Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Restu abang untuk adik?

Kolonel rifaat, 46, adik presiden hafez al assad yang diduga disingkirkan, pulang ke damaskus bersamaan dengan kunjungan presiden prancis, mitterand ke syria. muncul menciptakan masa teduh di damaskus.(ln)

8 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH setengah tahun dalam "pengasingan politik" di Jenewa, Kolonel Rifaat al-Assad pulang ke Damaskus, dan menghidupkan lagi semangat para pendukungnya. Walau masih diselimuti misteri, kedatangan adik Presiden Hafez al-Assad ini melahirkan penafsiran bahwa dia direstui sang kakak sebagai pemimpin Syria di masa datang. Rifaat, 46, mendarat di Damaskus, pekan lalu, hampir bersamaan dengan kunjungan kenegaraan presiden Prancis Francois Mitterrand ke Syria. Begitu terbetik berita kepulangannya, para pendukung Rifaat mengumbar kegembiraan dengan membuang tembakan "selamat datang" ke udara. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa karier politik Rifaat, yang ikut hadir dalam perjamuan kenegaraan buat menghormati Presiden Mitterrand di Damaskus, belum tamat seperti diduga ketika dia "tersingkir". Dia diasingkan, sejak Juni, seusai kunjungan ke Uni Soviet. Ia kemudian menetap di Jenewa. Kejadian ini menandai puncak ketegangan di Damaskus akibat persaingan beberapa perwira tinggi untuk menduduki kursi kepresidenan Syria di saat Presiden Hafez, 56, sakit akhir tahun lalu. Ketegangan yang nyaris membuahkan perang saudara itu timbul dari persaingan Rifaat dengan panglima Divisi III, Jenderal Syafiq Fayyahd, dan komandan pasukan khusus, Jenderal Ali Haydar. Akhir Februari, Rifaat menyiagakan pasukannya, Saraya al Difa (Brigade Pertahanan), yang berkekuatan 25.000 serdadu di sekitar Damaskus. Ini, konon, dimaksudkannya untuk menghalangi rencana tentara reguler, Divisi III, memasuki ibu kota Syria itu. Haydar dan Fayyahd, yang juga ikut ke Moskow, turut diasingkan Hafez. Kedua jenderal itu "tersangkut" di Sofia, Bulgaria, sepulangnya dari Soviet. Sebelum itu persaingan ketiga perwira ini juga telah mengharuskan Hafez Assad bertindak. Pertengahan Maret, Rifaat didudukkannya sebagai salah seorang wakil presiden, untuk masalah keamanan dan militer, di samping dua wapres lainnya: Abdul Halim Khaddam dan Zuheir Masharqa. Jabatan wapres itu membuat Rifaat harus melepaskan Saraya al Difa. Namun, ketegangan tak kunjung reda. Rifaat malah menghalangi rencana Hafez untuk reorganisasi angkatan bersenjata yang akan menyingkirkan para perwira pendukungnya. Setelah sang adik itu diasingkan, beberapa unit Brigade Pertahanan tersebut ditempatkan Hafez di bawah komando tentara reguler. Hingga kini tidaklah jelas apakah pasukan berbaret jingga, yang ampuh dan agak brutal, itu sudah dilebur atau masih jadi pasukan yang mandiri. Pekan lalu, tersiar kabar, sebetulnya Rifaat mulai terasing enam bulan lampau itu setelah dia meninggalkan Syria, bersama keluarganya dan 40 pengawal, menuju Paris dan kemudian menetap di Jenewa. Inilah yang menimbulkan dugaan bahwa karier politiknya sudah selesai. Dua bulan lalu, malah menteri pertahanan Syria, Mustafa Tlas, kepada majalah Jerman Barat Der Spiegel 3 mengatakan bahwa Rifaat sudah dalam keadaan persona non grata. Tlba-tlba, tiga minggu lampau, keputusan Presiden menyatakan bahwa Rifaat masih memegang jabatan wakil presiden serta bertanggung jawab untuk masalah keamanan dan kemiliteran. Dari sini lahir tafsiran: Rifaat meninggalkan Syria, sebetulnya, atas persetujuan yang dia buat dengan kakaknya, untuk menciptakan masa teduh di Damaskus. Diduga, selama di Jenewa, antara Rifaat dan kakaknya selalu ada kontak, terutama untuk merehabilitasikan karier politiknya. Dulu orang menyangka, dia sudah kehilangan kepercayaan dari Hafez. Sebab, Rifaat lebih condong ke Barat dan pernah mengkritik hubungan Damaskus-Moskow, walaupun Syria dipandang Soviet sebagai sekutu terkyatnya di Timur Tengah. Betulkah Rifaat "agen" Barat? Entahlah. Yang jelas, pihak Barat melihat Rifaat sebagai perwira yang korup. Hanya di mata putra mahkota Arab Saudi, Pangeran Abdullah Rifaat tetap merupakan tokoh yang mengagumkan. Konon, Pangeran Abdullah yang meyakinkan Hafez unuk mengizinkan Rifaat pulang sebelum dibukanya kongres Partai Sosialis Arab Ba'ath, pertengahan bulan ini. Ba'ath, partai yang kini memerintah, akan memilih ketua biro politik yang baru, dan Rifaat tampaknya akan mengkonsolidasikan sikap politiknya di partai tersebut. Bagaimana nasib saingan Rifaat? Kabar tentang Haydar dan Fayyahd, sampai pekan silam, belum kunjung terdengar. Tetapi penentang Rifaat bukan cuma Haydar dan Fayyahd. Dalam kelompok itu terdapat wakil kepala staf AB Ali Aslan, kepala inteligen Ali Duba, komandan pertahanan udara Ali Salih, dan Adnan Makhlouf, ipar Presiden Hafez Assad, yang kini menjadi komandan pasukan pengawal presiden. Mereka ini, seperti halnya Hafez dan Rifaat, adalah golongan Alawi-Syiah, kelompok minoritas yang berpengaruh kuat dalam pemerintahan Partai Ba'ath di Syria yang 80% penduduknya golongan Suni. Tapi, berbeda dengan Rifaat, para saingannya itu mendapat dukungan dari pemuka Suni, seperti kepala staf AB Hikmat Shehabi, Wapres Abdul Halim Khaddam, dan Menteri Pertahanan Mustafa Tlas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus