SUATU film seri tv yang digemari adalah Bionic Woman. Mungkin
tidak banyak penggemarnya mengetahui siapa Lindsay Wagner,
pemerannya. TVRI sebagai media elektronik tampaknya merasa perlu
bergantung pada media cetak untuk memperkenalkan Wagner. Di situ
bisa ditulis dengan leluasa kehidupan sehari-harinya, sampai
latar belakang pribadinya. Maka majalah Monitor Radio dan
Televisi suatu saat kelak menyajikan tentang Wagner.
Bukan itu saja yang hendak dikerjakannya. Untuk pembacanya
(pemilik televisi) akan diperagakannya dalam tulisan cara
memasang antena televisi agar menangkap gambar bagus. "Kami juga
akan memperkenalkan pribadi para penyiar radio dan televisi,
dapurnya, dan latar belakang suatu acara," kata Drs. H. Subrata,
Pemimpin Umumnya, yang juga Penjabat Sementara Direktur
Televisi.
Monitor yang terbit mulai awal Agustus memang memuat tulisan
yang berkaitan dengan masalah radio dan televisi. Pada edisi
nomor 2, misalnya, ditampilkannya beberapa segi kehidupan
penyiar TVRI Rini Sutomo. Juga dikemukakannya tentang peranan
Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa dalam jaringan radio
dan televisi. Serta tak ketinggalan acara radio dan televisi.
Terdapat banyak gambar.
Penerbitnya, Yayasan Gema Tanah Air, menjual majalah itu Rp 500.
Muncul dua kali sebulan dengan format (27 cm x 36 cm) menyerupai
Life, AS, ia tampaknya ingin berbeda dalam bentuk dengan banyak
majalah populer. Tapi seorang agennya mengeluh bahwa majalah itu
sukar ditenteng.
Monitor (oplah 25.000) mempekerjakan empat wartawan tetap.
Mereka ini kecuali beberapa pimpinan perusahaan dan pimpinan
redaksinya, tidak punya hubungan kedinasan dengan Departemen
Penerangan. Hal itu rupanya disengaja untuk menghindari
pengalaman pahit yang pernah menimpa majalah Monitor terdahulu.
Tahun 1972-73, Direktorat Televisi, Departemen Penerangan,
pernah menerbitkan Monitor (oplah terakhir 10.000). Formatnya
serupa dengan Monitor sekarang. Seluruh pengasuh majalah itu
dulu punya hubungan kedinasan (pegawai negeri Departemen
Penerangan). Soewardi Idris, bekas Pemimpin Redaksinya,
mengatakan mereka dulu mengelola majalah sebagai kerja sambilan.
"Tak seorang pun di antara kami berpengalaman di bidang
penerbitan."
Pemasarannya dulu tidak mendapat perhatian sepenuhnya. Kontrol
pun jadi kendur. Akibatnya majalah itu hanya mampu terbit sampai
nomor 24. Tapi sekarang pengasuhnya ingin berpikir lebih
komersial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini