Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, tewas dalam serangan di Teheran, Iran, pada Rabu, 31 Juli 2024. Korps Garda Revolusi Islam mengumumkan Haniyeh dan seorang pengawalnya meninggal akibat serangan yang terjadi di kediaman mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Investigasi atas insiden ini sedang berlangsung, dan hasilnya akan diumumkan keesokan harinya. Haniyeh diketahui berada di Teheran untuk menghadiri pelantikan presiden terpilih Iran, Masoud Pezeshkian, sekaligus memberikan informasi terbaru tentang perkembangan politik dan situasi terkini terkait perang Israel di Gaza.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haniyeh, yang lahir pada 1962, adalah seorang politikus Palestina dan pemimpin Hamas yang menjabat sebagai perdana menteri Otoritas Palestina pada 2006 sampai 2007. Dia lahir di kamp pengungsi Al-Shati, Jalur Gaza. Haniyeh berasal dari keluarga Arab Palestina yang mengungsi dari desa mereka dekat Ashqelon pada tahun 1948. Ia dibesarkan di kamp pengungsi dan mendapat pendidikan dari sekolah-sekolah UNRWA.
Pada 1981, Haniyeh masuk Universitas Islam Gaza untuk belajar sastra Arab dan aktif dalam politik mahasiswa. Dia bahkan memimpin kelompok yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin.
Ketika Hamas didirikan pada 1988, Haniyeh menjadi salah satu anggota pendiri termuda dan memiliki hubungan dekat dengan Sheikh Ahmed Yassin, pemimpin spiritual Hamas. Pada tahun itu juga, ia ditangkap oleh otoritas Israel dan dipenjara selama enam bulan karena perannya dalam intifada pertama melawan pendudukan Israel.
Pada 1989, ia kembali ditangkap dan dideportasi ke Lebanon selatan pada tahun 1992 bersama sekitar 400 aktivis Islam lainnya. Haniyeh kembali ke Gaza pada 1993 setelah Perjanjian Oslo dan kemudian diangkat menjadi dekan di Universitas Islam Gaza.
Haniyeh berhasil menjabat sebagai Kepala Biro Politik Hamas setelah kelompok itu memenangkan mayoritas kursi dalam pemilihan legislatif Palestina 2006. Setelah terjadi konflik antara Hamas dan Fatah, pemerintah dibubarkan dan dibentuklah pemerintahan otonom yang dipimpin Hamas di Jalur Gaza. Haniyeh ditunjuk menjadi pemimpin pemerintahan de facto di Jalur Gaza dari 2007 hingga 2014. Pada tahun 2017, ia menggantikan Khaled Meshaal sebagai ketua biro politik Hamas.
Pemimpin Hamas
Haniyeh memulai peran kepemimpinannya di Hamas pada 1997 sebagai sekretaris pribadi Sheikh Ahmed Yassin. Pada 2003, mereka menjadi sasaran percobaan pembunuhan oleh Israel, namun gagal, dan Yassin tewas beberapa bulan kemudian.
Pada 2006, Hamas memenangkan mayoritas kursi dalam pemilihan legislatif Palestina, dengan Haniyeh sebagai pemimpin daftar kandidat, sehingga ia menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina. Kemenangan ini memicu reaksi internasional berupa pembekuan bantuan ke Palestina, menyebabkan kesulitan finansial bagi pemerintahan tersebut
Pada Juni 2007, setelah berbulan-bulan ketegangan dan konflik bersenjata antara faksi Hamas dan Fatah, Presiden Mahmoud Abbas dari Fatah memecat Haniyeh dan membubarkan pemerintahannya. Akibatnya, terbentuklah pemerintahan otonomi yang dipimpin oleh Hamas di Jalur Gaza dengan Ismail Haniyeh sebagai pemimpinnya. Setelah itu, Israel menerapkan berbagai sanksi dan pembatasan di wilayah tersebut, yang kemudian diikuti oleh Mesir.
Pada Januari 2008, setelah serangkaian serangan roket dari Jalur Gaza ke Israel, Israel memperketat blokade di daerah tersebut. Meski begitu, Hamas tetap menguasai Jalur Gaza dan berhasil memperoleh pembebasan lebih dari seribu tahanan Palestina dengan imbalan pembebasan tentara Israel, Gilad Shalit.
Pada musim panas 2014, banyak warga Palestina yang melihat kinerja Hamas dalam perang dengan Israel sebagai sukses, meskipun blokade yang berkelanjutan memburuk kondisi kehidupan di Gaza. Selama periode ini, terdapat beberapa upaya rekonsiliasi antara Hamas dan Otoritas Palestina (PA) yang dipimpin oleh Fatah di Tepi Barat.
Pada tahun 2014, pemerintah Hamas di Gaza mengundurkan diri untuk membuka jalan bagi pemerintahan persatuan dengan Fatah, dan Haniyeh melepaskan jabatannya sebagai perdana menteri. Meski demikian, ia tetap menjadi pemimpin lokal Hamas di Gaza hingga 2017, ketika Yahya Sinwar mengambil alih posisi tersebut. Beberapa bulan kemudian, Haniyeh terpilih sebagai kepala biro politik Hamas, menggantikan Khaled Meshaal.
Pada Desember 2019, Haniyeh meninggalkan Jalur Gaza untuk tinggal di Turki dan Qatar. Ini memungkinkan dia untuk mewakili Hamas di luar negeri.
Selama perang antara Israel dan Hamas, Haniyeh memimpin delegasi Hamas dalam negosiasi yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir. Pada April 2024, di tengah negosiasi gencatan senjata, tiga anak Haniyeh dan empat cucunya tewas dalam serangan Israel.
Pada Mei 2024, jaksa agung Pengadilan Kriminal Internasional mengumumkan akan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Haniyeh, Yahya Sinwar, dan komandan Hamas Mohammed Deif, serta untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
RIZKI DEWI AYU | BRITANNICA | tempo.co