Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Puing-puing Ghouta

Ribuan penduduk kembali ke rumah mereka di Ghouta Timur setelah pasukan Suriah merebut wilayah itu dari tangan pemberontak. Menyisakan puing dan reruntuhan bangunan.

29 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Puing-puing Ghouta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABU Murad kini bisa bernapas lega. Dia sekarang dapat kembali wira-wiri ke Douma. Di distrik terbesar dan terluas di kawasan Ghouta Timur, pinggiran Damaskus, Suriah, itu, Murad dan keluarganya punya rumah dan toko kelontong yang rusak parah akibat perang. "Sekarang situasinya alhamdulillah membaik. Namun tetap saja kami masih kekurangan pasokan air dan listrik," ujar Murad kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Penduduk Douma lainnya, menurut dia, juga mulai beraktivitas normal. "Mereka mulai berdagang lancar tanpa rasa takut."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak beberapa bulan lalu, Murad dan saudara perempuannya mengungsi ke Damaskus. Mereka tak lagi mendiami rumah di Douma karena situasi tidak aman selama serangan militer Suriah ke daerah yang dikuasai pemberontak itu. "Keadaan makin parah, lalu ada ancaman dari pemberontak kepada para pemuda untuk ikut berperang," ucap pria 24 tahun itu. "Saya tidak mau memerangi saudara sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Douma adalah salah satu distrik di Ghouta Timur yang porak-poranda karena dibombardir militer Suriah dan sekutunya, Rusia. Sejak 25 Februari lalu, pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad melancarkan operasi Baja Damaskus untuk merebut kembali wilayah di sebelah timur Damaskus yang berpenduduk 400 ribu jiwa itu.

Di tengah perang tersebut, awal April lalu, Amerika Serikat dan sekutunya menuding rezim Assad menggunakan senjata kimia. Amerika, di bawah komando Presiden Donald Trump, bersama Inggris dan Prancis lantas melancarkan serangan udara bertubi-tubi terhadap beberapa fasilitas militer dan pusat riset Suriah sepekan kemudian.

Seperti ribuan warga Douma lainnya, yang terimpit di tengah pertempuran antara tentara pemerintah dan pemberontak, Murad dan keluarganya masih bertahan pada tahun-tahun awal perang. Mereka tidak beranjak dari Douma, bahkan ketika pemerintah Suriah memberlakukan pengepungan total terhadap seluruh Ghouta Timur sejak akhir 2013.

Namun tekanan militer Suriah terhadap pemberontak makin besar. Satu per satu kantong pemberontak direbut kembali. Ketika situasi makin tak kondusif, dua tahun lalu, orang tua Murad mengungsi ke Eropa dan membawa adik bungsu Murad. Sedangkan di Douma, Murad dan adik perempuannya memilih bertahan untuk menjaga rumah dan toko mereka.

Selama di Damaskus, Murad tinggal di sebuah rumah kontrakan. "Sekarang saya bekerja serabutan. Salah satunya pangkas rambut," ujar Murad, yang masih rutin mendapat kiriman uang dari orang tuanya. Murad kini menjalani kursus bahasa Inggris setelah lulus kuliah jurusan manajemen. "Saya ingin melanjutkan belajar ke Indonesia atau Malaysia."

Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) memperkirakan lebih dari 133 ribu orang melakukan eksodus dari Ghouta Timur selama rezim Assad melancarkan operasi militer. Sekitar 45 ribu orang mengungsi ke delapan tempat penampungan di pinggiran Damaskus. Bagi warga Douma, tujuan menyelamatkan diri bukan hanya Damaskus. "Sebagian yang rumahnya hancur pindah ke Adra," kata Murad mengenai daerah sejauh 12 kilometer di timur Douma itu.

M. Ahsin Mahrus, mahasiswa Indonesia di Damaskus, mengatakan Ghouta Timur memiliki peran vital bagi warga ibu kota. Kawasan itu merupakan sentra pertanian, perkebunan, peternakan, dan industri rumah tangga. "Kebutuhan Damaskus akan sayuran, buah, daging, dan hampir semua produk olahan susu dipasok dari sana," kata Ahsin kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Di daerah itu, pasukan Suriah menghadapi sejumlah kelompok pemberontak yang menuntut rezim Assad mundur. Kelompok-kelompok ini, yang kebanyakan penganut Islam garis keras, "Menguasai area seluas 100 kilometer persegi," tulis situs Deutsche Welle. Mereka antara lain Jaish al-Islam, faksi terbesar yang beranggotakan hingga 15 ribu milisi; Failaq ar-Rahman, yang terhubung dengan Pasukan Pembebasan Suriah; Ahrar al-Sham; Tahrir al-Sham; dan Legiun ar-Rahman.

Operasi Baja Damaskus memang berakhir gemilang meski menelan banyak korban warga sipil. Selama tujuh pekan, menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, rentetan serangan militer Suriah-Rusia turut menewaskan sedikitnya 1.700 orang dan melukai ribuan lainnya. "Rezim Assad mengabaikan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 24 Februari, yang menyerukan gencatan senjata dengan kelompok pemberontak selama 30 hari," tulis The National.

Assad menang besar di Ghouta Timur. Tidak ada yang mengetahui persis jumlah milisi yang tewas. Namun sebagian besar dari mereka yang masih hidup tidak punya pilihan selain angkat kaki dari sana. Di Arbin, Zamalka, dan Harasta, misalnya, ribuan milisi dan keluarga mereka dipindahkan ke Provinsi Idlib, salah satu benteng terakhir kaum pemberontak, setelah melewati negosiasi alot dengan pemerintah Suriah. Para milisi itu diangkut menggunakan konvoi bus.

Evakuasi pasukan pemberontak juga terjadi di Douma. Kantor berita RIA, mengutip Kementerian Pertahanan Rusia, menyebutkan 3.600 milisi Jaish al-Islam dan keluarga mereka telah diangkut dalam dua gelombang konvoi puluhan bus, Ahad tiga pekan lalu. Dari Douma, mereka dipindahkan ke Kota Jarablus di sebelah utara Suriah, dekat perbatasan Turki. Kepergian anggota Jaish al-Islam yang telah menyerah itu menandai pembebasan Douma dari tangan pemberontak.

Di salah satu sudut jalan di Douma, Ahmad, penduduk yang berkeras tetap mendiami rumahnya selama perang, berdiri di bagian depan rumahnya, yang dinding dan jendelanya telah hancur. "Mengapa saya tinggal di rumah yang hancur? Ini rumah saya, ke mana lagi saya harus pergi?" kata Ahmad, Sabtu dua pekan lalu, seperti diberitakan Xinhua.

Selama pemberontak bercokol, "Kehidupan kami kacau. Situasi tidak aman, kami selalu kekurangan makanan dan minuman," ucap Ahmad sambil berdiri di tempat yang dulu menjadi teras rumahnya. Kini, setelah para milisi angkat kaki, Ahmad bisa bebas keluar-masuk Douma untuk mencari persediaan makanan dan bahan bangunan. "Saya ingin membangun kembali rumah saya serta menjalani hidup yang bermartabat dengan istri dan anak-anak saya."

Menurut Ahsin Mahrus, yang mendapat informasi dari penduduk Ghouta Timur, pemerintah Suriah saat ini masih sangat membatasi akses ke Douma. Apalagi tim investigasi dari Lembaga Pengawas Senjata Kimia PBB (OPCW) tengah mendatangi distrik tersebut untuk mengumpulkan bukti adanya senjata kimia. "Hanya penduduk asli wilayah itu yang diizinkan masuk," tuturnya.

Kantor berita SANA melaporkan bahwa sekitar 40 ribu penduduk Ghouta Timur telah kembali dari pengungsian. Banyak dari mereka mendapati rumah atau tokonya telah hancur, bahkan rata dengan tanah. "Lebih dari 12 ribu anak-anak kembali ke sekolah di tempat-tempat penampungan yang dikelola pemerintah," kata wakil gubernur yang menaungi wilayah Ghouta Timur, Rateb Adas.

Seperti penduduk lain, Abu Murad bisa mencicipi kembali ketenangan di kampungnya. Menurut Murad, keadaan Douma telah stabil meski banyak bangunan rusak. "Tapi untuk pasokan makanan, seperti roti, sudah lancar," tuturnya, seraya menambahkan bahwa penduduk Douma kini tak lagi diselimuti rasa waswas. "Bahkan untuk tinggal di sana sudah tidak ada ketakutan."

Mahardika Satria Hadi (middle East Eye, Sana, Al Jazeera, Reuters)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus