Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH surat ketetapan pajak daerah (SKPD) bertubi-tubi mendarat ke meja direksi PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) alias Inalum, di Jakarta, sejak tahun lalu. Surat terakhir diterima pada Februari lalu untuk tagihan pajak periode Januari 2018. Sang pengirim tak lain Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Isinya perihal tagihan pajak air permukaan yang mesti dibayar oleh Inalum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada SKPD yang berisi tagihan selama satu bulan, dua bulan, atau tiga bulan," kata Sekretaris Perusahaan Inalum Ricky Gunawan, Selasa pekan lalu. "Ada juga tagihan untuk lima bulan sekaligus." Nilai tagihannya cukup fantastis. Salah satu surat, misalnya, berisi tunggakan pajak periode November 2013-Oktober 2014 yang nilainya mencapai Rp 520,95 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat tersebut menumpuk karena badan usaha milik negara sektor pertambangan itu menolak membayar tagihan pajak lantaran nilainya terlalu mahal. Perusahaan biasanya membayar tagihan Rp 18,45 miliar per tahun, tapi kini mesti membayar Rp 520,95 miliar. "Ini mencekik kami," kata Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Tagihan itu muncul setelah perseroan berubah status menjadi perusahaan negara. Sebelum menjadi perusahaan pelat merah, Inalum hanya menyetorkan annual fee kepada pemerintah pusat. Pemerintah kemudian membagikan dana itu ke 11 kabupaten atau kota di sekitar Proyek Asahan. Pembayaran terakhir dilakukan pada 2013. Dari total Rp 80 miliar, Inalum membayar Rp 18,45 miliar untuk pajak air permukaan.
Dikenal sebagai Proyek Asahan, saham Inalum dulu dikuasai perusahaan Jepang, Nippon Asahan Aluminium. Proyek ini merupakan kerja sama persahabatan antara pemerintah Indonesia dan Jepang untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kabupaten Toba Samosir serta pabrik peleburan aluminium di Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Pada 27 November 2013, pemerintah Indonesia mengakuisisi Inalum dengan nilai US$ 556,7 juta. Satu bulan kemudian, Inalum resmi menyandang status badan usaha milik negara.
Setelah menjadi milik pemerintah Indonesia, Inalum tidak lagi membayar biaya tahunan. Berpegang pada Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah Provinsi Sumatera Utara serta Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2011 tentang Tata Cara Perhitungan Nilai Perolehan Air, Harga Air Baku, dan Harga Dasar Air Permukaan, pemerintah setempat akhirnya menerbitkan surat ketetapan pajak daerah yang dilayangkan kepada direksi Inalum.
Peraturan tersebut hanya mengakomodasi perhitungan pajak air permukaan untuk PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan perusahaan daerah air minum (PDAM). Inalum, yang baru belakangan berstatus perusahaan negara, tak masuk perhitungan. Itu sebabnya, pemerintah Sumatera Utara tak memberikan perlakuan pajak yang sama antara Inalum dan PLN-PDAM.
Menurut pemerintah setempat, Inalum masuk kategori industri manufaktur. Walhasil, pungutan pajak air permukaan Inalum jauh lebih mahal, yakni sekitar Rp 1.444 per meter kubik. Dari acuan tarif inilah muncul tagihan Rp 520,95 miliar untuk pemakaian mulai November 2013 sampai Oktober 2014.
Pungutan pajak air permukaan yang ditagihkan kepada Inalum, menurut Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum, Firdaus Ali, terlalu mahal. "Sangat supermahal untuk harga dasar air," ujarnya, Rabu pekan lalu.
Sebaliknya, Inalum bersandar pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 568 Tahun 2017 tentang Harga Dasar Air Permukaan, yang berlaku mulai 31 Agustus 2017. Melalui regulasi itu, Menteri Pekerjaan Umum-yang membawahkan sektor sumber daya air-menetapkan harga dasar air permukaan di setiap provinsi.
Dalam peraturan itu, misalnya, pajak air minum (PDAM) di Sumatera Utara Rp 49,15 per meter kubik, jauh lebih murah ketimbang pajak untuk industri, yang mencapai Rp 82,75 per meter kubik. Adapun pajak air untuk pembangkit listrik dibedakan menjadi dua. Pertama, Rp 42,64 per kilowatt-jam (kWh) untuk pembangkit yang dibangun pemerintah. Kedua, Rp 27 per kWh bila pembangkit dibangun sendiri oleh swasta.
Inalum mencoba meminta pendapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berdasarkan hasil kajian lembaga negara itu, harga dasar air bagi PLTA Inalum yang dinilai wajar adalah Rp 198 per kWh. Dengan tarif ini, tagihan pajak Inalum periode November 2013-Oktober 2014 seharusnya Rp 83,63 miliar, bukan Rp 520,95 miliar. Tapi pemerintah Sumatera Utara tak menjadikannya sebagai acuan.
Persoalan Inalum di Asahan sampai ke Jakarta. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sempat meminta pemerintah Sumatera Utara bersikap adil dalam menentukan besaran pajak terhadap perusahaan di wilayahnya. Darmin berjanji mengkaji lebih dulu persoalan pajak air permukaan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga berjanji berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini.
Menurut Firdaus Ali, pemerintah pusat perlu turun langsung memediasi kedua pihak yang bersengketa. Apalagi Kementerian Pekerjaan Umum menilai banyak aturan yang dibuat pemerintah daerah tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.
Firdaus telah membicarakan masalah ini dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono. "Beliau minta saya yang menangani dan ingin saya segera menyiapkannya secepat mungkin."
Firdaus membenarkan bahwa urusan pajak air permukaan sepenuhnya kewenangan pemerintah daerah. Itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun aturan di daerah tersebut harus mengacu pada peraturan yang lebih tinggi. Apalagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 yang sekarang berlaku ataupun Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air yang akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah memberi keistimewaan kepada BUMN dan badan usaha milik daerah (BUMD) dalam pengelolaan air.
Juru bicara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Ilyas Sitorus, belum menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan Tempo. Tapi, dalam pertemuan dengan direksi Inalum pada akhir 2015, pelaksana tugas Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry Nuradi, sempat memberi solusi. Pemerintah setempat meminta Inalum menyetorkan kewajiban pajak sesuai dengan perhitungan BPKP, yakni Rp 83,63 miliar per tahun.
Direktur Utama Inalum saat itu, Winardi Sunoto, hadir dalam pertemuan tersebut. "Sambil menunggu kepastian hukum yang lebih valid, Inalum boleh menyetorkan kewajiban sesuai dengan saran BPKP agar cash flow perusahaan tidak terganggu," kata Erry saat itu.
Itu sebabnya, Direktur Utama Inalum yang baru, Budi Gunadi Sadikin, bertekad mencari keadilan atas kasus pajak air permukaan yang menimpa Inalum. Perseroan telah menggugat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ke Pengadilan Pajak di Jakarta sejak Desember 2015. Perkara tersebut hingga kini masih berproses di pengadilan pajak. Inalum belum berencana membayar semua tunggakan selama proses di pengadilan belum selesai.
Retno Sulistyowati
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo