika belakangan terkuak fakta, bahwa keberanian Watada junior itu menurun dari ayahnya Robert, Direktur Eksekutif Komisi Pembelanjaan Kampanye Hawaii, yang pernah melakukan hal yang sama: menolak perintah pergi ke perang Vietnam.

Namun, Watada tak bisa dijerat dengan ancaman desersi, karena ia tetap berada di kesatuannya dan melakukan tugas apa pun yang diberikan kecuali berangkat ke Irak. Itu sebabnya ia hanya dikenai tuduhan “absen dari tugas militer (missing movement)”. Watada menyebutkan, teman-teman dan atasannya tetap memperlakukannya secara profesional dan sopan, namun “menjaga jarak” karena tak ingin terlibat terlalu jauh dengan kasus yang membelitnya sekarang. Sementara tudingan Watada yang menyebut perang Irak itu sebagai tindakan “ilegal dan amoral” menyebabkannya dituduh “bersikap tak sepantasnya sebagai seorang opsir”.

Jaksa militer Kapten Dan Kuecker menggambarkan pembangkangan Watada sebagai “penghinaan terhadap otoritas Presiden George Bush”, dan komentar-komentarnya yang terbuka dan banyak dikutip pers soal “ilegalitas dan amoralitas perang Irak” telah menimbulkan ketidaknyamanan di dalam kesatuan tempatnya bertugas. Terlebih lagi pernyataan Watada dalam konferensi Veteran Perang untuk Perdamaian agar “kawan-kawanku sesama tentara supaya berhenti bertempur” dinilai Kuecker sebagai provokasi yang tidak layak dilakukan oleh seorang patriot Amerika sejati. Ringkasnya: Watada wajib diseret ke mahkamah militer.

Namun, keadaan berkembang. Pada 9 November 2006, Letnan Jenderal James Dubik, penguasa tertinggi Fort Lewis, mengumumkan bahwa Watada harus menghadapi persidangan militer. Pengacara Watada kukuh menyatakan klien mereka tak bersalah dengan mengutip Prinsip-prinsip Nuremberg yang membolehkan serdadu “mengabaikan perintah perang yang bersifat ilegal”.

Persidangan militer resmi dibuka pada Senin, 5 Februari, dan dua pengacaranya, Eric Seitz-Mark Kim memulai pembelaan dengan pernyataan pendek: “Watada tak bersalah.” Pada hari kedua, jaksa penuntut mendatangkan atasan langsung Watada, Letnan Kolonel Bruce Antonia, dan seorang konselor di kesatuan, Letnan Kolonel William James yang bersaksi bahwa Watada pernah menyatakan bersedia diterjunkan di Afganistan untuk sebuah “konflik langsung (melawan Al-Qaidah)”, namun menolak dikirim ke Irak jika hanya sebagai “alat administrasi” pemerintahan Bush.

Argumen ini mendatangkan debat panas. Bagi pengacara Watada, tidak mungkin kliennya membedakan status antara perang Irak dan perang Afghanistan, karena yang menjadi basis penolakan Watada adalah eksistensi perang itu sendiri, yang tak jelas dasar legalitasnya.

Beda pendapat yang sangat tajam inilah yang dijadikan panel juri untuk mengambil keputusan yang telah disebutkan di muka. Namun, berbeda dengan pendapat kedua pengacara Watada yang meyakini kasus ini berada dalam koridor double jeopardy, ketua majelis hakim Letkol John Head menyatakan bahwa keputusan mistrial yang muncul dari panel juri tidak termasuk dalam pengertian double jeopardy yang dimaksudkan dalam Pasal 915(c) Peradilan Militer. Artinya, ya, Watada tetap harus duduk lagi di bangku pesakitan pada 19 Maret nanti.

Akmal Nasery Basral (BBC, The Guardian, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus