10 Maret kemarin, pengadilan Assen di Belanda telah mengadili
tujuh pemuda RMS yang terlibat dalam pembajakan kereta-api
Beilen, Desember tahun lalu. Diperkirakan pengadilan berlangsung
3 hari dan penentuan jatuhnya hukuman 2 minggu kemudian.
Kemungkinan besar, beberapa di antara 7 pemuda akan dijatuhi
hukuman seumur hidup. Ini bentuk hukuman maksimal di negeri
Belanda, karena hukuman mati telah ditiadakan. Dugaan lain,
karena umur mereka masih muda (19-25 tahun), pengadilan
kemungkinan akan menjatuhi hukuman paling tinggi 20 tahun. Tiga
orang telah meninggal dalam penyanderaan 13 hari di gerbong
kereta-api, sementara 29 penumpang lainnya jadi sandera.
Semula banyak yang menduga bahwa pengadilan akan menindak 7
pemuda yang telah menduduki konsulat RI di Amsterdam (juga
selama 13 hari), karena persoalannya lebih sederhana. Di samping
soal politis, konsulat RI tidak mengakibatkan jatuhnya korban
nyawa. biarpun Endang Abedy -- pegawai lokal konsulat tersebut
--kemudian meninggal karena meloncat keluar gedung konsulat
yang bertingkat 4 itu.
Aksi 100 Gulden
Gedung konsulat RI itu sendiri kini telah ditutup, demi keamanan
dan juga kepraktisan kerja. Gedung yang sesungguhnya milik RI
ini tidak dihuni oleh konsulat dan sekolah (SD dan SMP) saja.
Tapi ada juga beberapa kantor swasta RI berkantor di sana.
Ditutup akhir Pebruari yang lalu, tidak diketahui nasib ke-20
staf lokal yang kabarnya hanya diberi pesangon 2-3 bulan gaji.
Yang jelas semangat kerja sudah rusak sesudah penyanderaan itu,
dan kebanyakan pegawai tidak mau masuk kantor setelah konsulat
dibuka kembali 19 Januari yang lalu.
Dari pihak pemerintah Belanda, lewat Algemeene Dagblad ada
menyatakan bahwa pemerintahnya menderita kerugian sekitar
200-250 juta rupiah ditambah lagi dengan 16 gugatan dari pemilik
toko dan pengusaha lainnya di sekitar gedung konsulat RI dan
para petani di Beilen. Yag pasti, selama pengadilan
berlangsung, penjagaan polisi semakin kuat. Untuk mencegah
terjadinya demonstrasi orang-orang RMS seperti ketika pengadilan
peristiwa Wassenaar sedang berlangsung di tahun 1970. Sedangkan
dari masyarakat Maluku Selatan di Belanda, sejak bulan Desember
telah berlangsung kegiatan pengumpulan dana secara gotong royong
untuk membayar para pengacara yang akan membela ke 14 pemuda RMS
ini. Aksi 100 gulden telah ditarik bagi mereka yang telah
bekerja. Perayaan Natal dan Tahun Baru juga mereka pergunakan
untuk malam pengumpulan dana dengan cara melelang barang apa
saja atau malam kesenian dan dansa. Tidak diketahui berapa
jumlah pengumpulan dana tersebut, tapi kalau aksi 100 gulden ini
dilakukan dengan katakanlah, paksaan, dari sekitar 5000 orang
Maluku Selatan saja, ini tentu bukanlah suatu jumlah yang kecil.
Badan Kontak
Minggu ketiga Januari kemarin, sebagai hasil konsesi pemerintah
Belanda untuk segera mengakhiri penyanderaan di 2 tempat akhir
tahun Ialu,"kabinet" RMS telah berunding dengan pihak pemerintah
Belanda. Tujuh orang dari pihak RMS dengan dipimpin oleh
Manusama dan dari pihak Belanda dipimpin oleh Perdana Menteri
Den Uyl. Sesaat setelah perundingan selesai, Manusama ada
memberi komentar: "Saya gembira sekali dengan pertemuan ini.
Pertemuan tahun 1970 cuma berlangsung setengah jam dan kami
mendengarkan saja. Kali ini mereka mendengarkan apa dan
bagaimana maunya kami". Pihak pemerintah Belanda sendiri
berpendapat bahwa masalah RMS memang diakui ada, tapi tidak bisa
berbuat apa-apa untuk pelaksanaan niat orang-orang RMS.
Daerah Otonom Istimewa?
Akhir Pebruari kemarln, telah dilantik suatu Badan Kontak
orang-orang Maluku di Belanda. Badan tersebut beranggota 19
orang yang masing-masing mewakili grup-grup yang ada di Belanda.
Seperti diketahui, tidak semua orang Maluku setuju dengan adanya
gerakan RMS. Sebagian besar masa bodoh akan masalah ini dan
lebih condong untuk hidup baik-baik cari makan di rantau orang.
Biarpun begitu, kabarnya pihak segerombolan anak muda ada yang
tidak puas, yang misalnya berasal dari Assen, Cappelle a/d
Ijssel dan Boven Smilde. Tokoh-tokoh tua yang tetap ngotot akan
perjoangan terwujudnya RMS ini berpendapat: "Sedangkan orang
Israel berjoang 2000 tahun, baru negara mereka bisa terwujud.
Kita belum apa-apa Cuma 25 tahun".
Sementara Sekretaris dari Perkumpulan "Setia Sepanjang Abad",
Gerhard Knot, berpendapat perundingan RMS-Belanda tidak akan
mengakhiri kerusuhan yang akan datang. Peredaan bisa terjadi
kalau misalnya antara pihak Belanda dan RI saling berunding
untuk kemudian "memberikan tanah bagi orang Maluku ini
katakanlah dalam bentuk daerah otononimi". Pendapat ini sejalan
juga dengan apa yang diusulkan Hendrik Owel. "Cukong" RMS yang
kekiri-kirian itu, menghendaki orang-orang Maluku Selatan itu
diberi status "Daerah Istimewa" di Kepulauan Maluku Selatan
seperti D.I. Yogyakarta dan D.I. Aceh tempo hari, sebelum
berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang baru (1975), yang sudah
menyamakan kedudukan Yogyakarta dan Aceh dengan 24 propinsi
lainnya. Usul Owel itu sudah ketinggalan kereta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini