INILAH orang pertama di Kremlin tanpa "rakyat": Presiden Mikhail Gorbachev. Meski pamor Gorbachev di mata dunia tetap tak tergoyahkan, di dalam negeri tokoh nomor satu Negeri Beruang Merah itu sesungguhnya hampir tak punya kuasa lagi. Sejak Selasa pekan lalu penguasa utama di dalam negeri federasi republik itu adalah Boris Yeltsin, yang terpilih sebagai Presiden Republik Rusia, negara paling besar di lingkungan Uni Soviet. Yeltsin, 54 tahun, tampil jadi orang kuat setelah lebih dari separuh (535 suara) anggota parlemen Republik Rusia sepakat memilihnya sebagai kepala pemerintahan. Dua saingannya untuk kursi presiden, Alexander Vlasov (unggulan Gorbachev) dan Valentin Tsoi (direktur sebuah koperasi), masing-masing meraih 467 dan 11 suara. Tak heran ketika keluar dari gedung parlemen, Yeltsin, yang dielu-elukan ratusan pendukungnya, langsung melontarkan janji-janji. Yeltsin mengatakan akan berusaha keras agar Republik Rusia mendapat hak-hak otonomi lebih besar. Ia juga menuntut, sekalipun menjanjikan Republik Rusia tak akan memisahkan diri dari Uni Soviet, supaya ikatan federasi republik-republik itu lebih longgar. Tapi janji Yeltsin yang paling dapat sambutan tepuk tangan pendukungannya adalah langkahnya untuk mengakhiri status istimewa yang sekarang masih dinikmati Partai Komunis dan polisi rahasia KGB. Menurut sejumlah pengamat politik di Moskow, kemenangan Yeltsin adalah akibat kesalahan Gorbachev sendiri. Sehari sebelum pemilihan dilangsungkan, Bapak Perestroika dan Glasnost itu datang menemui wakil-wakil Partai Komunis dalam parlemen secara pribadi, dan mengatakan kemenangan Yeltsin akan merugikan Partai. Malah sebelum itu, Gorbachev secara berapi-api menyerang Yeltsin sebagai orang yang ingin mencampakkan sosialisme dan memecah-belah persatuan Uni So- viet. Ternyata, imbauan Gorbachev jadi bumerang bagi dirinya. Fraksi Partai Komunis justru memilih Yeltsin. Konon mereka, termasuk tokoh-tokoh konservatif Partai, melakukan itu karena tekanan massa pemilih. Di mata ahli hukum Yuri Boldirev wakil Leningrad dalam parlemen Republik Rusia, kemenangan Yeltsin itu telah membuat Gorbachev jadi raja tanpa rakyat. "Kalau ia ditentang Rusia, siapa lagi yang akan mendukungnya?" olok-olok Boldirev. Terpilihnya Yeltsin diramalkan bakal mengubah banyak warna politik Uni Soviet. Republik Rusia, yang berpenduduk sekitar 150 juta jiwa (52% dari jumlah penduduk Uni Soviet) dan menguasai 2/3 wilayah federasi, di bawah Yeltsin akan banyak mempengaruhi hubungan antarrepublik -- dalam arti semangat nasionalisme dan keinginan memisahkan diri akan makin kuat. Paling tidak akan membuat hubungan antara republik-republik dan Kremlin lebih longgar. Tanda-tanda ke arah itu memang telah diperlihatkan Yeltsin. Ia telah minta hubungan antarrepublik diatur dengan per- janjian tersendiri. Pernyataan itu jelas-jelas menganggap remeh aturan yang termaktub dan konstitusi Uni Soviet. Langkah penting lainnya yang telah diisyaratkan Yeltsin adalah kemungkinan Republik Rusia menandatangani perdamaian dengan Jepang -- langkah yang menjurus bebas dari pendiktean Kremlin. Kalau langkah itu ditempuh Yeltsin, masalah klaim Jepang atas Kepulauan Kurile, yang termasuk wilayah Republik Rusia, bisa ramai lagi. Soal lain yang bakal dituntut Yeltsin adalah otonomi yang lebih besar di bidang ekonomi. Mengingat 91% produksi minyak bumi dan 80% valuta asing yang diperoleh Uni Soviet berasal dari Republik Rusia, hampir dapat dipastikan anggaran keuang- an federasi akan didikte dari republik terbesar itu. Atas dasar kekayaan yang berlimpah itu pula, diramalkan bahwa Kremlin takkan bisa seenaknya menekan Republik Rusia seperti yang dilakukan atas Lithuania. Tapi ada juga pendapat naiknya Yeltsin justru akan memperkuat posisi Gorbachev dalam menghadapi kaum konservatif. Antara Gorbachev dan Yeltsin tak terdapat pertentangan ideologis. Keduanya menginginkan reformasi dan demokratisasi -- dan telah dimulai oleh Gorbachev. Di samping itu, Gorbachev dapat memanfaatkan kepopuleran Yeltsin sebagai tameng terhadap serangan kaum konservatif. Ia bisa mengatakan Yeltsin mewakili keinginan populer, atau apabila Gorbachev dipaksa mundur, yang akan tampil justru saingannya yang lebih radikal. Walau sudah jadi presiden republik terbesar dalam lingkungan Uni Soviet, toh Yeltsin tidak bisa berbuat apa maunya sendiri. Kekuasaannya masih dibatasi parlemen. Andai kata ia menyatakan Republik Rusia keluar dari Uni Soviet, itu harus disetujui parlemen, yang mayoritas anggotanya dipegang Partai Komunis. Tak heran bila sebagian besar anggota parlemen menginginkan koalisi antara Yeltsin dan Partai Komunis. Ada gejala kursi perdana menteri akan diberikan kepada tokoh konservatif Partai Komunis guna mendampingi Presiden Yeltsin yang radikal. Mungkin lantaran adanya keinginan anggota parlemen menghendaki pemerintahan koalisi itu yang membuat sikap Yeltsin kemudian tak terlalu radikal. Ia, misalnya tidak mengikuti jejak republik-republik Baltik yang mengumumkan kemerdekaan. Ia hanya mengatakan perihal hubungan lebih longgar antara republik-republik dan Kremlin. Tapi gaung keberhasilannya pasti bergema di seluruh Uni Soviet dan akan berakibat cukup besar di belakang hari. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini