Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Chien Shun-yih menghela nafas saat melihat kebun tehnya yang layu di kota Meishan, wilayah selatan Taiwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekeringan yang terjadi pada tahun lalu, lalu musim hujan pada tahun ini, telah merusak perkebunan teh Chien dan para petani teh lainnya di Taiwan. Mereka saat ini benar-benar harus berjuang keras beradaptasi dengan perubahan cuaca yang ekstrim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Iklim adalah hal yang paling tidak bisa kami kendalikan dalam mengelola perkebunan teh kami. Kami benar-benar mengendalikan langit untuk makan," kata Chien, 28 tahun.
Kawasan pegunungan Meishan sudah lama ditanami teh atau sejak pulau itu menjadi bagian dari dinasti Qing, Cina, pada abad ke-19. Industri ini, lalu matang dan berkembang di bawah pemerintahan kekaisaran Jepang dari tahun 1895-1945.
Chien, yang kembali menjalankan perkebunan teh milik keluarga setelah ayahnya meninggal karena kanker empat tahun lalu, kini sedang mempelajari strategi cara mengatasi cuaca ekstrem, yang bisa merusak perkebunan tehnya. Dia juga mempelajari cara menyalurkan air ke ladang.
Lin Shiou-ruei, peneliti dari pemerintah Taiwan yang membantu petani teh di Meishan, mengatakan masalah lain yang dibawa oleh cuaca ekstrem adalah hama yang menyerang tunas-tunas teh muda.
"Hama menyukai cuaca kering dan panas. Sebelumnya cuaca tidak akan panas sampai sekitar Mei hingga Juli, tetapi sekarang di April cuaca sudah sangat panas," kata Lin.
Lin mendapat tugas memberikan penyuluhan pada para petani tentang hama yang berkembang biak akibat perubahan iklim. Dia juga bertugas bagaimana mengidentifikasi hama dan mengendalikannya.
Sedangkan ahli agronomi senior Tsai Hsien-tsung, mengatakan mereka mulai memantau perubahan cuaca dan telah menemukan adanya perubahan rasa pada teh karena perubahan musim.
"Suhu naik, curah hujan turun. Udara kurang lembab. Teh itu sangat sensitif," katanya.
Taiwan adalah salah satu wilayah penghasil teh di dunia dan perubahan iklim di Taiwan sekarang ini masih menjadi perdebatan.
Chen Yung-ming, Kepala Divisi Perubahan Iklim di Pusat Sains dan Teknologi Nasional Taiwan untuk Pengurangan Bencana, mengatakan tidak mungkin menyalahkan perubahan iklim karena menyebabkan kekeringan.
"Kami hanya bisa mengatakan bahwa kemungkinan kekeringan berkelanjutan akan meningkat," katanya.
Chien memperkirakan dia hanya akan memanen 600 kg (1.300 pon) teh pada tahun ini. Jumlah itu, setengah dari hasil panen teh tahun lalu.
Turunnya hasil panen tahun ini karena kekeringan dan hujan, tetapi Chien bertekad untuk tidak mau dikalahkan.
"Pohon-pohon inilah (teh) yang memberi saya makan dan membesarkan saya. Sebagai imbalannya saya ingin mencoba yang terbaik untuk merawat mereka juga."
Afifa Rizkia Amani | Reuters