Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tersandera di Kamar Mayat

Sudah dua bulan jenazah terdakwa penembakan di Timika dititipkan di Rumah Sakit Polri, Jakarta. Keluarganya akan menuntut Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JASAD kaku itu diselimuti kain panjang tipis berwarna putih. Baru setengah menit Tempo menatapnya, Selasa pekan lalu, bau anyir langsung membekap hidung. Penjaga kamar jenazah Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, bergegas menutup peti es tempat penyimpanan jenazah. Pintu kamar itu kemudian ditutup rapat. ”Sudah dua bulan mayat itu disimpan di peti es,” kata T. Sinambela, anggota staf forensik rumah sakit itu.

Itulah jenazah Hardi Tsugumol, 34 tahun, yang wafat dalam perawatan di Rumah Sakit Polri pada 1 Desember lalu. Hardi menderita sakit jantung, tuberkulosis aktif, hepatitis akut, dan positif HIV/AIDS. Komplikasi penyakit ini terdeteksi setelah Hardi tiba di Jakarta, Januari tahun lalu. Petani asal Kwamki Lama, Mimika, Papua, itu digelandang ke rumah tahanan Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta sebagai tersangka pembunuhan di Mil 62-63 Timika, Papua, pada 31 Agustus 2002.

Bersama enam tersangka lain, Hardi ditahan di rumah tahanan Markas Besar Polri, Jakarta Selatan. Ia sempat mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, pada suatu malam, pertengahan Mei 2006, Hardi ambruk dan dilarikan ke Rumah Sakit Polri. Sejak itu, kondisi kesehatannya terus memburuk, sampai akhirnya dia tak sadarkan diri.

Putusan majelis hakim yang dibacakan pada 7 November 2006 tak lagi sempat ia dengarkan. Ia divonis satu tahun enam bulan penjara. ”Terdakwa Hardi terbukti bersalah turut serta dalam aksi pembunuhan di Mil 62-63,” begitu bunyi putusan itu. Di akhir pembacaan putusan, majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin juga mengeluarkan surat penetapan tentang perawatan Hardi. Jaksa penuntut umum diperintahkan memindahkan perawatan dari Rumah Sakit Polri ke Rumah Sakit Harapan Kita.

Setelah perawatan selesai, begitu isi surat itu, Hardi diperintahkan kembali masuk rumah tahanan Markas Besar Polri. Jaksa penuntut umum diperintahkan melaporkan segera pelaksanaan penetapan itu kepada majelis hakim. Dalam kenyataannya, Hardi tak pernah dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita. Jaksa penuntut umum tak pernah menjalankan penetapan itu hingga Hardi meninggal. ”Tidak ada penjelasan dari kejaksaan soal itu,” ujar Riando Tambunan, pengacara mendiang Har-di, kesal.

Seorang jaksa penuntut umum dalam perkara Mil 62-63 Timika, Anita Asterida, mengakui memang tidak menjalankan penetapan itu. ”Jaksa penuntut umum tidak bisa langsung bertindak,” katanya, Rabu pekan lalu. ”Kami bekerja atas perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.”

Lain lagi cerita Bambang Sugeng Rukmono, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Menurut dia, penetapan hakim itu akan dijalankan, tapi terkendala pembiayaan. Awalnya, keluarga Hardi menyatakan sanggup membiayai perawatan selama di Rumah Sakit Harapan Kita. ”Kata mereka, akan ada bantuan dari Palang Merah Internasional,” ujarnya. Namun, tak kunjung jelas kepastian soal biaya ini.

Jaksa, kata Bambang, tak bisa berinisiatif membiayai perawatan Hardi. Soalnya, surat penetapan hakim tidak mengatur pihak yang harus membiayainya. Karena tak ada kejelasan itulah Hardi tetap dirawat di Rumah Sakit Polri. ”Itu standar minimal yang bisa kami lakukan,” katanya.

Masalah makin jadi muskil setelah Hardi mengembuskan napas terakhir. Bambang tak lagi mau berurusan dengan jenazah Hardi. Ia lalu melayangkan surat kepada Perwakilan Pemerintah Provinsi Papua. ”Kami tidak berkeberatan apabila keluarga mengambil jenazah Hardi,” begitu Bambang menjelaskan isi surat bertanggal 14 Desember 2006 itu.

Pada tanggal yang sama, Bambang juga melayangkan surat kepada Kepala Rumah Sakit Polri, Jakarta. Ia menjelaskan, kewenangan pengurusan jenazah Hardi ada pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Soalnya, Hardi meninggal di tengah proses banding. Lagi pula, kata Bambang, pihak Rumah Sakit Polri punya prosedur kerja pengurusan jenazah. ”Mengapa jadi dipersulit begini?” ia kemudian bertanya.

Menurut pihak Rumah Sakit Polri, memang ada prosedur pengurusan jenazah. Untuk jenazah yang tidak diketahui keluarganya, dalam tempo tiga kali 24 jam, pihak rumah sakit berwenang menguburkannya di pemakaman pemerintah daerah DKI Jakarta. Hanya, untuk kasus Hardi, prosedur itu tidak berlaku. Soalnya, Hardi punya keluarga dan lagi bermasalah dengan hukum. Alhasil, ”tersandera”-lah jasad Hardi di kamar mayat.

Sampai kapan? Hakim Andriani tak mau berkomentar. ”Itu kasus lama,” katanya kepada Kartika Chandra dari Tempo, Rabu pekan lalu. ”Saya sudah lupa detail kasusnya.”

Dari Kampung Tengah, Kwamki Lama, Mimika, keluarga mendiang Hardi justru menuntut tanggung jawab Biro Penyeli-dik Federal Amerika Serikat (FBI). Hardi dan enam rekannya, menurut Robert Tsugumol, adik kandung Hardi, dijebak FBI dengan iming-iming akan diterbangkan ke Amerika Serikat. Ternyata mereka dijebloskan ke penjara di Jakarta. ”FBI harus menjelaskan kepada kami mengapa mereka langsung menangkap Hardi tanpa izin,” kata Robert.

Keluarganya pun menumpahkan kekecewaan kepada pemerintah Indonesia. Menurut Robert, keluarganya sudah meminta Hardi dirawat di Timika karena kondisinya sudah sekarat. Namun permintaan itu tak dikabulkan. Apalagi mereka menyaksikan perawatan Hardi selama di Jakarta teramat minim.

Dengan alasan kemanusiaan, Bambang Sugeng Rukmono akhirnya menawarkan kesanggupan membiayai pengembalian jenazah Hardi ke Timika. Termasuk membantu mengurusi administrasinya. Tawaran itu tak mendapat sambutan dari keluarga Hardi. Amarah dan rasa kecewa mereka belum sirna. Entah sampai kapan.

Maria Hasugian, Tjahjono Ep.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus