Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pengakuan Seorang Pembunuh

Empat anak jalanan dipenjara setelah dipaksa mengaku terlibat pembunuhan. Kemunculan orang yang mengaku sebagai pembunuh sebenarnya tak membuat mereka lepas dari hukuman.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Pengakuan Seorang Pembunuh
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SUDAH setahun lebih empat bocah itu terkurung di balik penjara khusus anak Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta. Mereka dibui karena divonis bersalah dalam kasus pembunuhan. Padahal, di persidangan, seorang lelaki telah mengaku sebagai pembunuh sesungguhnya.

"Mereka seharusnya diputus bebas, seperti dua terdakwa lain yang sudah dewasa," kata Johanes Gea, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa pekan lalu.

Empat bocah itu kita sebut saja Firman, 17 tahun, Bondan (16), Fero (13), dan Andi (14). Sebelumnya, mereka sehari-hari biasa mengamen di angkutan umum rute Ciledug-Blok M, Jakarta Selatan. Keempatnya divonis bersalah membunuh Dicky Maulana, 16 tahun. Mereka dihukum tiga-empat tahun penjara.

Johanes dan kawan-kawan berupaya membebaskan keempat bocah itu dengan mengajukan permohonan banding dan kasasi. Hasil akhirnya, pada 14 Februari 2014, majelis hakim kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar menyatakan kasasi para bocah tak dapat diterima alias niet ontvankelijke verklaard.

Meski putusan kasasi sudah diketuk pada Februari, Johanes hingga kini belum mendapat salinan putusan lengkapnya. Karena itu, mereka tak bisa segera mengajukan permohonan peninjauan kembali. Padahal mereka sudah menyiapkan bukti baru (novum) untuk menempuh upaya hukum luar biasa itu.

* * * *

Petaka bagi para bocah itu bermula pada Ahad, 30 Juni 2013. Sekitar pukul 08.00, rombongan 16 pengamen turun di Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pagi itu mereka berangkat bersama setelah menginap di rumah seorang kawan mereka di kawasan Parung Panjang, Bogor, Jawa Barat. Semalam, di Parung Panjang tersebut, mereka "berpesta" makan nasi goreng bersama.

Dari Stasiun Kebayoran Lama, rombongan itu menuju tempat mereka biasa mangkal, di kolong jalan layang Cipulir, Jakarta Selatan. Pagi itu, sebelum bergelayutan di angkutan umum, mereka berkumpul di balai-balai di kolong jembatan. Ada yang perlu mereka diskusikan: rencana pelesir ke Kebun Binatang Ragunan.

Rencana pelesir ini sudah berpekan-pekan tertunda. Soalnya ada saja pengamen yang tak bisa menyisihkan uang. Pagi itu, misalnya, giliran Andro dan Fero yang uang recehan di sakunya sedang tandas.

Sewaktu asyik membahas rencana pelesiran itu, beberapa pengamen melihat lambaian tangan seorang pria yang tergeletak di seberang jalan. Mereka segera menghampiri lelaki tak dikenal yang teronggok di dekat parit itu. Luka tampak menganga di perut dan lehernya. Darah kering bercampur lumpur membalur sekujur tubuhnya.

Meringis kesakitan, si pria masih bisa diajak berbicara. Dia mengaku bernama Dicky Maulana, korban pengeroyokan dan perampokan. Dicky pun meminta minum dan makan. Karena iba, pengamen bernama Bondan membelikan Dicky semangkuk mi ayam dan dua gelas air mineral. "Mi tak dimakan. Dia meminum dua gelas air," kata Bondan ketika ditemui di penjara Salemba, beberapa waktu lalu.

Dicky juga meminta para pengamen membawanya ke kantor polisi. "Dia tak mau dibawa ke rumah sakit," ujar Bondan. Seorang pengamen lalu mencari ojek. Ketika menunggu ojek itulah Dicky mengembuskan napas terakhir.

Tim dari Kepolisian Sektor Kebayoran Lama datang sekitar pukul 12.00. Belasan bocah dan orang dewasa di sekitar lokasi diangkut ke kantor polisi. Esok harinya mereka dikirim ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Hari itu juga penyidik Polda langsung menetapkan enam tersangka. Di samping Bondan dan tiga kawannya yang masih di bawah umur, dua tersangka lain adalah Nurdin Prianto, 24 tahun, dan Andro Supriyanto, 19 tahun.

Kejutan muncul dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: para pengamen mengaku disiksa penyidik polisi. Mereka mengatakan ditempeleng, ditendang, dan disetrum. "Alat setrumnya seperti senter yang mengeluarkan percikan api warna biru," kata Bondan. Ada juga yang kepalanya ditutup kantong plastik, lalu diikat tali di lehernya. "Saya hampir kehabisan napas," ucap Firman. Tak tahan dengan siksaan, para pengamen itu terpaksa mengaku sebagai pembunuh.

Pengakuan para tersangka dalam berita acara pemeriksaan itu menjadi dasar dakwaan jaksa di pengadilan. Dari enam terdakwa, majelis hakim lebih dulu memvonis bersalah empat pengamen di bawah umur. "Padahal antara dakwaan dan fakta yang muncul di persidangan tak nyambung," kata Johanes Gea.

Johanes menyoroti beberapa kelemahan dakwaan. Soal motif pembunuhan, misalnya. Dalam surat dakwaan, pembunuhan Dicky disebut berlatar belakang persaingan dan konflik antara pengamen baru (Dicky) dan pengamen lama (para terdakwa). Padahal, di pengadilan, orang tua Dicky bersaksi bahwa anaknya tak pernah menjadi pengamen.

Dalam dakwaan juga disebutkan bahwa Dicky tiba di kolong jalan layang dengan naik Metro Mini 69 rute Blok M-Ciledug. Padahal, menurut orang tua Dicky, anaknya meninggalkan rumah membawa sepeda motor Yamaha Mio Soul. Malam itu Dicky ke luar rumah di Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, sekitar pukul 12. Dia diminta mencari adiknya yang terlambat pulang.

Yang paling mengejutkan adalah pengakuan Iyan Pribadi, 19 tahun. Di persidangan Nurdin dan Andro, Iyan mengaku membunuh Dicky bersama dua temannya, Hairudin Hamza alias Brengos dan Jubaidi alias Jubai. Ketiga orang ini biasa mengamen di angkutan umum rute Ciledug-Blok M. Motifnya, kata Iyan, merampas sepeda motor otomatis yang malam itu dikendarai Dicky.

Pengakuan Iyan itu berawal dari obrolan dia dengan pacar Nurdin, Rere Septiani, di jejaring sosial Facebook. Iyan meminta maaf kepada Rere karena telah membuat Nurdin dipenjara. Kaget mendengar pengakuan itu, Rere bercerita kepada ibu Andro. "Mereka rupanya saling mengenal," ucap Marni, ibu Andro, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Bersama Hendra, kakak Andro, Marni lantas menyusun siasat untuk "menangkap" Iyan. Pada Oktober 2013, ibu-anak ini menemukan Iyan di Stasiun Manggarai, Jakarta Pusat. Marni lantas membujuk Iyan agar bersedia bersaksi di depan aparat. Marni pun membawa Iyan ke Polda Metro Jaya. Namun polisi tak langsung memeriksa Iyan. Penyidik Polda baru memeriksa dia setelah Marni mengadu ke Markas Besar Kepolisian RI. "Kami sempat dipingpong polisi," ujar Marni.

Iyan juga bersaksi di persidangan Nurdin dan Andro. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabaikan kesaksian dia. Nurdin dan Andro divonis bersalah dan dihukum tujuh tahun penjara.

Di Pengadilan Tinggi Jakarta, Iyan kembali memberi kesaksian. Kali ini Marni menghadirkan saksi lain, Wasis, yang juga memperkuat posisi Nurdin dan Andro.

Menurut Wasis, pada tengah malam, sesaat sebelum penganiayaan Dicky, dia sempat nongkrong bersama Iyan, Jubai, dan Brengos di Petukangan Selatan. Ketika itu Dicky datang dengan sepeda motornya.

Setelah mengobrol sekitar 15 menit, Dicky pergi bersama Iyan, Jubai, dan Brengos. Adapun Wasis tak ikut. Beberapa saat kemudian, Iyan, Brengos, dan Jubai kembali ke tempat nongkrong. Kala itu Wasis melihat tangan Brengos dibebat seperti bekas luka. Adapun Dicky tak balik lagi. Sepeda motornya malah dibawa Jubai.

Pada kesempatan berbeda, Iyan juga bercerita kepada Wasis tentang kejadian malam itu. Dia mengaku mengeroyok Dicky bersama Brengos dan Jubai. Karena korban melawan, Brengos terluka. Iyan lalu mengantar Brengos berobat ke Rumah Sakit Aminah, Kebayoran Lama. Karena tak punya uang, Brengos membayar biaya pengobatan dengan telepon seluler miliknya.

Atas dasar keterangan Iyan dan Wasis, lewat putusan tanggal 14 Maret lalu, hakim pengadilan tinggi membebaskan Nurdin dan Andro.

Nah, putusan bebas Nurdin dan Andro itulah yang kini akan dijadikan Johanes Gea dan kawan-kawan sebagai bukti baru dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali. "Itu semestinya jadi dasar membebaskan anak-anak di bawah umur tersebut," kata Johanes. Dia juga mendesak polisi mengusut dugaan kekerasan yang dialami para pengamen ketika diperiksa penyidik Polda. "Kesaksian Iyan dan Wasis juga jangan dibiarkan," ujar Johanes.

Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, membantah ada penyiksaan terhadap para tersangka. "Itu hanya pengakuan sepihak," katanya Kamis pekan lalu. Rikwanto menolak jika polisi disebut "mendiamkan" pengakuan Iyan dan Wasis. Menurut dia, polisi telah menginterogasi Iyan. Namun polisi tak bisa begitu saja menetapkan tersangka baru. "Ada urutan-urutan kesaksian yang tak nyambung," ujar Rikwanto.

Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus