Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDI Irawan, 31 tahun, bersukacita menyambut putusan Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat, itu. Kata dia, bayangan Ka'bah di Masjid al-Haram, Mekah, dan makam Nabi Muhammad di Masjid al-Nabawi, Madinah, terus menari-nari di benaknya. "Uang saya segera kembali. Kami sekeluarga akan naik haji," ujar Dudi, Rabu pekan lalu.
Dudi adalah salah seorang dari 616 nasabah Bank Perkreditan Rakyat Bungbulang yang mengajukan gugatan kelompok (class action) melawan Pemerintah Kabupaten Garut. Akhir Januari lalu, majelis hakim yang dipimpin Daniel Ronald mengabulkan gugatan Dudi dan ratusan nasabah lain.
Menurut majelis hakim, sebagai pemegang saham BPR Bungbulang, Pemerintah Kabupaten Garut harus membayar simpanan pokok nasabah sebesar Rp 399 miliar (dalam bentuk tabungan) dan Rp 3 miliar (deposito). Hakim juga menghukum Pemerintah Kabupaten membayar bunga tabungan sebesar Rp 1,2 miliar dan bunga deposito Rp 1,1 miliar. "Pembayaran uang kepada nasabah itu," kata hakim Daniel ketika membacakan putusan, "harus dilakukan secara tunai, seketika, dan sekaligus."
Bank Indonesia membekukan BPR Bungbulang pada 20 November 2007. Bank sentral menganggap bank lokal itu menyalahgunakan kredit sebesar Rp 4,68 miliar. Rinciannya: Rp 2,12 miliar berupa kredit fiktif, Rp738,5 juta kredit tanpa bunga, Rp 121 juta kredit tanpa analisis, dan Rp 1,7 miliar kredit tanpa jangka waktu.
Dalam proses likuidasi, Lembaga Penjamin Simpanan hanya membayar Rp 176 juta simpanan nasabah. Sedangkan simpanan yang dianggap tidak layak dibayar tak kurang dari Rp 4,81 miliar. Lembaga Penjamin pun mewajibkan pemerintah daerah mengembalikan Rp 6,65 miliar dana nasabah yang dihimpun ketika BPR Bungbulang berstatus "dalam pengawasan Bank Indonesia".
Nasabah tergiur menyimpan dana karena BPR Bungbulang menjanjikan bunga yang lebih tinggi di atas ketentuan Bank Indonesia. Untuk bunga deposito, bank ini pernah menawarkan bunga hingga 24 persen setahun. Berharap meraup untung lebih besar, Dudi misalnya menyimpan semua hasil jerih payah dia mengelola toko emas milik keluarga. Ketika BPR Bungbulang dibekukan, uang simpanan Dudi sebesar Rp 400 juta pun terlunta-lunta.
Tak kurang dari tujuh tahun Dudi dan ratusan nasabah lain berupaya menarik dana simpanan mereka. Namun ikhtiar mereka selalu membentur dinding. Akhirnya, pada 2014, nasabah sepakat mengajukan gugatan class action. Mereka menunjuk Jajang Herawan sebagai kuasa hukum.
Selama ini gugatan kelompok lebih sering digunakan di bidang lingkungan atau perlindungan konsumen. Menurut Jajang, jalur gugatan class action dipilih karena persidangannya lebih sederhana, cepat, dan murah bila dibandingkan dengan jalur perdata biasa. Atas nama para nasabah, Jajang pun mengajukan gugatan class action dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Kendati sudah memenangi gugatan di pengadilan negeri, Dudi dan nasabah BPR Bungbulang harus menunda dulu pesta mereka. Soalnya, Bupati Garut Rudy Gunawan masih mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat.?Pemerintah Kabupaten Garut, menurut Rudy, berkeberatan membayar bunga simpanan dan deposito nasabah. "Kami hanya mau membayar simpanan pokoknya," ucapnya. Itu pun, kata Rudy, Pemerintah Kabupaten tak mau rugi sendiri. Pak Bupati pun menuntut tanggung jawab semua mantan Direktur BPR Bungbulang.
Yuliawati, Sigit Zulmanir (garut)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo