DALAM sebuah bangunan tua yang berumur 200 tahun lebih di Kota London, pada suatu hari saya bertemu dengan seorang yang rendah hati. Tempat ia duduk, dalam gedung yang angker dan bergaung itu, hanyalah sebuah kantor sekitar 1 meter persegi. Redup. Tak ada warna vang mencolok. Perabot tua, sederet kecil buku di lemari, lukisan Timur di dinding, semuanya adem, merendah, hadir sekadar seperlunya. seperti tak berjejak. Begitu pula laki-laki itu, menurut kesan saya. Ia berdiri menyambut tamunya, dengan senyum dan suara rata-rata, dengan aksen sekolahan yang baku: "Saya hanya seorang birokrat." Hanya seorang birokrat. Betapa mengesankan. Sesosok tubuh ukuran sedang setengah baya. Sepasang setelan abu-abu. Sebuah dasi yang warnanya tak saya ingat kembali. Sebuah sikap hati-hati, di bawah atap gedung yang tiap sendinya adalah saksi panjang sejarah kebesaran Inggris: di kompieks Whitehall, di sebuah karitor departemen, beberapa puluh meter saja dari Downing Street l0, tempat perdana menteri duduk atau berdiri dan mengambil keputusan-keputusan besar. Laki-laki itu pasti pria yang rendah hati, demikianlah pikir saya. Sebab, keputusan-keputusan besar dari kabinet itu mungkin dari kantor redup ini datangnya, dan akhirnya akan Iewat sini pula tibanya. Hanya seorang hirokrat ia hilang. Tapi dialah ibarat fondasi sebuah bangunan: kita tahu apa artinya kekuatan di bawah itu. Dan sebagaimana halnya fondasi, ia tak terlihat. Lelaki setengah baya yang saya jumpai itu tak pernah tampil di depan publik. Bahkan namanya tak dapat saya ingat lagi. Tempat ia duduk di kantor departemen itu juga terletak di sebuah sudut yang jauh. Untuk ke sana seseorang harus diantar oleh petugas khusus penunjuk jalan, agar tak tersesat. Kita harus naik tangga, masuk lift, menyusuri koridor yang berliku-liku, melewati beberapa belas pintu, sebelum akhirnya mengetuk dengan tepat. Lalu di sanalah Ielaki itu, dengan senyum dan suara rata-rata, bicara - disertai syarat: "asalkan nama saya tidak disebut". Bicaranya memang banyak. Tapi kemudian kita pun akan setengah heran, kenapa ia begitu banyak berkata-kata untuk tidak mengekspresikan apa-apa. Tentu, kita pun akan maklum: begitulah tabiatnya. Karena begitulah tabiat orang-orang satu korpsnya. Semuanya orang-orang piawai dalam hal mengelak dari perhatian. Jlka ada saja orang yang bertanya (seperti kita bertanya tentang roda-roda halus di balik arloji), siapa gerangan sebenarnya yang menggerakkan mereka, mungkin jawabnya: mereka menggerakkan diri sendiri. Barangkali itulah sebabnya, orang macam John Kenneth Galbraith, ahli ekonomi yang pandai menulis tentang pelbagai soal itu, menyebut birokrasi sebagai "proses-proses otonom dalam sebuah pemerintahan". Kata otonom itu penting. Galbraith pasti punya pengalaman sendiri ketika ia, 20 tahun yang silam, jadi duta besar Amerika untuk India. Galbraith yang jangkung dan termasyhur itu, sebagai dubes, tak putus-putusnya bertengkar dengan birokrasi di Departmen Luar Negeri nun di Washington. Dan ternyata ia, kepercayaan Presiden Kennedy sendiri, toh tak banyak berdaya. Salah satu sumber kekuasaan adalah organisasi, begitulah akhirnya ia menyimpulkan dalam The Anatomy of Power yang terbit tahun lalu. Kesimpulan itu terutama berlaku di zaman ini. Kekuasaan tak lagi cuma berasal dari kehebatan pribadi seorang tokoh. Bukan pua karena harta kekayaan. Kapitalisme modern (dan inilah topik yang digemari Galbraith) tak ditandai oleh kekuasaan para pemilik saham, melainkan oleh para manajer. Apalagi di dalam sosialisme, seperti ketika Lenin mengambilalih hak milik pribadi di Rusia di tahun 1917 dan mewujudkan kekuasaan berdasar partai yang berkuasa. Dominasi orang-orang yang terorganisasikan itu semakin terasa ketika urusan jadi kian majemuk. Urusan hubungan internasional, urusan keamanan, urusan perpajakan, dan entah apa lagi, pada gilirannya hanya dapat dibereskan oleh pelbagai orang dari pelbagai jurusan yang bergabung dalam sebentuk orgamisasi. Tak seorang pemimpin tunggal pun yang sanggup sendirian. Karena itu Galbraith menyelipkan sebuah anekdot. Tiap kali Presiden Kennedy dapat saran bagus untuk dilaksanakan, ia kadang mengatakan, "Saya setuju, tapi saya kira kita tak dapat membuat pemerintah setuju." Demikianlah menteri datang dan pergi, presiden tampil dan diganti: masing-masing akhirnya tergantung pada roda arloji pemerintahan yang tak terlihat itu. Karena itu, wajar bila banyak rencana baik tak bisa jalan, keputusan baik bisa mandek atau mencong. Di Indonesia sendiri saya pernah dengar ada seorang menteri yang termangu-mangu: sebuah proyek pemerintah telah digariskan dan dianggarkan, tapi entah kenapa proyek itu tak kunjung dapat perizinan. Maka, saya selalu teringat laki-laki di ruang redup di Whitehall itu, yang berkata dengan rendah hati pada tamunya, "Saya hanya seorang birokrat." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini