Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDAPATKAN PANGGILAN telepon dari staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, Wirdateti tidak menyangka sampel yang bakal ia terima merupakan seutas rambut yang diduga dari harimau Jawa (Panthera tigris sondaica). “Dia hanya bilang, ‘Ini kami ada sampel, mungkin harimau. Tolong diidentifikasi’,” kata Wirdateti menceritakan pengalamannya dua tahun lalu saat ditemui di laboratorium reproduksi, Museum Zoologicum Bogoriense di Kawasan Sains Terpadu Soekarno, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Senin, 22 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wirdateti, ahli peneliti utama pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), biasa menerima order mengidentifikasi sampel sitaan dari kepolisian atau tempat karantina. Terakhir kali ia mengidentifikasi awetan harimau yang disita Kepolisian Resor Kota Besar Bandung dari kolektor. Terkadang sampel seperti tulang, gading, kulit, dan tanduk itu sudah bercampur, bahkan sudah berbentuk produk semacam pipa rokok atau bahan racikan. “Mengambil DNA dari rambut termasuk yang susah,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan belakangan, Wirdateti menjadi pemberitaan media massa. Pasalnya, hasil analisis asam deoksiribonukleat (DNA) yang dilakukannya terhadap sehelai rambut kiriman BKSDA Jawa Barat itu diklaim milik harimau Jawa. Padahal satwa yang di Tanah Sunda dipanggil maung itu telah dinyatakan punah oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pada 2008. Wirdateti optimistis terhadap sampel yang ia analisis karena berupa sampel segar yang masih memiliki folikel. “Sampel rambut sangat sulit diambil dari spesimen karena folikelnya tertanam di kulit yang diawetkan.”
Dalam makalah berjudul “Is the Javan tiger Panthera tigris sondaica extant? DNA analysis of a recent hair sample”, Wirdateti membandingkan sekuens DNA dari sampel rambut tersebut dengan sekuens DNA yang diambil dari spesimen harimau Jawa dari Banyuwangi, Jawa Timur, yang dikoleksi oleh A. Ledeboer pada 9 April 1930 dan tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB). Ia juga membandingkannya dengan sekuens beberapa subspesies harimau di Genbank milik National Center for Biotechnology Information (NCBI), dan macan tutul Jawa sebagai kontrol.
Menurut Wirdateti, berdasarkan pohon filogenetik, sampel rambut yang diduga milik harimau Jawa itu masuk kelompok yang sama dengan spesimen harimau Jawa MZB, tapi berbeda dengan subspesies harimau lain dan macan tutul Jawa. “Rambut yang diduga milik harimau Jawa mempunyai kemiripan sekuens sebesar 97,06 persen dengan harimau Sumatera. Adapun spesimen harimau Jawa MZB mempunyai kemiripan sebesar 98,23 persen dengan harimau Sumatera.”
Penelitian Wirdateti bersama koleganya yang terbit di jurnal Oryx milik penerbit Cambridge University Press, Inggris, pada 21 Maret 2024 ini memunculkan kontroversi. Yang paling telak adalah sanggahan dari peneliti Peking University, Cina, Shu-Jin Luo, yang mengirimkan publikasi short communication ke repositori makalah pracetak bioRxiv pada 11 April 2024. Shu-Jin mempermasalahkan pemakluman Wirdateti ihwal maung mungkin masih ada.
Menurut Shu-Jin, ada tiga isu yang dipersoalkan dalam studi Wirdateti. Pertama, sekuens yang diperoleh bukan segmen DNA mitokondria (mtDNA) harimau asli. Kedua, ada kemungkinan yang didapat adalah salinan gen palsu atau Numt (mtDNA inti)—karena kesalahan lokasi penempatan mtDNA yang seharusnya ke sitoplasma malah masuk ke inti. Ketiga, sedikitnya rincian pengendalian kualitas yang diberikan untuk mengecualikan kemungkinan kontaminasi silang.
Dalam studi Wirdateti itu, Shu-Jin melihat clade genetik rambut yang diduga milik harimau Jawa dan spesimen harimau Jawa koleksi MZB merupakan kelompok di luar clade mtDNA harimau dan secara filogenetik berjarak sama dari harimau dan macan tutul. Pola ini tidak teramati pada penelitian yang melibatkan harimau sebelumnya, seperti studi Hao-Ran Xue dari Peking University pada 2015 dan penelitian Xin Sun dari University of Copenhagen, Denmark, pada 2023.
Ihwal gen palsu alias Numt yang dituduhkan Shu-Jin, Wirdateti mengakuinya, kendati ia menyatakan hal itu bukan kesengajaan, melainkan ketidaktahuan. Sebenarnya, kata Wirdateti, dia sudah diingatkan oleh Anubhab Khan, peneliti harimau Benggala dari University of Copenhagen, mengenai sekuens yang diperolehnya adalah Numt. “Yang mengatakan kepada saya itu jurnalis The Wall Street Journal yang mewawancarai empat hari setelah makalah terbit di Oryx,” ucap Wirdateti.
Wirdateti lantas berdiskusi dengan Khan melalui Zoom. Kepada Khan, ia mengatakan tidak mempermasalahkan makalahnya disanggah. “Sanggah-menyanggah itu wajar dan pelajaran bagi saya bahwa perlu kehati-hatian,” tuturnya. “Anubhab mengatakan Numt itu memang kerap terjadi pada suku kucing,” ujar Wirdateti. “Saya katakan kepada dia bahwa saya akan mengecek ulang. Kebetulan saya masih menyimpan sekuens yang 400-an dan 800-an pasang basa nukleotida (bp).”
Wirdateti menjelaskan, ketika melakukan amplifikasi DNA dengan reaksi berantai polimerase (PCR), sekuens yang didapatkan tidak langsung sepanjang 1.048 bp. “Jadi pertama saya dapatkan dulu sekuens sepanjang 440 bp, lalu saya PCR lagi dapat sekuens sepanjang 800-an bp. Lalu PCR lagi sampai akhirnya saya dapat yang sepanjang 1.000-an bp itu,” kata Wirdateti. “Yang 400-an dan 800-an itu tidak saya pakai karena saya pikir sekuens paling panjang yang lebih baik.”
Sampel rambut yang diduga Harimau Jawa yang DNA nya sudah diekstraksi/Dok Badan Riset dan Inovasi Nasional
Akhirnya Wirdateti berkolaborasi dengan Khan membuat makalah berjudul “Reanalysis of sequences of alleged Javan tiger highlights the difficulties in studying big cats and the need for high throughput sequencing” yang dipublikasikan di bioRxiv pada 15 April 2024. “Makalahnya sebenarnya rampung sebelum ada sanggahan Shu-Jin, tapi saya bilang kepada Anubhab ditunda saja setelah Idul Fitri,” ucap peraih master of science bidang genetika molekuler pada primata dari Institut Pertanian Bogor (IPB University) tahun 1999 ini.
Dalam makalah perbaikan yang juga akan dipublikasikan di Oryx itu, Khan menjadi penulis pertama, sedangkan Wirdateti sebagai penulis keempat. “Hasilnya tetap sama,” ujar Wirdateti. “Ketika saya cari pseudogen-pseudogen harimau di Genbank milik NCBI itu ternyata ada, lalu saya analisis ulang dan hasilnya tetap harimau Jawa. Sekuens rambut dan spesimen harimau Jawa tetap menyatu, lalu Panthera tigris Numt ada di cabang lain.”
Wirdateti juga mengulangi pencarian dengan Basic Local Alignment Search Tools (BLAST) di Genbank terhadap sekuens yang belum dipakainya yang memiliki panjang 869 bp yang diyakini merupakan segmen mtDNA sitokrom B (CytB) asli. “Ternyata memang ia dekat sekali dengan harimau-harimau yang lain. Kan, yang sebelumnya kemiripannya itu 96,87-97,06 persen. Setelah di-BLAST ulang dengan sekuens baru, kemiripannya menjadi 98,27-98,55 persen,” katanya.
Hasil itu pun otomatis mengubah pohon filogenetik. Rambut yang diduga milik harimau Jawa kini berada pada cabang yang sama dengan spesimen harimau Jawa di MZB dan beberapa harimau Sumatera lain. Namun Khan menegaskan bahwa penelitian ini dapat memastikan rambut tersebut termasuk clade harimau Paparan Sunda, tapi tidak dapat menetapkannya ke subspesies mana. “Hal ini sebagian disebabkan oleh kurangnya basis data garis keturunan harimau yang punah.”
Indonesia diyakini pernah memiliki tiga subspesies harimau, yakni harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), harimau Bali (Panthera tigris balica), dan harimau Jawa. Dua subspesies terakhir dinyatakan punah pada 2008. Status konservasi dari IUCN ini pula yang membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hendak menindaklanjuti analisis DNA Wirdateti dengan uji lanjutan. “Masih kita kaji,” tutur Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Satyawan Pudyatmoko melalui WhatsApp, Selasa, 16 April 2024.
Menurut Satyawan, BKSDA Jawa Barat telah turun ke lapangan untuk mengumpulkan bukti. Kontroversi yang muncul, kata Satyawan, membuat KLHK berencana mengundang para ahli genetika lintas instansi untuk melakukan uji laboratorium lanjutan. “Misalnya perlunya menggunakan penanda mitokondria yang lebih beragam sebagai tindak lanjut uji filogenetik yang sudah dilakukan,” ucapnya.
Wirdateti menuturkan, sampel seutas rambut tersebut sudah tidak mungkin lagi diekstraksi DNA-nya. Menurut dia, uji DNA bisa ditargetkan kepada spesimen harimau Jawa yang tersimpan di MZB. “Ada dua spesimen kering di MZB yang berumur 94-1114 tahun, satu harimau Jawa dari Blitar, Jawa Timur dan yang lainnya dari Banyuwangi, Jawa Timur,” ujarnya. “Saya berencana menguji DNA lagi. Mungkin nanti akan menganalisis seluruh genom mitokondria yang panjangnya 16 ribu pasang basa.”
•••
SEUTAS rambut sepanjang 3 sentimeter itu ditemukan oleh Kalih Raksasewu pada 27 Agustus 2019. Sepekan sebelumnya, pemerhati budaya dan lingkungan yang mendirikan dan mengelola Yayasan Bentang Edukasi Lestari itu mendapatkan aduan dari kenalannya yang bernama Ripi Yanuar Fajar yang mengaku hampir diterkam maung. Lokasi penampakan harimau Jawa itu di Kampung Cikaramat, Kemandoran Cimandala, Desa Cipeundeuy, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
“Kejadiannya pada Ahad, 18 Agustus 2019, sekitar pukul 23.30 sepulang dari acara 17-an di kampung sebelah, Ripi mengendarai sepeda motor melintasi jalan yang diapit kebun,” ucap Kalih saat ditemui di Taman Kanak-kanak Exploreee, Bogor, Selasa, 23 April 2024. “Ripi mendengar di sebelah kirinya seperti suara kaki berlari di atas daun-daun kering, mengejar. Tiba-tiba harimau itu meloncati Ripi dan jatuh tepat di depan motor yang seketika berhenti,” tutur Kalih mengulangi cerita Ripi.
Harimau itu, kata Kalih, menatap tajam Ripi sambil mengeram. Beruntung empat teman Ripi yang mengendarai mobil segera sampai di lokasi. Saat Ripi meminta sopir mobil memainkan gas, rupanya harimau itu mengalah. Ia berjalan gontai ke arah depan Ripi sejauh sekitar 50 meter, lalu menghilang ke kebun di sisi kanan jalan. “Jadi yang menyaksikan itu lebih dari satu orang. Mereka yakin itu maung, bukan macan tutul, karena corak belangnya,” ujar Kalih.
Kalih yang sejak kecil terobsesi pada harimau Jawa itu lantas mengunjungi lokasi penampakan. Ia lalu merekonstruksi kejadian. Kalih pun menelusuri jalur pergerakan si maung. Di pagar kebun yang berupa potongan kayu itulah dia menemukan seutas rambut maung yang tersangkut di ujung ranting. “Langsung saya masukkan ke plastik yang memang sudah disiapkan. Saya pikir, seperti kucing yang sering rontok bulunya, maung pun begitu.”
Bagi Kalih, menemukan seutas rambut itu tak seperti mencari jarum di tumpukan jerami. “Karena track-nya jelas, saksi matanya banyak, maka radius pencariannya menjadi sempit,” tuturnya. Dia mengaku hanya menyisir area yang tak lebih dari lima meter. Selain itu, kata Kalih, yang membuat ia yakin jejak maung tidak hilang adalah belum ada hujan yang turun pada musim kemarau yang parah saat itu.
Kalih berpikir, rambut tersebut harus diuji di laboratorium. Ia sempat terpikir mengirimkan sampel rambut itu ke almamaternya, Fakultas Peternakan IPB University, yang memiliki laboratorium genetika atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. “Karena ini aset negara yang dilindungi undang-undang, akhirnya saya putuskan mengirimkan ke BKSDA Jawa Barat,” ujar Kalih, yang juga Direktur Teacher Resources Empowerment (True).
Karena domisilinya di Bogor, Kalih meminta kerabatnya di Bandung untuk menyerahkan sampel seutas rambut itu ke BKSDA Jawa Barat. Rupanya, kerabat Kalih tidak menyerahkan langsung kepada BKSDA Jawa Barat, tapi menitipkannya kepada Sandyakala Ning Tyas, Manajer Taman Buru Masigit Kareumbi—kawasan konservasi yang dikelola BKSDA Jawa Barat bersama Wanadri (Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri).
Harimau Jawa yang terlihat di Ujung Kulon. Instagram.com
Sandyakala, yang akrab disapa Echo Wanadri, membenarkan kabar bahwa dia yang dititipi sampel seutas rambut tersebut. “Saya menerima paket yang dikirimkan oleh Pak Titik Bachtiar. Jadi saya tidak mengenal dan tidak bertemu langsung dengan Kang Kalih,” ucap Echo Wanadri saat dihubungi Tempo, Rabu, 24 April 2024. “Saya menerimanya sekitar akhir Agustus 2019.”
Kemudian, kata Echo, keesokan harinya ia langsung menyerahkan sampel itu ke laboratorium Museum Zoologi dan Herbarium Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung untuk uji mikroskopis. Karena sampelnya hanya satu dengan kualitas yang kurang bagus, laboratorium tak dapat menyimpulkan bahwa rambut itu termasuk milik famili kucing. “Apalagi tidak ada data pembanding. Waktu itu hanya ada sampel rambut harimau Sumatera,” tutur Echo.
Mendapat kabar buruk itu, Echo lalu berkoordinasi dengan BKSDA Jawa Barat untuk menindaklanjuti sampel tersebut. “Mungkin ada semacam suasana kebatinan dari staf BKSDA yang skeptis dengan banyaknya laporan penampakan harimau Jawa yang sudah dianggap punah. Semua laporan itu ditanggapi dengan pengerahan petugas ke lapangan. Ternyata bukti yang didapat itu kebanyakan macan tutul,” ujar Echo menduga alasan sampel tersebut tetap mengendap di meja kantornya selama hampir tiga tahun.
Menurut Echo, yang lama berkecimpung dalam konservasi kawasan, tidak pernah sekali pun ditemukan rambut satwa. “Kami memasang 20 kamera jebak di Masigit-Kareumbi ini. Selama ini tak pernah mendapatkan temuan rambut,” katanya. “Kalaupun rambut ditemukan di feses satwa, itu biasanya adalah milik mangsanya.”
Pandemi Covid-19 menenggelamkan isu penemuan harimau Jawa. Kalih Raksasewu, yang merasa sudah menyerahkan sampel kepada BKSDA Jawa Barat, hilang kesabaran menunggu kabar kelanjutan temuannya itu. Ia lantas mengirim pesan ke nomor WhatsApp Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, menanyakan ihwal sampel itu. Ia juga melampirkan surat berisi kronologi penemuan, foto rambut, dan bukti lain. “Sepuluh menit kemudian saya ditelepon Kepala Dinas Kehutanan Pak Epi Kustiawan. Beliau bertanya kapan saya mengirim sampel itu,” tuturnya.
“Ternyata BKSDA tidak pernah menerima kiriman sampel. Saya lalu menanyai kerabat saya, dia menyerahkan sampel itu kepada siapa? Ketika disebut Kang Echo Wanadri, pihak BKSDA langsung mengerti.” Kalih melanjutkan, “Saya kecewa terhadap staf Dinas Kehutanan yang mengunggah surat kronologi saya itu di Facebook sehingga informasi tersebut bocor ke media. Ini kan baru laporan orang melihat harimau. Jadinya bukan menjaga lingkungan, malah mengundang para pemburu dan cukong, dong.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Irsyan Hasyim berkontribusi pada artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Seutas Rambut Maung Kontroversial".