Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkara jam tangan pintar kerap membuat dokter Andreas Prasadja keki. Beberapa kali ia didatangi pasien yang membawa data dari jam tangan pintarnya. Pasien merasa tidurnya bermasalah berdasarkan hasil aplikasi pelacak tidur di jam tangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter yang berpraktik di Sleep Disorder Clinic Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran, Jakarta Pusat, ini pernah kedatangan suami-istri yang mengeluh tidurnya tak beres. Mereka menyodorkan data pelacak tidur yang diukur jam tangan. "Katanya, durasi tidurnya tak cukup, tidur dalamnya hanya sebentar," ucap Andreas, Sabtu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan ada perbedaan penghitungan antara jam tangan tersebut dan tidur yang sebenarnya. Namun, karena pasien lelaki ngotot merasa ada masalah dengan tidurnya, Andreas menyarankan sang pasien memeriksakan tidurnya dengan polisomnografi, tes yang teruji bisa mendeteksi gangguan tidur. Hasilnya, durasi tidur lelaki itu baik-baik saja. Andreas menyebutkan pasiennya itu mendengkur ringan, tapi masih dalam batas normal. "Mungkin oleh aplikasi ini dengkuran tersebut tak masuk tidur dalam, padahal sebenarnya dia sudah masuk fase deep sleep," katanya.
Dokter spesialis saraf Rimawati Tedjakusuma punya cerita lain. Beberapa bulan lalu, ia didatangi pasien yang membawa data dari aplikasi pelacak tidur. Pasien lelaki 30-an tahun itu heran karena masih merasa mengantuk dan kelelahan sepanjang hari. Tapi data yang diberikan aplikasi pelacak tidurnya berbeda. "Gadget-nya bilang durasi tidurnya sudah cukup, tapi kok masih ngantuk," ujar Rimawati, yang berpraktik di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Hasil pemeriksaan polisomnografi menunjukkan pasien itu menderita obstructive sleep apnea alias henti napas saat tidur.
Masalah pasien yang membawa data hasil rekam tidur ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di kota-kota besar di negara maju, jumlahnya jauh lebih banyak dengan problem lebih beragam. Karena baru terjadi beberapa tahun belakangan, masalah ini digolongkan ke dalam penyakit tidur baru. Kelly Glazer Baron dari Rush University Medical School, Chicago, serta Sabra Abbott, Nancy Jao, Natalie Manalo, dan Rebecca Mullen dari Feinberg School of Medicine, Northwestern University, Chicago, menamakan gangguan tersebut sebagai orthosomnia, gangguan tidur akibat mencari kesempurnaan tidur berdasarkan data dari alat pelacak tidur.
Dalam artikel yang dipublikasikan di Journal of Clinical Sleep Medicine, mereka menyebutkan sekitar sepuluh persen warga Amerika Serikat menggunakan gawai untuk melacak kebugaran. Menurut mereka, makin banyak orang mendiagnosis sendiri bahwa tidurnya bermasalah berdasarkan alat perekam tidur itu. Keluhannya antara lain durasi tidur tak cukup, insomnia, dan tidur gelisah.
Namun, ketika dokter menunjukkan hasil pemeriksaan polisomnografi atau actigraphy-peranti yang juga sudah teruji untuk memeriksa tidur-para pasien itu malah tak percaya bahwa kualitas tidur mereka sebenarnya baik-baik saja. "Untuk para pasien, data sleep tracker sering terasa lebih konsisten dengan pengalaman tidur mereka dibanding teknik yang sudah teruji," kata para penulis tersebut.
Menurut Andreas, fenomena orthosomnia ini mulai terjadi dalam dua tahun belakangan. Masalah itu biasanya menyerang orang yang sangat peduli terhadap kesehatan. Di negara maju, orang sudah mulai sadar bahwa tidur merupakan fondasi utama kesehatan. "Kalau kualitas dan kuantitas tidurnya jelek, keseimbangan nutrisi dan olahraganya juga jelek," ujarnya. Karena itu, selain menjaga pola makan dan aktif berolahraga, mereka mengamati pola tidur.
Masalahnya, kata Rimawati, mereka sangat percaya kepada gawai. Mereka bisa lebih percaya kepada data yang diberikan peranti yang mereka pakai dibandingkan dengan diri sendiri. Misalnya, ketika data yang dihasilkan peranti tersebut menunjukkan durasi tidurnya kurang, mereka pun merasa tidurnya memang kurang lama. Mereka kemudian menghubungkan rasa mengantuk pada siang hari atau kelelahan dengan kurangnya durasi tidur ini. "Bagi orang zaman now, gadget kan nomor satu, jadi mereka percaya banget," ujar Rimawati.
Celakanya, menurut dokter spesialis saraf Wardah Rahmatul Islamiyah, pada orang-orang perfeksionis, data hasil aplikasi pelacak tidur ini bisa menjadi obsesi. Alih-alih tidur, mereka malah sibuk mengawasi alat pelacak tidur untuk mendapatkan tidur yang sempurna berdasarkan gawai mereka. "Bisa jadi kelainan jiwa karena terobsesi untuk melihat hasil dari alat yang digunakan," ujar dokter di Divisi Tidur Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya, ini. Padahal algoritme pelacakan tidur pada gawai tersebut belum jelas.
Dalam dunia kedokteran, tidur dibagi dalam dua tahap: fase rapid eye movement (REM) dan non-REM, yang dibagi menjadi N1, N2, dan N3. Saat tidur, yang pertama akan dialami seseorang adalah fase N1. Pada fase ini, orang mulai merasa mengantuk, perlahan-lahan mulai tertidur, tapi masih sangat mudah terbangun atau masih merasa mendengar pembicaraan orang di sekitarnya ataupun suara televisi yang menyala. Tak lama kemudian, tidur akan masuk fase N2, yang ditunjukkan dengan keadaan masih dapat dibangunkan dengan sentuhan atau panggilan yang berulang-ulang, meskipun benar-benar sudah dalam keadaan tidur. Lalu fase N3, yaitu sulit sekali dibangunkan. "Fase inilah tidur paling dalam, tanpa mimpi, dan akan timbul disorientasi atau kebingungan saat terbangun," ujar Andreas.
Lain halnya fase REM. Fase ini menunjukkan keadaan seseorang masuk mimpi. Selama satu siklus tidur, orang itu akan mengalami empat-enam kali mimpi. Pada fase ini, semua kemampuan gerak otot hilang sama sekali. Kemudian fase akan kembali ke N2 dan berulang-ulang. Fase REM ini meliputi 20-25 persen dari seluruh waktu tidur, sedangkan fase N1 5 persen, N2 50 persen, dan N3 sebanyak 20-25 persen dari keseluruhan waktu tidur-dengan durasi rata-rata tidur orang dewasa 6-8 jam.
Untuk melihat aktivitas ini secara menyeluruh, dokter perlu melakukan polisomnografi, yang akan mengukur gelombang otak, gerakan bola mata, reganganotot, dan napas, lalu getaran pada leher untuk mengukur dengkuran, aktivitas jantung, posisi tidur, kadar oksigen, dan gerakan kaki. "Kalau sleep tracker yang dipakai orang-orang itu berdasarkan apa? Apakah gerakan tangan saja dan denyut nadi? Kan, itu tak bisa menjadi patokan mengukur proses tidur," ujar Andreas.
Maka, biasanya, kalau ada pasien datang dengan keluhan sambil membawa data dari alat pelacak tidurnya, baik Andreas maupun Rimawati akan mengedukasinya soal ketidakjelasan algoritme tersebut. Jika pasien benar-benar merasa ada masalah dengan tidurnya, baru dilakukan polisomnografi, misalnya kalau si pasien merasa mengantuk terus pada siang hari. "Kalau keluhannya merasa tak segar, perlu dibedakan dulu apakah ngantuk atau capek. Jika memang ngantuk, di mana pun dan kapan pun, dia bisa tidur," ujar Rimawati.
Selain menunjukkan ada-tidaknya masalah, hasil polisomnografi bisa menjadi bukti agar orang-orang perfeksionis mengusir kekhawatiran mereka. "Bisa mengurangi kecemasan," kata Wardah.
Nur Alfiyah, Artika Rachmi Farmita (Surabaya)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo