Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Revolusi Payung Kaum Muda

Warga Hong Kong turun ke jalan, menuntut hak untuk menentukan sendiri pemimpinnya dengan bebas. Anak-anak muda penggerak utamanya.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Do you hear the people sing?
Singing the song of angry men?
It is the music of the people
Who will not be slaves again!"

Lagu Do You Hear the People Sing dari film musikal Les Misérables bergaung di sebuah titik demonstrasi di Admiralty, Hong Kong, pada akhir pekan dua minggu lalu. Kawasan yang menjadi rumah berbagai lembaga pemerintah ini menjadi pusat warga Hong Kong menggelar aksi protes terhadap pemerintah di Beijing.

"Do You Hear the People Sing menggambarkan dengan pas situasi di Hong Kong," kata seorang demonstran pendukung Occupy Central, salah satu kelompok yang berada di belakang aksi protes sebulan terakhir di Hong Kong. Karena itu, lagu ini kemudian dijadikan "lagu kebangsaan" mereka. Bahkan dibuat versi Hong Kongnya. "Beijing tak mendengarkan suara rakyat dan kami mencoba menyuarakan pesan kami."

Pada Jumat dua pekan lalu, Hong Kong banjir demonstran. Sekitar 80 ribu orang memenuhi jalanan di beberapa kawasan sibuk, termasuk Admiralty. Juga Mekahnya kaum penyuka belanja, Causeway Bay dan Mong Kok di Kowloon. Banyak yang mengenakan kaus hitam atau memasang pita kuning di baju atau kaus. Payung menjadi pemandangan biasa, bahkan kemudian menjadi simbol demonstrasi yang belakangan disebut revolusi payung. Padahal, awalnya, payung untuk berlindung dari panas matahari, kemudian menjadi pelindung dari serangan polisi. Juga menjadi tempat coret-coret aspirasi.

Demonstran menuntut dua hal utama: pemilihan umum yang benar-benar demokratis dalam pemilihan kepala eksekutif Hong Kong pada 2017 dan mundurnya kepala eksekutif sekarang, Leung Chun Ying.

Pemilu 2017 merupakan pemilu pertama bagi warga Hong Kong untuk memilih pemimpinnya. Leung sendiri terpilih menjadi kepala eksekutif lewat pemilihan oleh komite pemilu, yang kemudian diputuskan oleh pemerintah di Beijing.

Yang membuat warga Hong Kong geram dan turun ke jalan: pada Agustus lalu, Beijing mengeluarkan keputusan bahwa sebuah komite khusus akan menyeleksi kandidat kepala eksekutif Hong Kong untuk pemilu 2017. Rakyat akan memilih kandidat yang sudah lolos dari komite itu. Namun Beijing tetap menjadi penentu akhirnya. Padahal, menurut kesepakatan Inggris-Cina saat serah-terima wilayah bekas koloni Inggris ini pada 1997, keduanya menyepakati sistem "satu negara, dua sistem". Hong Kong menjadi wilayah semi-otonom, hanya masalah luar negeri dan pertahanan yang menjadi urusan Beijing, hingga 50 tahun.

Demonstrasi tak berhenti pada Jumat itu. Aksi pendudukan berlanjut hingga pekan lalu, bahkan pada hari nasional Cina, Rabu pekan lalu. Demonstran sempat menghadapi kekerasan. Polisi menggunakan gas air mata dan semprotan lada untuk membubarkan aksi. Lebih dari 80 demonstran terluka. Sebanyak 13 orang ditahan meski kemudian dilepaskan, termasuk salah satu pentolan aksi yang berusia 17 tahun, Joshua Wong.

Namun kekerasan aparat tak menciutkan nyali demonstran. Mereka meneruskan aksi hingga pekan lalu.

Unjuk rasa besar itu merupakan aksi cukup mengejutkan. Anak-anak mudalah yang berhasil menggaet massa begitu banyak. Awalnya Occupy Central yang lebih dulu kerap menggelar aksi. Kelompok ini dibentuk Benny Tai, profesor hukum di University of Hong Kong; sosiolog Chan Kin-man; dan pendeta Yiu-ming, yang selama ini rajin melakukan aksi mengkritik Beijing, terutama dengan kebijakan yang dianggap tak demokratis. Namun mereka gagal menarik minat warga Hong Kong lebih luas untuk terlibat dalam aksi.

Hingga kemudian para mahasiswa dan pelajar melakukan aksi boikot kelas pada awal September. Federasi Mahasiswa Hong Kong, yang menghimpun nama seperti Joshua Wong, Alex Chow, dan Lester Shum, menggerakkan aksi menjadi lebih besar. Mereka mulai turun ke jalan, dimulai dari kawasan Civic Square.

Hingga kemudian dirasa tak cukup, pada akhir pekan dua minggu lalu, mereka mulai turun ke jalan di kawasan Civic Square di Admiralty. Occupy Central pun bergabung. Belakangan, setelah kekerasan polisi, warga justru banyak bergabung. Ada yang ikut turun ke jalan atau sekadar mendukung. "Saya di sini untuk melindungi mahasiswa dan melindungi masa depan Hong Kong," kata pengemudi taksi, Victor Fung, yang berjaga-jaga di jalanan sepanjang malam.

Demonstran mendapat berbagai dukungan, dari sekadar air, kue, jas hujan, tisu, penutup muka, sampai tenda. Tak sedikit warga sekitar yang menyumbang colokan listrik untuk telepon seluler.

Menurut Alex Chow, aksi memang kemudian menjadi sebuah gerakan besar. "Telah menjadi gerakan masyarakat sipil."

Dunia kaget. "Awalnya, tak seorang pun memperhatikan generasi pelajar. Mungkin karena mereka anggota yang paling aktif, paling muda…, bahkan belum cukup umur untuk memilih," tulis Suzanne Pepper, akademikus Chinese University of Hong Kong, yang mempelajari demokrasi di Hong Kong, di blognya.

Menurut Y.C. Chen, akademikus di Lingnan University di Hong Kong yang aktif dalam gerakan sosial sejak 2004, salah satu alasan mengapa mahasiswa berhasil membesarkan gerakan ini adalah partai-partai prodemokrasi tak memiliki legitimasi untuk memimpin gerakan demokrasi lagi. Rakyat tak mempercayai mereka.

"Warga Hong Kong capek dengan partai politik yang memiliki kepentingan sendiri saat tawar-menawar dengan Beijing," kata Chen. "Mahasiswa tidak memiliki kepentingan pribadi di belakang gerakan mereka."

Meski demikian, tipis harapan akan berembusnya angin baik dari para pemimpin di Hong Kong maupun Beijing. Baru pada awal demonstrasi, Leung Chun Ying bahkan telah memerintahkan polisi menindak tegas demonstran dengan senjata gas air mata dan semprotan lada. Sempat pula ada kekhawatiran akan diterjunkannya Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA). Namun Leung membantahnya. "Ketika muncul masalah di Hong Kong, polisi kita sanggup mengurusnya. Tidak perlu minta pengarahan PLA," katanya.

Di samping itu, untuk memagari agar aksi tak lebih besar, Beijing telah melakukan berbagai penyensoran. Misalnya pencarian kata "umbrella revolution" ditutup aksesnya. Adapun untuk pencarian kata "occupy central" di situs pertemanan Cina, Sina Weibo dan Tencent Weibo, yang muncul tulisan: "menurut undang-undang, regulasi dan kebijakan yang terkait, tidak ada hasil pencarian yang dimunculkan".

Situs pencarian Baidu Inc's menutup akses pencarian yang terkait dengan demonstrasi. Cina juga menutup akses foto dan informasi ke situs pertemanan populer, seperti Facebook, Twitter, dan YouTube.

Lebih dari itu, Beijing mengeluarkan pernyataan yang seolah-olah menutup peluang selamanya. "Di Cina hari ini melaksanakan pemilu dengan sistem satu orang satu suara hanya akan mengarahkan Cina pada kekacauan dan kerusuhan, bahwa bisa seperti perang saudara," tulis Deputi Direktur Komite Urusan Internal dan Hukum Kongres Rakyat Nasional Cina, Li Shenming, di koran People's Daily.

Adapun direktur kantor penghubung pemerintah pusat, Zhang Xiaoming, hanya berkata pendek kepada hari nasional Cina pekan lalu: "Matahari terbit seperti biasanya."

Meski demikian, demonstran tak luruh semangat. Jumlah di jalanan boleh berkurang, tapi gerakan tetap diteruskan. "Kami berjuang untuk masa depan kami," kata seorang demonstran berusia 16 tahun, John Choi. "Saya mungkin akan ditangkap. Tapi saya akan tetap di sini."

Purwani Diyah Prabandari (Reuters, CNN, BBC, The Washington Post)


Pita, Kaus, Angka, dan Simbol Lain

Payung. Selama demonstrasi di Hong Kong, payung menjadi pemandangan biasa di setiap titik aksi. Payung merupakan benda multifungsi. Awalnya payung digunakan demonstran untuk melindungi diri dari panas. Ketika polisi mulai menindak dengan semprotan air pedas dan gas air mata, payung menjadi pelindung mereka. Namun demonstran juga menggunakan payung sebagai tempat tulisan protes mereka. Menurut asisten profesor hukum di Chinese University of Hong Kong, Bryan Druzin, payung juga memiliki gaung simbolis, yakni simbol perlawanan pasif.

Pita Kuning. Pita kuning banyak diikatkan di pagar barikade, ditempel di baju atau kaus, juga menjadi foto profil di berbagai media sosial para pendukung aksi di Hong Kong. Simbol yang sebenarnya sudah lama dikenal dalam gerakan internasional ini-terutama terkait dengan hak pilih kaum perempuan-digunakan oleh demonstran Hong Kong sebagai simbol aspirasi demokratis. "Tak semua orang bisa berada di garda depan. Pita tersebut adalah sebuah cara menunjukkan dukungan Anda," kata artis Hong Kong, Kacey Wong.

Kaus Hitam. Demonstran kebanyakan mengenakan kaus hitam saat berdemonstrasi. Pakaian hitam biasanya dikenakan dalam aksi tahunan di Hong Kong untuk memperingati pembantaian Tiananmen. Menurut Kacey Wong, hitam juga merepresentasikan kepedihan dan kegelapan karena digunakannya kekerasan oleh aparat dalam menangani demonstrasi.

Angka. Di berbagai lokasi demonstrasi, gampang ditemukan angka seperti 689, 926, dan 8964. Angka juga banyak ditemukan di media sosial yang terkait dengan aksi protes. Angka-angka itu merupakan bentuk kode yang biasa di budaya politik Cina. Di Cina daratan, menurut Kacey Wong, karena adanya sensor, demonstran harus menggunakan cara tak langsung, sehingga digunakan kode. Di Hong Kong, meski tidak ada sensor, kode angka juga biasa ditemukan. Bryan Druzin menyebut, misalnya, #926 untuk mengatakan 26 September, tanggal aksi dimulai. Kemudian #8964 untuk merujuk tanggal kasus Tiananmen. Kepala Eksekutif Hong Kong Leung Chun Ying, yang menjadi target demonstran, memiliki kode sendiri, yakni 689. Angka ini merujuk pada jumlah suara yang dia terima dari komite pemilu Hong Kong yang beranggota 1.200 orang. "Mereka menamainya (dengan 689) untuk mengingatkan rakyat bahwa dia tidak mewakili kita semua," kata Wong. Demonstran bahkan mendedikasikan sebuah bus di daerah demonstrasi dengan menempelkan nomor rute "689" dan tujuannya juga diganti "neraka".

Orang-orangan berbentuk Leung CHUN YING. Orang-orang bergambar Kepala Eksekutif Hong Kong Leung Chun Ying banyak ditemukan di lokasi demonstrasi. Teriakan menuntut dia mundur kerap terdengar. "Turun…, turun...."

Lagu Do You Hear the People Sing. Lagu dari film musikal Les Misérables, Do You Hear the People Sing, digunakan oleh demonstran sebagai lagu pembangkit semangat. Dalam film itu, lagu ini dinyanyikan kaum revolusioner Paris yang bersiap memberontak.

Firechat. Karena ada desas-desus jaringan telepon seluler akan diputus, demonstran sudah bersiap diri dengan mengunduh aplikasi pesan instan FireChat. Dengan aplikasi ini, semua orang bisa berkirim pesan tanpa koneksi data seluler ataupun jaringan nirkabel. Ponsel juga digunakan oleh demonstran sebagai pengganti lilin saat aksi di malam hari. Maka pemandangan malam memberi kesan kuatnya solidaritas demonstran dengan terang dari monitor ponsel yang dinyalakan. l

Sumber: CNN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus