Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Babak Akhir Jenderal ”Bima”

Sejumlah faktor diduga menjadi penyebab mengapa Presiden tak memilih Ryamizard Ryacudu. Dari soal Aceh sampai Megawati.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wayang kulit itu berkelebat di genggaman Jenderal Ryamizard Ryacudu, 55 tahun. Berdiri di depan sejumlah wartawan yang mengerumuninya siang itu, jenderal kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, ini bergaya bak seorang dalang yang memainkan lakon wayang. ”Ini Bima,” kata Jenderal Ryamizard mengenalkan sang tokoh.

Menantu mantan wakil presiden Try Sutrisno itu lalu bercerita tentang sosok Bima alias Bratasena, anak kedua dari lima anak Prabu Pandu dalam legenda Mahabarata. Bima dikenal patuh pada gurunya, terutama Dewa Ruci. Anggota keluarga Pandawa ini dikenal bersemboyan menang jika berperang, memilih mati jika kalah. ”Jiwanya keras, hatinya lembut,” kata Ryamizard. ”Ini pertanda saya. Bisa menjadi simbol watak seseorang,” ucapnya lagi.

Hari itu, Rabu 25 Mei 2005, Ryamizard terlihat girang betul. Wayang kulit kado panitia seminar di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, itu diayun-ayunkannya. Kado itu diberikan sebagai kenangan karena sang Jenderal bersedia tampil menjadi pembicara seminar membedah kitab Negara Kertagama karya Mpu Tantular. Bersama sejumlah pakar budaya, mantan Pangkostrad ini fasih mengulas buku yang mengisahkan kegemilangan Kerajaan Majapahit. Tapi, tetap saja yang disampaikan tak jauh dari urusan keamanan.

Menjadi pembicara adalah satu di antara sekian kegiatan Ryamizard saat ini. Dan tampilannya di Perpustakaan Nasional siang itu adalah yang pertama sejak ia tak lagi menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Begitu lengser, sederet undangan seminar, diskusi kebangsaan, hingga menjadi guru di Sekolah Taruna Nusantara mengalir deras ke rumahnya di kawasan Cijantung, Jakarta Timur.

Aktivitas lainnya? Indra Bambang Utoyo, karib Ryamizard dari Palembang, bercerita bagaimana sang Jenderal menghabiskan hari-harinya. Sekali waktu, jenderal satu ini masih ikut sibuk mengurusi TNI Manunggal Desa di Aceh. Kali lain, sang Jenderal melahap setumpuk buku bacaan. Di waktu senggang, selain olahraga, Ryamizard gemar naik gunung dan juga memotret. ”Dan yang jelas, memberikan banyak waktunya untuk keluarga. Selama ini hampir 90 persen waktunya untuk mengurusi negara,” ujar Indra.

Dari istrinya, Nora Trystiana, Ryamizard mendapat tiga anak. Si sulung, Ryano Patriot, kini sudah remaja. Adiknya, Dwinanda Patriot dan bungsu Trynanda Patriot, masih duduk di SD. Sebagai jenderal aktif Mabes AD tanpa jabatan, Mizard kini bisa leluasa mengantar anak-anaknya sekolah. Namun ia tetap ngantor, meski tanpa jabatan dan tugasnya tak seberat dulu. ”Tetap, meski di luar formasi,” ujarnya, enteng.

Tak ada yang berubah dari mantan KSAD ini. Ketika ditemui Tempo saat halal bihalal, awal Desember silam, gayanya masih ceplas-ceplos. Lugas dan tegas. Manakala dua pertanyaan soal politik dan Panglima TNI itu muncul dari bibir wartawan, mendadak wajah jenderal yang gemar turun ke lapangan ini akan merengut, sebal. Politik, katanya, banyak bohongnya. Tak jelas siapa yang dituding berbohong. Bagaimana soal panglima? ”Itu lagi. Ini juga sensitif, nanti jadi ribut. Bikin saya pusing saja. Sudahlah, itu urusan yang di atas,” tuturnya mengelak.

Setahun terakhir namanya memang selalu dikaitkan sebagai calon pengganti Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, yang berniat pensiun. Presiden Megawati, pada 8 Oktober 2004, bahkan sempat mengajukan nama Ryamizard ke DPR. Kepada Tempo, setahun silam, Mega beralasan pengajuan Ryamizard di ujung akhir masa jabatannya sebagai presiden itu dikarenakan dua kepala staf TNI lainnya sudah memasuki masa pensiun. ”Panglima sendiri sudah dua kali mengajukan pensiun. Karena itu, pengajuan saya tak salah,” kata Mega.

Tapi, pada bulan berikutnya, hanya sepekan setelah dilantik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim surat ke DPR yang intinya mencabut surat pengajuan Mega. Sebagian politisi di parlemen itu pun marah dan kekisruhan itu berujung pada pengajuan hak interpelasi. Demi mendinginkan suasana, Presiden ke DPR dan mereka bersepakat akan segera mengajukan nama baru lagi ke Senayan, meski DPR waktu itu telah telanjur menetapkan mantan Pangkostrad itu menjadi panglima.

Lalu, pada Februari 2005, nama Ryamizard pun kembali diajukan Markas Besar TNI dalam satu paket dengan rencana pergantian kepala staf angkatan kepada Presiden. Sebagai orang paling senior di antara ketiga kepala staf angkatan itu, Ryamizard dianggap lebih berpeluang diajukan. Sejumlah kalangan menganggap nama Ryamizard-lah yang akan diajukan Presiden sesuai dengan ketentuan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengharuskan Presiden mengajukan satu nama Panglima TNI ke DPR untuk disetujui.

Tapi analisis ini ditepis manakala Presiden masih memperpanjang masa jabatan panglima hingga akhir 2005. Sebaliknya, Presiden mengganti tiga kepala staf angkatan, termasuk Ryamizard, KSAD waktu itu. Hawa politik kian terasa dari perpanjangan kebijakan itu. ”Terkesan, ada perwira yang ditolak,” kata pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro. Apalagi ketika itu umur Ryamizard menjelang usia pensiun sebagaimana disyaratkan Undang-Undang TNI, 56 tahun.

Lahir di Palembang, 21 April 1950, Ryamizard dibesarkan dalam keluarga tentara. Mendiang ayahnya, Brigjen Ryacudu, adalah purnawirawan yang ketika berdinas aktif dikenal sebagai pengagum dan kepercayaan Presiden Soekarno. Kebanggaan akan ayahnya menjadi alasan Ryamizard memutuskan masuk Akabri. Tahun 1969, ia mendaftar masuk Akabri Darat dan diterima sebagai calon angkatan (lulusan) tahun 1972. Tapi kecelakaan saat pelonco di Gunung Tidar, Magelang, mematahkan kakinya.

Tak mau mundur, setahun kemudian Ryamizard mencoba lagi. Lolos, dan masuklah dia ke angkatan 1973. Di situ ia bertemu Susilo Bambang Yudhoyono, kawan seangkatannya. Nasib memisahkan mereka. Dalam perjalanannya, Ryamizard baru lulus setahun kemudian, 1974. Tiga orang taruna kawan seangkatannya bernasib serupa, tertunda kelulusannya karena kena skorsing. Salah satu kawannya itu adalah Prabowo Subianto, putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo yang kemudian menjadi menantu mantan presiden Soeharto.

Kendati berbeda angkatan, hubungan Ryamizard dan SBY kembali berlangsung setelah keduanya dilantik menjadi perwira TNI-AD. Tahun 1993, tugas mempertemukan mereka di Markas Brigif Lintas Udara 17/Kujang 1 Kostrad, Jakarta. Saat itu SBY sudah kolonel dan menjadi komandan menggantikan Kolonel Inf. Sugiono. Ryamizard sudah letkol dan menjadi Kepala Staf Brigif Linud 17/Kujang I. Satuan elite ini terdiri dari tiga batalion dan dikenal punya prestasi tempur legendaris. Tahun 1997, mereka bertemu lagi di Palembang. SBY sudah menjadi Pangdam II Sriwijaya, Ryamizard menjadi Kepala Staf Kodam Sriwijaya.

Salah satu orang dekat SBY di Istana menceritakan, terlepas dari terjadinya politisasi Panglima TNI di DPR, Oktober 2004, sebenarnya SBY memang berniat mengajukan nama Ryamizard sebagai pengganti Sutarto. Pada 27 Oktober 2004, sehari setelah SBY mengirimkan surat ke DPR, menurut sumber ini, Presiden bertemu dengan Ryamizard di Istana Merdeka. Pertemuan itu luput dari wartawan.

Dua jam pertemuan, hanya lima menit mereka bicara serius. Selebihnya, reuni sesama kawan lama. Intinya, Presiden, kata orang dekat SBY ini, minta Mizard membenahi TNI. ”Satu-satunya nama panglima di saku saya adalah Abang (Ryamizard),” kata sumber ini menirukan SBY.

SBY juga menyatakan ingin melakukan pertemuan berkala dengan Mizard. Pesan lainnya, Ryamizard diminta tak banyak bicara dan lebih aktif di kegiatan sosial. Setelah itu, Mizard pun memilih banyak mengerem bicara. Tugas-tugas sosial juga lebih banyak dilakukannya. Misalnya merancang TNI Manunggal Desa di sejumlah desa di Aceh. Bahkan program itu dinilai efektif memulihkan Aceh, pasca-tsunami.

Tapi sejak itu tak ada kabar lagi. Pertemuan itu adalah yang pertama dan yang terakhir kalinya. Selain acara formal, tak ada lagi pertemuan berkala seperti yang dimaksud Presiden. Sampai akhirnya, Presiden memutuskan memperpanjang masa tugas Panglima TNI dan mengganti tiga kepala stafnya, termasuk Ryamizard. ”Sejak itu, Pak Mizard tahu, pertemuan itu tak pernah akan ada,” kata mantan anggota tim sukses SBY ini.

Skenario Istana memang berubah. Sumber Tempo menyebutkan, atas sejumlah masukan, Presiden akhirnya memperpanjang masa tugas panglima demi mengulur waktu. Selain menyiapkan jago baru, juga membuat alasan kuat yang membuat Presiden tidak memilih Ryamizard. Salah satunya adalah karena usia mantan KSAD itu memasuki masa pensiun. ”Bukan cuma kurang sreg, tapi juga perlu adanya penggiliran angkatan untuk Panglima TNI sesuai dengan undang-undang,” kata pengamat politik Ikrar Nusa Bakti kepada Nuraini dari Tempo.

Tapi, yang jelas, kata orang dekat Presiden, Ryamizard tak disukai Amerika. Selain menganggap dia bertanggung jawab atas kasus Timika, Washington kabarnya menilai sosok Ryamizard sebagai jenderal yang punya closed mind (kolot). Salah satu yang disoal adalah buku Indonesia Terjebak Perang Modern yang dilansir Seskoad, akhir Desember 2004. Isi buku itu sedikit-banyak memposisikan Indonesia sebagai pihak yang berseberangan dengan Amerika Serikat.

Buku itu, kata sumber Tempo, sempat dilarang Presiden. Malah dua hari sebelum peluncuran buku itu, panitia akhirnya meminta izin ke Wakil Presiden Jusuf Kalla. Acara berlangsung mulus. Dan jadilah buku itu tanpa ucapan terima kasih kepada Presiden. Ryamizard sendiri membantah ketika dikonfirmasi sikap Presiden soal ini. ”Tidak, kok. Dua hari sebelum peluncuran, Danseskoad sudah berbicara langsung dengan Presiden. Saya kira beliau setuju,” ujarnya.

Soal perdamaian Aceh juga jadi ganjalan. Sikap keras tanpa kompromi mantan KSAD ini dianggap bisa membahayakan perdamaian di Aceh yang sedang dirintis. Apalagi, mantan KSAD ini dianggap tak setuju dengan hasil MOU Aceh di Helsinki. Dan yang terakhir, intinya Istana menyoal loyalitas Ryamizard. ”Termasuk karena terlalu dekat dengan mantan presiden Megawati,” kata sumber Tempo ini.

Agaknya, Ryamizard sudah paham betul, ini adalah babak akhir dari perjalanan kariernya di TNI. Penjelasan Presiden melalui Panglima TNI pekan lalu sudah sangat terang-benderang. ”Presiden memilih KSAU Marsekal TNI Djoko Suyanto demi rotasi di TNI,” kata Sutarto. Tidak dipilihnya Ryamizard, kata Sutarto, karena mantan KSAD itu akan segera memasuki masa pensiun.

Karenanya, sejak pekan lalu ia memilih menyepi ke luar kota. Dua nomor ponselnya tak aktif. Pun demikian dengan rumahnya di kawasan Cijantung. Dua penjaga rumah juga hanya berkata, ”Rumah sepi. Bapak ke luar kota dengan keluarga sejak pekan lalu.”

Menurut Indra Bambang Utoyo, sudah lama Ryamizard mengetahui babak akhir cerita Panglima TNI. ”Sudah lama ia menyatakan legowo. Yang penting kini baginya, pengabdian bagi negara bisa dengan apa saja,” ujarnya.

Seperti juga lakon Bima, tokoh wayang yang digandrunginya, begitulah babak akhir jenderal Ryamizard. Karena terlalu lurus, Bima tak pernah menjadi mahasenapati dalam Perang Baratayuda. Dan Jenderal ”Bima” Ryamizard pun demikian. Ia tak akan menjadi mahasenapati Yudhoyono.

Widiarsi Agustina, Fanny Febiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus