AMERIKA Serikat semakin memperkuat kehadirannya di Timur Tengah
dan Samudera Hindia. Selangkah demi selangkah, dan dalam waktu
relatif singkat, ia mengikat perjanjian dengan Mesirr, Oman,
Kenya dan Somalia untuk menggunakan fasilitas pangkalan militer.
Tujuannya ialah mengamankan angkutan suplai minyak dan bila
perlu, mampu mengirim pasukan secepat mungkin ke berbagai tempat
yang terancam.
Ancaman terutama dirasakannya dari Uni Soviet yang Desember lalu
mencaplok Afghanistan. Apalagi dengan tergulingnya kekuasaan
Syah di Iran awal Februari 1979, AS rupanya makin terdorong
untuk mencari pangkalan baru untuk mengatasi ancaman Soviet.
Di Mesir, AS menyediakan banyak dollar untuk memperbaiki
lapangan terbang Ras Banas yang akan digunakannya sebagai suatu
pangkalan utama. Pemerintahan Presiden Sadat dengan sendirinya
tertolong dalam membangun ekonomi wilayah bagian selatan Mesir
itu. Pemerintahan Carter, menurut sumber Pentagon, sudah
menyiapkan biaya sebesar US$ 400 juta untuk keperluan Ras Banas.
Ras Banas yang terletak di tepi Laut Merah dan berseberangan
dengan Arab Saudi itu akan dijadikan sebagai stasiun pengiriman
pasukan gerak cepat. Walaupun tidak secara permanen, AS akan
menempatkan pesawat tempurnya dan 1 divisi pasukannya di situ
bila sewaktu-waktu terjadi krisis di kawasan Timur Tengah.
Awal tahun ini AS mendapat persetujuan Oman untuk menggunakan
fasilitas bekas pangkalan Inggris di Pulau Al Masirah dan
lapangan terbang Thamarit di Dhofar. Dengan itu, AS akan ikut
menjaga keamanan lalu-lintas kapal pengangkut minyak (tanker) di
Selat Hormoz.
Ini kemudian disusul dengan persetujuan pemerintah Kenya untuk
menyediakan pangkalannya di Mombasa. AS akan dapat mengawasi
dari Mombasa segala gerak-gerik di Samudera Hindia. Sementara
itu bekas pangkalan Inggris di Diego Garcia yang terletak di
Samudera Hindia juga akan ditingkatkannya. Menurut rencana
pangkalan yang disewa AS dari Inggris itu akan dibangun dengan
biaya US$.1 milyar. Sehingga bisa kelak digunakan sebagai
landasan bagi pesawat pembom B-52.
Belakangan ini tiba giliran Somalia yang bersedia menyediakan
Berbera ian Mogadishu untuk dipakai sebagai pangkalan militer
AS. Dengan fasilitas Somalia itu, AS akan bisa mengawasi wilayah
Teluk Aden yang begitu penting artinya bagi lalu lintas kapal
tanker.
Semula Uni Soviet membangun Berbera untuk menjadi pangkalannya.
Tapi tahun 1977, Somalia mengusir orang Rusia dari Berbera
karena Soviet membantu Ethiopia, musuh Somalia, dalam masalah
Ogaden.
Dengan adanya perjanjian pangkalan itu, Somalia sekaligus
meminta bantuan militer AS untuk memperkuat angkatan
bersenjatanya. Menurut pejabat Departemen Pertahanan AS,
Pemerintahan Carter sudah menjanjikan bantuan militer kepada
Somalia sebesar US$ 25 juta, berupa kredit dan sumbangan.
Sementara itu suatu bantuan ekonomi sebesar US$ 77 juta sudah
diterima Somalia. Namun timbul kekhawatiran bahwa Somalia akan
menggunakan militernya yang diperkuat itu untuk membantu kaum
separatis di Ogaden melawan Ethiopia. Ada kemungkinan sesama
negara Afrika itu akan melanjutkan konfrontasi mereka sebagai
akibat perjanjian Somalia-AS itu.
Pangkalan Utama
Persatuan Negara Afrika (OAU) dalam pertemuan puncaknya di Siera
Leone, Juli lalu, memprotes peningkatan militer AS yang
berlangsung di Diego Garcia. Mereka juga menuntut agar pulau itu
dikembalikan kepada Mauritius tanpa syarat.
Diego Garcia termasuk wilayah Mauritius ketika negara itu masih
di bawah jajahan Inggris. Segera sesudah Mauritius dimerdekakan
tahun 1968, Diego Garcia yang merupakan bagian dari Kepulauan
Chagos diserahkan kepada Inggris sebagai pangkalan. Kemudian
Inggris menyewakan lagi pulau itu kepada AS.
Melihat perkembangannya, OAU rupanya menganggap bahwa
peningkatan militer dl pulau itu merupakan 'ancaman bagi
Afrika'. Memang sejak diambil alih AS, Diego Garcia merupakan
satu-satunya pangkalan suplai utama untuk angkatan bersenjata AS
di Samudera Hindia. Pulau itu terletak sekitar 2250 km dari
Mauritius dan dekat dengan Kepulauan Seychelles dan Sri Lanka.
Mengenai ppemakaian pangkalan di Kenya, Oman, Somalia dan Mesir
oleh AS, hampir tak terdengar adanya protes. Soalnya ialah
banyak negara di Timur Tengah yang juga ikut merasakan bahaya
ancaman Soviet terhadap kawasan itu. Paling tidak pada waktu
sekarang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini