Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perjalanan Pulang Fransiskus I

Kardinal Argentina Jorge Mario Bergoglio ditabalkan menjadi Paus Fransiskus I pada pekan lalu. Gereja Universal mencatat sejarah baru dengan naiknya pemimpin perdana dari wilayah Amerika Latin—sekaligus Yesuit pertama—ke Takhta Suci. Ke mana gerak mondial Gereja Katolik, dengan 1,2 miliar pengikut, di bawah kepausan Fransiskus I? Tempo melaporkan dari Kota Vatikan dan Italia.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEATER itu berpusat pada satu jendela bertirai putih dengan draperi merah bata di balkon utama Basilika Kota Vatikan. Sekitar 138 meter di bawahnya, terbentanglah lapangan yang menjadi panggung utama perhelatan raksasa pada malam musim semi penuh kenangan itu, 13 Maret 2013. Peziarah dan turis melimpah dari segala arah. Via della Conciliazione, yang menjulur dari tepian Sungai Tiber ke arah alun-alun Kota Vatikan, penuh sesak. Tatkala jendela balkon dibuka menjelang pukul 20.00 waktu lokal, di Jakarta tengah malam sudah lewat.

Jean-Louis Pierre Tauran, sesepuh Dewan Kardinal—dalam jubah merah kesumba—muncul membacakan dua kata: Habemus Papam. Kita mempunyai paus baru! Ia memilih nama Fransiskus I.

Takrif itu bagaikan sihir. Gaung menjalar ke sekujur alun-alun: campuran pekik, tawa, tangis kegembiraan yang meluap. Orang-orang menari, melemparkan baju dingin, selendang, bendera, topi—bahkan ada yang melontarkan bayinya ke udara.

Lapangan Santo Petrus menggeletar ketika bintang perhelatan muncul di balkon. Tubuhnya dibalut jubah putih, buatan keluarga Gammarelli, penjahit resmi busana kepausan sejak abad ke-18. "Viva il Papa, Francesco, Francesco," pekikan mengguntur di bawah. Kardinal Argentina Jorge Mario Bergoglio, 77 tahun, masuk konklaf dengan posisi "tak dihitung"—dan keluar sebagai Paus Fransiskus I.

Media tak meliriknya sama sekali. Pengamat Vatikan tak menyebut namanya. Tapi 155 kardinal elektor di Kapel Sistine menemukan kualitas pemimpin Gereja Universal pada diri Uskup Agung Buenos Aires sederhana ini. Dia memilih Fransiskus Asisi, pendiri Ordo Fransiskan yang menyerahkan hidupnya dengan radikal kepada kaum papa, sebagai bapa pelindungnya.

Bergoglio mengembalikan ingatan pada adagium lama: siapa yang masuk konklaf sebagai paus, akan keluar sebagai kardinal. Ratzinger, sang "Rottweiler Tuhan", pendahulunya, mematahkan mitos ini: dia calon yang digadang, keluar sebagai paus, walau kemudian "pensiun dini". Bergoglio adalah runner-up konklaf 2005, di bawah Ratzinger. Para pengamat post factum yang sok tahu melempar komentar renyah: takdir anak imigran Italia di Argentina ini adalah berjalan pulang ke Takhta Suci, dan menerimanya dari tangan Benediktus XVI sebagai paus ke-266.

Jam di Kota Vatikan beranjak melewati angka 20.00. Paus baru melambaikan tangan, memimpin doa, lalu berkata: "... kewajiban konklaf adalah memberikan seorang uskup bagi Roma. Sembra che i miei frateli siano andati a prenderlo quasi alla fine del mondo, sepertinya saudara-saudaraku, para kardinal, telah menjemputnya hampir dari ujung dunia...."

Tawa pecah di bawah lapangan. Seorang ibu berseru dengan suara tertahan, dan kamera televisi menyambar wajahnya dengan sigap: "O mio Dio, lui, il Santo Padre, parla come un vero italiano"—Ya Tuhan, Bapa Suci bicara persis dengan orang Italia sejati." Bukan rahasia lagi, ribuan warga Roma dan kota-kota lain di Italia adalah pengunjung terbanyak pada malam itu. Harapan kembalinya "putra daerah" ke pucuk Gereja Universal terkembang dengan cepat selepas turunnya Benediktus XVI.

Sudah dua kepausan diisi oleh "pangeran asing", padahal Italia tak kekurangan stok kardinal hebat. Di antaranya Uskup Agung Milan yang legendaris, Angela Scola, salah satu nama paling moncer pra-konklaf. Andrea Teggi, 39 tahun, warga Paroki Maria Santissima e San Valentino di Rosasco, selatan Milan, berkata tanpa ragu pada masa konklaf kepada Tempo: "Setelah paus-paus asing, Polandia dan Jerman, saya rasa saatnya tiba bagi seorang paus Italia."

Barangkali Teggi, dan ribuan warga Roma malam itu, tak tahu pria di atas balkon tersebut sejatinya anak Italia dari segi darah. Bapak-ibunya, Mario José Bergoglio dan Regina María Sívori, berasal dari Asti di Provinsi Piemonte, yang masyhur dengan Kota Turin. Setelah Bergoglio terpilih, dunia bergegas membongkar biografinya, dan ketemulah pohon keluarga itu. Bagi sebagian warga Italia, naiknya Bergoglio ibarat resureksi Italia di Takhta Vatikan.

Ribuan kilometer dari Kota Vatikan, di bagian selatan Benua Amerika, warga Buenos Aires—ibu kota Argentina—membanjiri halaman katedral selepas terpilihnya Bergoglio. Mereka tak peduli pada bahasa Italia yang diucapkan padri tua di balkon itu, karena sang padri toh, "Anak kandung Amerika Latin," ujar seorang pria setengah menjerit. Televisi Euronews menyiarkan kehebohan di halaman Katedral Buenos Aires. "Bagi mereka," kata penyiar di tengah yel dan sorak sorai, "Fransiskus bukan hanya paus pertama dari Argentina, melainkan juga dari Amerika Latin."

1 1 1

SETIDAKNYA, dua rekor pecah tatkala Bergoglio bersedia menerima keputusan Dewan Kardinal untuk menjadi paus baru. Dia kardinal Amerika Selatan pertama di Takhta Suci. Dia juga—dan ini lebih memicu kontroversi—Yesuit pertama yang menjadi paus. Yesuit adalah sebutan untuk setiap anggota Serikat Yesus, ordo yang didirikan Ignasius Loyola.

Spiritualitas Ignasian, yang dijunjung para Yesuit, mengenal kaul keempat, yakni ketaatan kepada paus, yang tak dikenal dalam ordo-ordo Katolik lainnya. Posisi ini membuat mereka lebih mengambil tempat sebagai "pembantu dekat" yang siap dipanggil setiap saat bila Vatikan membutuhkan. Sampai-sampai ada sebutan: Yesuit adalah pasukan elite alias "Marinir Paus".

Greg Soetomo, SJ, 48 tahun, padri Yesuit penulis buku From Good to Great: Semangat Lebih Yesuit tentang perjalanan 150 tahun Serikat Yesus di Indonesia, membenarkan hal itu. "Tradisi ini bermula pada abad ke-16, tatkala Ignasius Loyola menghadap Paus, menyerahkan ketaatannya untuk siap diutus ke mana pun," katanya kepada Tempo.

Menurut Greg, spirit rendah hati, merakyat, mau miskin, dan siap dianggap orang gila karena melawan segala yang dicari dunia (power, money, pride) merupakan esensi spiritualitas Ignasian. Walhasil, naiknya Yesuit pada jabatan-jabatan tinggi menjadi paradoks. Ad majorem Dei gloriam (AMGD) adalah dasar konstitusi Serikat ini. Artinya, kurang-lebih, mencari mana yang lebih memuliakan Tuhan. Tapi, setiap Yesuit juga dididik dalam semangat bebas-lepas, untuk memilih dengan dasar AMGD, termasuk bila harus menerima jabatan tinggi di lingkungan gerejani.

Kolega Greg, Krispurwana Cahyadi, 48 tahun, teolog Yesuit yang mendalami bidang dogmatik di Universitas Innsbruck, Austria, menambahkan bahwa para Jenderal SJ—pemimpin tertinggi Serikat Yesus—sering disebut Paus Hitam, sebagai kontras terhadap paus berjubah putih di Vatikan.

Loyola, sang pendiri, tampaknya sudah menghitung matang situasi paradoksal itu. "Maka, ketika seorang Yesuit dipilih sebagai uskup (apalagi paus) dia ‘kehilangan status’ Yesuitnya dan tidak punya hak memilih dan dipilih untuk kepentingan Serikat Yesus," Krispurwana menjelaskan. Hak dan keberpihakannya beralih penuh kepada Gereja.

Ada 265 pendahulu Fransiskus I, dan semuanya datang dari tanah Eropa—dengan Italia di nomor teratas. Krispurwana melukiskan naiknya Bergoglio sebagai cerminan cara pandang Gereja yang menjadi realistis karena melihat wajah masa depan, termasuk kaum mudanya, di belahan dunia selatan, yang merupakan mayoritas umat Katolik dunia setelah Eropa.

Konteks Amerika Latin memberi pengalaman perjumpaan yang tidak mudah antara pewartaan Injil ala Barat (yang disertai kolonialisme) dan budaya setempat, Indian, yang sering dianggap primitif. Ini belum menghitung konteks kemiskinan. Sejumlah teolog menyebutkan, dialog dan inkulturasi menjadi kebutuhan mendesak Gereja mondial ke depan, yang perlu diperhatikan Bergoglio.

Amerika Latin dikenal dengan Teologi Pembebasan, dan punya warna pemerintahan condong sosialis. Kondisi ini mirip tumbu ketemu tutup dengan Bergoglio yang dikenal sebagai pembela kaum miskin. Dia menjual limusin keuskupan, menyumbangkan uangnya kepada orang kecil, naik bus ke mana-mana, memasak sendiri makanannya di sebuah apartemen sederhana, dan menolak berdiam di istana kardinal. Sergio Rubin, penulis biografi resmi, dalam wawancaranya kepada majalah Time menuturkan hal itu.

Rubin juga membenarkan amarah para pejuang kemanusiaan Amerika Latin kepada Gereja yang dipandang "hanya berdiam diri" pada masa junta militer. Bergoglio turut menanggung murka itu. Koran-koran Belanda, negeri Eropa yang terkenal sekuler, menyambut penahbisan Fransiskus I dengan sejumlah editorial kritis tentang ihwal yang disebutkan Rubin.

Joss Wibisono, kontributor Tempo di Amsterdam, melaporkan salah satu pertanyaan yang muncul adalah apa peran Bergoglio pada zaman diktator Argentina berkuasa, karena Gereja Katolik pada masa itu dipandang tidak menentang junta militer. Salah satu efeknya: hanya 10 persen orang Argentina rutin ke Gereja, dari dua pertiga penduduk yang mengaku Katolik.

Pada Oktober 2012, Kardinal Bergoglio berinisiatif mengajukan permintaan maaf kolektif dari Gereja kepada masyarakat. "Tapi dia juga mengkritik keras dua belah pihak yang sama-sama dipandangnya mendatangkan kesusahan bagi rakyat, yakni junta dan kaum gerilyawan kiri," kata Rubin.

Fransiskus I juga dikenal tak mau berkompromi dalam isu homoseksual dan aborsi, mirip dengan kedua pendahulunya, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI. Dia mendorong kembalinya kehidupan berkeluarga yang kukuh sebagai basis Gereja.

Problem krusial apa saja yang bakal dihadapi Fransiskus? Salah satunya adalah akuntabilitas dan transparansi, baik finansial maupun kehidupan kaum klerus dan religius. Kasus skandal seks sejumlah imam yang menggemparkan belum terungkap jelas sampai sekarang. Skandal Vatileaks adalah efek ketertutupan dan kemacetan birokrasi tinggi di puncak Gereja. "Bersembunyi begitu saja di balik istilah-istilah suci tidak akan menjawab persoalan," ujar Krispurwana kepada Tempo. "Malahan bisa menerbitkan kecurigaan, sinisme, dan sikap skeptis."

Hal kedua, teolog Yesuit ini menekankan, adalah keterbukaan pada dunia. Salah satu alasan Benediktus XVI atas pengunduran dirinya adalah pesatnya kemajuan dunia, yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru seputar iman dan moral. Gereja tidak bisa hanya asyik dengan bahasanya sendiri, kategorinya sendiri, atau cara berpikirnya sendiri.

1 1 1

TATKALA Prelatur Opus Dei—semacam pimpinan tertinggi organisasi ini—membuat pernyataan mendukung dan menaati paus baru, banyak mata terhunjam ke arah Vatikan. Lazimnya, tak pernah ada kelompok di dalam Gereja merasa perlu membuat pernyataan publik semacam ini. Apakah karena Fransiskus datang dari latar belakang Yesuit, yang disebut-sebut punya "permusuhan di bawah tanah" dengan Opus Dei, sehingga keluar pernyataan tersebut? "Mungkin karena ingin menjawab pertanyaan orang saja," kata Krispurwana.

Di bawah Benediktus XVI, Opus Dei boleh dikata tak sekuat pengaruhnya seperti pada masa Yohanes Paulus II, dan lebih terbuka. Dan Bergoglio, betapapun Yesuit-nya dia, dikenal dekat kelompok fraternitas awam Comunione e Liberazione, yang dipandang agak berseberangan dengan pihak konservatif. Kini, Yesuit ataupun Opus Dei agaknya tak punya pilihan selain menjadi bagian dari "kawanan domba" dengan gembala yang sama.

"Siapa pun pausnya" tiba-tiba menjadi kata amat populer di Italia dan Argentina, yang sama-sama sedang giat menghitung kedekatan dengan Fransiskus. Di Rosasco, kota kecil di selatan Milan, suasana itu terasa betul. Seorang penduduk bercerita kepada Tempo dia dan kawan-kawannya pernah berjumpa Fransiskus saat dia masih Uskup Agung Buenos Aires. Ketika itu Bergoglio datang dan berbicara tentang buku Don Giussani, pendiri Comunione e Liberazione.

Paroki Maria Santissima e San Valentino di Rosasco dipimpin Don Enea Cassinari. Tanpa memusingkan debat teologi yang pelik-pelik, pastor praja itu mengajak umatnya mendoakan, "Siapa pun paus baru itu, hendaknya dia dapat memimpin Gereja dengan baik." Dan paus baru itu, ternyata, adalah imam sederhana yang melakukan "perjalanan pulang" ke Takhta Suci.

Hermien Y. Kleden (Jakarta), Shirley Hadisandjaja (Kota Vatikan dan Italia)


Dari Buenos Aires ke Kota Vatikan

17 Desember 1936
Jorge Mario Bergoglio lahir di Buenos Aires, Argentina, sebagai anak kelima dari pasangan imigran Italia, Mario José Bergoglio dan Regina María Sívori.

1958
Kehilangan satu paru-paru karena infeksi saluran pernapasan.

11 Maret 1958
Masuk Serikat Yesuit sebagai novis, belajar di Seminari Villa Devoto, Buenos Aires.

1960
Mendapat gelar diploma bidang filsafat dari Colegio Máximo San José, San Miguel, Buenos Aires.

1964-1969
Mengajar psikologi di Kolegium Santa Fe dan Buenos Aires.

13 Desember 1969
Ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Ramón José Castellano.

1973-79
Memimpin komunitas Yesuit lokal.

1986
Menyelesaikan studi doktoratnya di Jerman.

20 Mei 1992
Ditahbiskan menjadi Uskup Auksiliari di Buenos Aires.

28 Februari 1998
Diangkat menjadi Uskup Agung Buenos Aires.

2001
Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya menjadi Kardinal Buenos Aires.

2005
Menempati urutan kedua setelah Kardinal Joseph Aloisius Ratzinger—kini Paus Emeritus Benediktus XVI—dalam konklaf 2005.

13 Maret 2013
Terpilih sebagai paus—setelah pemungutan suara kelima—pada hari kedua konklaf di Kapel Sistina, Kota Vatikan. Memilih gelar Fransiskus I, dia paus non-Eropa—dan Yesuit—pertama dalam sejarah Gereja Katolik.

Sapto Yunus (Graphic News, Reuters), Shirley Hadisandjaja (Kota Vatikan dan Italia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus