DIPERKIRAKAN dua hari, ternyata pertemuan itu hanya makan waktu 25 menit. Inilah nasib pertemuan masalah penyelesaian konflik Kamboja yang dibuka di Tokyo, Senin pekan ini. Sebab kegagalan biasa aksi Khmer Merah Khieu Samphan, pemimpin Khmer Merah memboikot pertemuan. Padahal, ia sudab ada di Tokyo sejak hari Minggu. Sebenarnya pagi-pagi sudah disepakati bahwa pembicaraan akan dilakukan antara Pangeran Norodom Sihanouk (mewakili 3 kelompok perlawanan Kamboja) dan PM Kamboja dukungan Vietnam, Hun Sen. Masalahnya, tiap kelompok yang bertikai itu memberi persetujuan kepada Jenderal Chavalit, Wakil PM Muangthai, secara individu. Bukan secara kelompok. Karena itu, sejak awal sejumlah pengamat di Bangkok kurang yakin. Aksi boikot Khmer Merah sudah dikhawatirkan Sihanouk, sebelum bertolak ke Tokyo. "Menurut rencana, persetujuan itu akan saya tanda tangani bersama Hun Sen. Tetapi Khmer Merah menuntut agar perjanjian itu quadripartite (empat pihak) bukan bilateral. Mereka ingin ikut paraf," kata sang pa- ngeran. Hun Sen jelas menampik tuntutan Khmer Merah. Saya ke Tokyo melaksanakan apa yang sudah direncanakan. Tak lebih dan itu," katanya. Sihanouk juga sejak awal tak yakin persetujuan gencatan senjata akan ditaati, terutama oleh Khmer Merah. "Damai di kertas tak berarti damai di medan perang," katanya. "Kami tak berlebihan berharap. Asalkan kegiatan menjelang pertemuan tak diundurkan di Tokyo, itu sudah cukup," ujar Masaharu Kohno, Direktur Divisi Satu Asia Tenggara, Deplu Jepang. Adalah PM Muangthai Chatichai pencetus gagasan pertemuan Hun Sen-Sihanouk di Tokyo. Saat bertemu dengan PM Jepang Toshiki Kaifu April silam, Chatichai mengusulkan pemerintah Tokyo mengatur pertemuan itu. Jepang, yang belum pernah menyelenggarakan konperensi masalah perdamaian internasional, menyambut hangat dan segera bergerak. Muangthai menjadi perantara. Diplomasi Jenderal Chavalit membuahkan hasil kesepakatan soal gencatan senjata. Tapi, ya itulah, persetujuan cuma berdasarkan secara individu. Selain gencatan senjata, juga dijadwalkan untuk membicarakan masalah peranan PBB sebagai pengawas internasional dan rencana pembentukan pemerintahan gabungan sementara sebelum pemilu. Rencana ini kemudian dikenal dengan "agenda Chavalit". Sihanouk -- tujuh kali mengundurkan diri sebagai ketua koalisi kelompok perlawanan Kamboja -- belakangan merasa tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti usul Chavalit. PM Hun Sen telah dirayu bulan lalu, kala berkunjung ke Pattaya. Kelompok Son Sann tak ada masalah. Kelompok paling sulit Khmer Merah pun akhirnya bisa dibujuk ikut dalam pembicaraan Tokyo. "Semua yang disetujui Sihanouk akan disepakati pula oleh Khmer Merah," kata Chavalit pekan lalu, setelah bertemu Khieu Samphan di Bangkok. Kenyataan berbicara lain. Senin pagi, Samphan keluar dari Hotel Imperial -- tempatnya bermalam. Ia ternyata berkunjung ke Hotel New Otani, untuk menemui Jenderal Chavalit. "Saya minta kepada Jenderal Chavalit agar keempat faksi diper- bolehkan ikut menandatangani perjanjian kali ini. Dan saya mau menunggu jawabannya," kata Samphan kepada pers Jepang. Penantian yang sia-sia. Maka, pertemuan kali ini pun gagal membawa perdamaian ke negara yang sudah 11 tahun diguncang perang saudara itu. Padahal, pemerintah Tokyo sudah memberi iming-iming, bakal segera memasok bantuan, begitu perjanjian gencatan senjata ditandatangani. Yuli Ismartono (Bangkok), Seiichi Okawa (Tokyo), dan FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini