PAGI itu 3 Eebruari 1718. Matahari pucat di langit, dan atap-atap bangunan Kota Moskow yang tua tampak makin tua menanggung salju. Di Kremlin, pusat pemerintahan, para pembesar hadir. Sebuah upacara dimulai pukul 9. Alexis, putra mahkota, hari itu ditanggalkan haknya untuk mewarisi tahta. Apa yang sebenarnya terjadi? Yang terjadi alah seorang tsar yang menghendaki anaknya mengikuti jalan yang telah ia siapkan, dan seorang anak yang mengelak. Yang terjadi ialah sengketa yang penuh salah paham dan kesedihan. Yang terjadi: akhirnya Tsar Peter Yang Agung membunuh putranya -- dan menangis pada upacara pemakaman. Peter, sang ayah, dan Alexis, sang anak, sejak awal memang sebuah konflik. Alexis lahir tahun 1690, ketika Peter masih seorang tsar yang belum berumur 20. Kembang api dipancarkan dan pesta digerakkan ketika bayi itu lahir. Tapi Peter pada dasarnya jauh dari si bocah. Ia sibuk membangun kapal, membangun pasukan, membangun Rusia dari keterbelakangan, agar tak tertinggal oleh Barat. Dan sebagaimana ia bukan seorang penguasa yang lunak, Peter juga bukan ayah yang sabar. Alexis, sementara itu tumbuh di dekat ibunya, Eudoxia. Anak yang malang: sejak awal, si ayah sudah tak merasa cocok dengan si ibu. Perkawinan Peter dan Eudoxia adalah perkawinan "dinas" karena seorang tsar muda harus punya istri dari kalangan yang layak, bukan dari hati yang mencinta. Maka, tiap kali Peter datang mengunjungi anaknya, yang berada di dekat Eudoxia, ia memberi kesan yang tak nyaman. Bagi Alexis, sejak kecil, ayahnya adalah sebuah ancaman bagi rasa tenteram. Apalagi ketika konflik terjadi antara Tsar dan permaisuri. Peter mendakwa Eudoxia yang membenci dan dibencinya -- terlibat dalam sebuah makar. Maka, sang permaisuri dikirim ke sebuah biara, jauh dari si anak. Dan Alexis pun, sejak umur 8 tahun, harus mengalami pendidikan cara Peter. Cara Peter ialah cara perintah. Sebagaimana layaknya calon tsar, anak yang kurus dan tak gemar gerak badan ini harus siap dengan ilmu perang. Bahkan ikut perang. Demikianlah, pada umur 13 ia sudah jadi penyulut meriam, dalam sebuah resimen artileri, ketika melawan tentara Swedia. Dalam film seri Peter the Great, cara Peter mendidik anaknya bahkan dilukiskan dengan amat dramatis -- dan mungkin berlebihan: Peter memaksa Alexis kecil untuk terus menyaksikan, ketika regu demi regu tentara Turki yang kalah dihukum tembak. Si anak mencoba berpaling, di saat darah muncrat ke tembok dan tubuh bergelimpangan. Tapi instruksi bukanlah edukasi. Alexis menurut, tapi ia memberontak. Caranya: ia tumbuh jadi orang yang sama sekali lain dari yang diinginkan ayahnya. Penulis buku yang sangat bagus tentang Peter, Robert Massie, mengutip satu ucapan tentang Alexis: "Sungguh sia-sia ayahnya menyuruhnya mengurus soal-soal militer, karena lebih enak baginya memegang sebuah tasbih ketimbang sebuah pistol di tangan." Pembangkangan seorang putra mahkota yang seperti itu, biarpun diam, mau tak mau punya getaran pada kehidupan politik. Maklumlah: ini terjadi di Rusia pada abad ke-18 ini terjadi di bawah Peter Yang Agung. Peter seorang otokrat besar, dan untuk jadi seorang otokrat besar, seperti kata Novelis Joseph Conrad, kita harus jadi seorang biadab besar. Di dalam ketidaksabarannya menciptakan Rusia yang modern, Peter menimbulkan ketidaksenangan banyak pihak, terutama Gereja Yunani Ortodoks. Mereka ini diam-diam mengharap, sang tsar akan segera digantikan oleh Alexis yang lunak dan saleh. Bisik-bisik pun berkembang. Persekongkolan pun terbentuk. Dan Peter mencium bau itu. Ia curiga. Apalagi ketika Alexis, yang jadi ketakutan, melarikan diri ke Austria. Peter memang berhasil memaksa anak muda ini kembali tapi ia tetap belum puas. Ia juga belum puas dengan mencopot hak Alexis untuk mewarisi tahta. Peter ingin mengusut, sejauh mana makar terhadap dirinya sudah meluas. Dalam ketakutan, Alexis menyebut sejumlah nama. Peter dengan segera menghukum mereka dengan bengis -- kebengisan seorang biadab besar. Alexis? Setelah menghukum orang lain, Peter toh akhirnya merasa harus adil: ia harus menghukum anaknya sendiri. Alexis dimasukkan ke ruang siksa. Akhirnya, pada suatu hari cerah di bulan Juni 1718, Alexis mati, tak tahan lagi. Tak ada bukti yang kuat dia telah berbuat makar. Yang ada hanya petunjuk, anak muda yang lemah ini membenci ayahnya yang perkasa. Tapi ada rupanya suatu situasi, ketika rasa benci bisa jadi durhaka penolakan dianggap pemberontakan. Putra mahkota yang gagal itu kemudian dimakamkan, dengan upacara kebesaran. Konon, Peter menangis. Khotbah hari itu memang mengutip tangisan Raja Dawud dalam Perjanjian Lama, yang menangisi kematian anaknya yang memberontak. "Absyalom, anakku, anakku!" Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini