Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengesahkan resolusi gencatan senjata yang didukung oleh Amerika Serikat pada Senin, 10 Juni 2024, dalam upaya diplomatik terbaru untuk mengakhiri delapan bulan serangan militer Israel yang menghancurkan di Jalur Gaza.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resolusi tersebut, yang menyerukan kesepakatan gencatan senjata tiga tahap yang komprehensif, diadopsi oleh 14 anggota DK PBB, dengan abstain dari Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden AS Joe Biden meluncurkan proposal perdamaian tersebut pada 31 Mei. Sebelumnya, pemerintahan Biden telah menghadapi kritik karena memblokir setidaknya tiga resolusi DK PBB untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan lebih dari 37.000 orang Palestina dan melukai sekitar 85.000 orang.
Selain memberikan perlindungan diplomatik kepada sekutu terdekatnya di Timur Tengah, Washington juga memasok senjata dan bantuan keuangan kepada Israel, yang dituduh melanggar hukum internasional.
AS abstain dalam resolusi terakhir DK PBB yang menyerukan gencatan senjata yang disahkan pada Maret.
Namun beberapa jam setelah pemungutan suara pada Senin, Israel melakukan serangan mematikan di daerah kantong Palestina, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang apakah resolusi terbaru ini akan menghasilkan gencatan senjata permanen. Melihat lebih dekat pada resolusi tersebut akan memberi tahu kita lebih banyak:
Apa itu resolusi gencatan senjata Gaza DK PBB?
Resolusi ini membagi gencatan senjata ke dalam tiga tahap:
Tahap pertama meliputi negosiasi selama enam minggu dan pembebasan tawanan Israel yang ditahan di Gaza untuk ditukar dengan tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. "Gencatan senjata yang segera, penuh dan menyeluruh" akan diberlakukan selama fase ini. Selain itu, warga sipil Palestina akan dapat kembali ke rumah mereka di seluruh Gaza, termasuk di bagian utara.
Fase ini juga akan berfokus pada bantuan kemanusiaan untuk warga sipil Palestina yang membutuhkan. Selain itu, pasukan Israel akan menarik diri dari "daerah berpenduduk" di Gaza. Jika negosiasi melebihi periode enam minggu, gencatan senjata akan dilanjutkan.
Tahap kedua menyerukan penghentian permusuhan secara permanen, pembebasan tawanan yang masih ada, dan "penarikan penuh" pasukan Israel dari Gaza.
Tahap ketiga akan melibatkan rekonstruksi Gaza selama beberapa tahun dan pemulangan jenazah para tawanan yang masih berada di Gaza.
Resolusi tersebut menolak perubahan demografis atau teritorial apa pun di Gaza, "termasuk tindakan apa pun yang mengurangi wilayah" Palestina. Rancangan revolusi sebelumnya menyebutkan bahwa hal ini termasuk "zona penyangga" di Gaza, namun bahasanya telah diubah. Warga Palestina dan para aktivis telah menyatakan kekhawatiran mereka bahwa Israel berencana untuk mengusir warga Palestina dari Gaza, seperti yang terjadi pada peristiwa Nakba di akhir tahun 1940-an saat pembentukan negara Israel.
Apa yang dikatakan Hamas dan Israel mengenai resolusi tersebut?
Kelompok Palestina tersebut menyambut baik resolusi tersebut, kata pejabat senior Hamas Sami Abu Zuhri kepada kantor berita Reuters pada Selasa.
"Pemerintah AS menghadapi ujian nyata untuk melaksanakan komitmennya dalam memaksa pendudukan untuk segera mengakhiri perang sebagai implementasi resolusi Dewan Keamanan PBB," katanya.
Para pemimpin Hamas menginginkan akhir perang yang permanen, sesuatu yang ditolak oleh Israel, dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bersikeras bahwa Israel hanya akan mengakhiri perang setelah "menghancurkan" Hamas dan membebaskan tawanan yang tersisa.
Perwakilan Israel di PBB, Reut Shapir Ben-Naftaly, mengatakan bahwa perang tidak akan berakhir hingga kemampuan Hamas "dihancurkan", sehingga menimbulkan pertanyaan apakah Israel akan menghormati resolusi terbaru tersebut.
Tanpa komitmen seperti itu, resolusi tersebut akan menjadi "sangat bermasalah bagi Hamas," kata Hasan Barari, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Qatar, kepada Al Jazeera. "Akankah warga Israel menyetujui hal ini dan akankah mereka menerima gencatan senjata permanen?"
Teks resolusi tersebut mengatakan bahwa Israel telah menerima proposal gencatan senjata dari Biden pada 31 Mei dan "menyerukan kepada Hamas untuk menerimanya".
"Tersirat dalam semua pernyataan yang datang dari pemerintah Amerika bahwa inisiatif ini adalah inisiatif Israel. Ada koordinasi antara Gedung Putih dan pemerintah Israel atas rancangan resolusi tersebut," kata Barari.
Namun para pemimpin Israel mengecam rencana perdamaian Biden yang didukung oleh PBB. Situs web Israel, Ynetnews, melaporkan bahwa kata-kata dalam resolusi tersebut tidak mencerminkan kesepakatan yang telah disetujui Israel, yang melibatkan Hamas untuk tidak lagi memerintah Gaza. Situs web tersebut, mengutip seorang pejabat senior Israel yang tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa resolusi tersebut membatasi kebebasan Israel untuk bertindak.
Apa bedanya resolusi ini dengan resolusi-resolusi PBB sebelumnya tentang Gaza?
Resolusi ini menampilkan "gencatan senjata permanen" yang berbeda dengan resolusi sebelumnya, yang menyerukan jeda dalam pertempuran.
Namun para pemimpin Israel mengecam rencana perdamaian Biden yang didukung oleh PBB. Situs web Israel, Ynetnews, melaporkan bahwa kata-kata dalam resolusi tersebut tidak mencerminkan kesepakatan yang telah disetujui Israel, yang melibatkan Hamas untuk tidak lagi memerintah Gaza. Situs web tersebut, mengutip seorang pejabat senior Israel yang tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa resolusi tersebut membatasi kebebasan Israel untuk bertindak.
Apa bedanya resolusi ini dengan resolusi-resolusi PBB sebelumnya tentang Gaza?
Resolusi ini menampilkan "gencatan senjata permanen" yang berbeda dengan resolusi sebelumnya, yang menyerukan jeda dalam pertempuran.
Selain itu, resolusi-resolusi sebelumnya juga tidak menekankan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Resolusi terakhir, yang disahkan pada 25 Maret, mengalami perubahan pada menit-menit terakhir - dari gencatan senjata "permanen" menjadi "gencatan senjata yang langgeng dan berkelanjutan" yang lebih samar. Perubahan ini atas permintaan Amerika Serikat (AS), yang menyatakan bahwa kata "permanen" dapat membahayakan hasil pemungutan suara, demikian tulis Rami Ayari dari Al Jazeera Arabic.
Resolusi Maret tersebut diajukan oleh anggota-anggota tidak tetap DK PBB dan menyerukan penghentian permusuhan selama Ramadan, yang tersisa dua minggu lagi ketika resolusi tersebut disahkan dengan 14 suara mendukung setelah AS abstain.
Setelah resolusi Maret, duta besar Aljazair mengatakan bahwa mereka akan mengakhiri "pertumpahan darah", namun sejak saat itu lebih dari 5.000 warga Palestina telah terbunuh dan ratusan rumah hancur.
Apakah 'gencatan senjata permanen' mungkin dilakukan?
Resolusi tersebut mendesak Israel dan Hamas untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk pelaksanaan "gencatan senjata permanen".
"Masalahnya di sini adalah bahwa pelaksanaan resolusi tersebut tergantung pada kesepakatan Hamas dan Israel. Saat ini, saya rasa tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa mereka menerimanya secara penuh," ujar Barari.
Hamas menginginkan "gencatan senjata permanen", sementara Israel menginginkan penghancuran Hamas sebagai syarat untuk menghentikan perang.
"Bagaimanapun, krisis politiknya adalah bahwa Netanyahu telah benar-benar menolak untuk membuat kesepakatan di mana ia berkomitmen untuk mengakhiri perang," kata Mairav Zonszein, seorang analis senior Israel dari International Crisis Group (ICG).
Dari jaksa penuntut utama Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang meminta surat perintah penangkapan bagi para pemimpin Israel hingga komunitas internasional yang menganggap pelanggaran militer Israel di Gaza sebagai genosida, perang ini telah melukai reputasi Israel yang sangat dikhawatirkan oleh banyak warga Israel, jelas Zonszein.
Ia mengatakan bahwa ia tidak merasa AS telah memberikan tekanan yang cukup terhadap Israel atau menggunakan kondisi dan bantuan untuk membuat Israel mengubah perilakunya.
AL JAZEERA