Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perginya Sang Pembebas

Lolos dari kejaran tentara Saddam Hussein, ia mendirikan pemerintahan sementara di Taif. Pejuang hak politik perempuan Kuwait.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR mata duka menggenangi Kuwait, Ahad pekan lalu. Ribuan orang berkumpul di depan Istana Dasman. Kaum perempuan mengenakan gaun panjang hitam, sibuk menyeka mata mereka yang sembap. Anak-anak perempuan membawa poster Emir Kuwait, Sheik Jabar al-Ahmad al-Sabah. Hari itu ia mangkat pada usia 79 tahun karena perdarahan otak.

Hanya satu jam setelah dinyatakan wafat, dengan berselimutkan bendera Kuwait, jenazah Emir diusung tandu sederhana ke pemakaman Al-Sulaibikhat. Tanpa kemewahan dunia, ia dikubur tanpa nisan bernama.

Sheik Jabar memang mendapat tempat istimewa di hati perempuan. Ia menutup 30 tahun masa keemirannya dengan mereformasi undang-undang yang membebaskan perempuan Kuwait ikut pemilihan parlemen pada 2007. Padahal selama ini, dalam konstitusi, hanya pria yang berhak memilih dan dipilih.

Amendemen konstitusi, Mei 2005, menghapus aturan diskriminatif itu. ”Perempuan kini dapat dipilih untuk mengisi 15 jabatan menteri,” kata Sheik Sabah al-Ahmed al-Sabah, Perdana Menteri Kuwait.

Di Kuwait, reformasi hak politik perempuan bukan hal mudah. Emir pernah mengeluarkan dekrit yang memberikan hak ini pada 1999, tapi dibatalkan parlemen yang dikuasai kelompok Islam dan suku konservatif.

Mereka menganggap hal itu bertentangan dengan hukum Islam. Padahal, Kuwait negeri pertama di kawasan Teluk yang memiliki parlemen hasil pemilu, sejak 1963. Jirannya—Bahrain, Qatar, dan Oman—sudah membolehkan perempuan mencoblos dalam pemilu.

Sebetulnya perempuan Kuwait lebih liberal dan terdidik daripada perempuan di negeri Teluk lainnya. Mereka boleh menyetir mobil, berpakaian ala Barat, dan melancong ke luar negeri. Ada pula yang menduduki jabatan tertinggi di perusahaan minyak.

Sekitar 70 persen lulusan Universitas Kuwait adalah perempuan. Tahun lalu, perjuangan Emir yang didukung para aktivis perempuan berhasil menempatkan Massouma al-Mubarak sebagai menteri.

Tentu saja Sheik Jabar bukan pemimpin tanpa cela. Ia penguasa absolut di awal pemerintahannya. Emir ke-13 dinasti Al-Sabah ini pernah membekukan Majelis Nasional (parlemen) ketika naik takhta pada 1976, karena menganggap parlemen tidak sesuai dengan kepentingan nasional. Sejak itu dia menjadi penguasa minyak tunggal di negara produsen ”emas hitam” terbesar keempat dunia itu.

Ketika Sheik Jabar berkuasa, Kuwait menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat dan Inggris di Timur Tengah. Sejak itu, perusahaan minyak kedua negara ini berpesta-pora, memompa 2,68 juta barel per hari dari ladang minyak Kuwait yang menyimpan 10 persen kandungan minyak dunia. Karena itu, Amerika dan Inggris bungkam saja ketika dengan alasan yang sama Emir kembali membekukan parlemen pada 1986.

Ketergantungan Kuwait pada Amerika sangat kuat. Maklumlah, sebagai negara kecil yang kaya, kekuasaan monarki sang Emir selalu terancam dua tetangganya yang agresif: Irak dan Iran. ”Kuwait butuh Amerika dan Amerika butuh Kuwait,” kata Ayed al-Mannah, dosen politik Universitas Terbuka Arab di Kuwait.

Maka, ketika para penguasa monarki Teluk merasa terancam revolusi Islam yang dikobarkan pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Khomeini, Sheik Jabar pun—seperti Amerika—mendukung Presiden Irak Saddam Hussein memerangi Iran (1980-1988).

Belakangan, Saddam justru mengerahkan 100 ribu tentaranya menduduki Kuwait pada 2 Agustus 1990. Saddam mengejek sang Emir suka main perempuan karena kawin dengan 40 wanita. Saddam memerintahkan tentaranya menangkap Sheik Jabar, hidup atau mati.

Tapi ia keburu kabur ke Arab Saudi bersama 70 anaknya dan sebagian besar keluarga istana. ”Mengapa Saddam benci pada saya?” katanya ketika itu. Sheik Jabar lalu mendirikan pemerintahan pengasingan di Taif, dan lewat televisi Saudi ia meminta rakyat Kuwait melawan.

Kesempatan ini dimanfaatkan oposisi. Mereka akan mendukung Jabar jika ia mengembalikan parlemen. Emir menepati janji dua tahun setelah Irak kabur dari Kuwait atas bantuan Amerika, pada Januari 1991. Ketika turun dari pesawat yang membawanya dari Taif, ia bersujud mencium tanah Kuwait, negeri yang tak bisa lagi diperintah secara absolut oleh penerusnya, Sheik Saad al-Abdullah al-Sabah.

Raihul Fadjri (BBC, Reuters, Guardian, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus