Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Runtuh Khilafah Di Timur Suriah

Ribuan milisi ISIS dan warga sipil dievakuasi dari Baghuz, basis terakhir kelompok teroris itu.

9 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga sipil meninggalkan Desa Al-Baghuz Fawqani, Provinsi Deir Ezzor, Suriah, Selasa pekan lalu. Reuters/Rodi Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setiap hari ratusan lelaki dan perempuan berduyun-duyun keluar dari Desa Al-Baghuz Fawqani, Provinsi Deir Ezzor, timur Suriah. Para perempuan, yang mengenakan burka hitam, terlihat menenteng ransel, koper, atau karung plastik dan menggandeng anak-anak di sisi kanan atau kirinya.

Sebagian dari mereka yang kakinya terluka berjalan dengan kruk atau kursi roda. Ada yang diangkut mobil ambulans dan truk. Dalam sejumlah rombongan, pria-pria yang tidak terluka berjalan dengan kedua tangan terangkat ke udara tanda menyerah. Beberapa di antaranya menenteng kantong berisi duit recehan perak dan tembaga bertulisan “Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)” dalam aksara Arab.

Setiba di luar Baghuz, mereka berbaris di lapangan tandus. Kaum lelaki dan perempuan berjajar terpisah. Raut wajah mereka tampak lesu. Banyak bayi dan anak menangis. Sejurus kemudian, para prajurit Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang berseragam loreng, berjalan menghampiri lalu memeriksa dan mengumpulkan data identitas mereka.

Serdadu SDF mendapati orang-orang yang keluar dari Baghuz itu bukan hanya warga Suriah. Banyak di antaranya berpaspor Prancis, Polandia, Cina, Mesir, Tajikistan, Maroko, Irak, atau negara lain. Umi -Youssef, 21 tahun, perempuan Tunisia-Prancis, datang ke Suriah empat tahun lalu bersama ibunya. Ia terpaksa keluar dari Baghuz setelah makanan dan air bersih makin langka di desa itu. “Saya tidak ‘hijrah’ (mendukung ISIS) demi makanan atau kehidupan yang baik,” katanya. “Ini ‘jihad’ (perang suci) demi Allah.”

Satu per satu orang yang diidentifikasi sebagai milisi ISIS dipilah dari kerumunan. Mereka yang umumnya kaum Adam ini dikumpulkan bersama tahanan ISIS lain. Sedangkan mereka yang dinyatakan “bersih”, kebanyakan ibu, bayi, anak, dan orang tua, dipindahkan ke kamp-kamp pengungsian bersama ribuan warga sipil, termasuk anak-anak belasan tahun yang keluar dari Baghuz sendirian.

Komandan SDF Adnan Afrin mengatakan sedikitnya 20 anak melintas tanpa pengawalan orang tua sepanjang pekan lalu. Mereka dikenali sebagai warga Suriah,- Irak, Turki, dan Indonesia. “Anak-anak ini keluar tanpa orang tua atau wali,” ujarnya, seperti dikutip CBC News. Ayah dari sebagian anak itu lebih dulu ditangkap setelah dikenali sebagai milisi ISIS. Ibu dari sebagian mereka tak jelas rimbanya.

Salah satu anak, Hareth Najem, melarikan diri dari Baghuz dalam kondisi terluka. Bocah 16 tahun asal Irak ini yatim-piatu setelah orang tuanya tewas dalam serangan udara saat melintasi area perbatasan di wilayah Al-Qaim, dua tahun lalu. Najem masih 11 tahun kala orang tuanya membawanya ke ibu kota de facto ISIS, Raqqa, Suriah. Seperti ribuan pengikut ISIS lain, mereka saat itu terbuai mimpi semu hidup dalam kekhalifahan Negara Islam, yang dideklarasikan Abu Bakar al-Baghdadi pada 2014.

Tapi impian itu pudar setelah pasukan SDF—gabungan serdadu Kurdi dan Arab yang didukung militer Amerika Serikat dan menguasai wilayah timur Suriah—menggempur ISIS di Raqqa. Sejak beberapa bulan lalu, serangan mereka sukses memukul mundur ISIS dan memaksa para milisi ISIS serta keluarga mereka bergeser di sepanjang aliran Sungai Eufrat hingga menyisakan kantong terakhir di Baghuz.

Dengan wajah cemang-cemong oleh debu, Najem kemudian dievakuasi dengan truk ternak bersama sejumlah bocah lelaki lain. Ia meringkuk di bawah selimut. Sisi kiri kepalanya dibalut perban untuk menutupi luka sejak saat ia menghindari pertempuran antara milisi ISIS dan serdadu SDF beberapa hari sebelumnya. Entah kapan ia terakhir kali makan.

Bocah lainnya, yang mengaku bernama Shamil Mohammed, merupakan satu dari sebelas anak asal Indonesia yang dievakuasi dari Baghuz tanpa didampingi orang tua mereka. “Saya tinggal di Jakarta, terus hijrah ke Daulah (Negara Islam) dan belajar tauhid, Quran, senjata-senjata, dan hadis,” tutur gadis berambut pendek ini kepada kantor berita Kurdi, Rudaw.

Afrin mengatakan SDF bakal memberikan perlakuan berbeda kepada milisi ISIS yang telah menyerahkan diri. Begitu pula kepada keluarga dan simpatisan mereka, termasuk bocah-bocah yang kehilangan orang tua dalam perang. “Selama ini ISIS merawat anak-anak itu di sekolah-sekolah syariah. Tapi kami tetap menerima mereka. Ada organisasi kemanusiaan internasional yang akan merehabilitasi mereka,” ucapnya.

Pasukan SDF juga membebaskan ribuan warga sipil yang telah lama hidup terkungkung di bawah kendali ISIS. Banyak dari mereka bahkan menjadi tawanan, seperti kaum Yazidi dan Syiah Irak yang, menurut ISIS, termasuk golongan kafir sehingga bisa diperbudak.

Juru bicara SDF, Mustafa Bali, mengatakan sekitar 3.000 orang keluar dari Baghuz sepanjang pekan lalu. Mereka pergi melalui koridor kemanusiaan yang dibikin pasukan pimpinan Kurdi bagi warga desa yang ingin pergi atau menyerah. Sejak satu bulan lalu, sedikitnya 18.500 orang telah meninggalkan Baghuz.

Seorang ibu lima anak asal Suriah yang dikenal dengan nama Umi Abdul-Aziz mengaku sebenarnya tidak ingin keluar dari Baghuz. Perempuan 33 tahun ini terpaksa pergi karena makin sulit mendapat makanan di sana. Mereka dulu biasa menyantap sup lentil saban hari, tapi kini hanya bisa makan roti. “Kami tidak ingin pergi, tapi Khalifah mengatakan perempuan harus pergi,” ujarnya merujuk pada pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi.

Selama desanya digempur pasukan Kurdi dan serangan udara Amerika, Umi -Abdul-Aziz dan keluarga milisi ISIS lain bersembunyi di parit-parit buatan dengan tenda sebagai atapnya. Mereka tak lagi menghuni rumah, yang menjadi sasaran tembak dan pengeboman. Dia pergi meninggalkan suaminya, yang memilih bertempur sampai mati. “Mereka berpikir, jika mereka membiarkan para perempuan keluar, Tuhan mungkin membantu mereka,” katanya.

Di Baghuz, pertempuran tak kunjung berakhir. Diperkirakan masih ada ratusan milisi ISIS yang terpojok di area seluas 1 kilometer persegi itu. Mohammed Sheikh, satu dari 350 milisi ISIS yang pekan lalu meletakkan senjata, menggambarkan tragisnya situasi di Baghuz. “Saya menyerah dan tidak ingin lagi berperang,” ucap pria bercambang dan berkumis lebat ini dengan raut wajah kepayahan.

Pertempuran di desa itu masih berlangsung sengit. Pasukan SDF, termasuk di dalamnya milisi Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), yang dibantu pasukan khusus Amerika, menyerang milisi ISIS yang tersisa dari berbagai penjuru. Tentara ISIS membalas lewat serangan penembak jitu, jebakan bom rakitan, dan bom mobil. Ngumpet di parit dan terowongan membuat milisi ISIS sulit ditumpas.

Lewla Abdullah, pejabat SDF, mengatakan setidaknya tiga bom mobil ISIS telah menewaskan beberapa serdadu Kurdi sejak pekan lalu. Perwira SDF lain, dengan nama julukan Mervan Sang Pemberani, menyebutkan banyak pria bersenjata ISIS masih gigih bertahan di Baghuz. “Ini bukan akhir. Kita mungkin berada di ambang pertempuran baru,” tutur Mervan.

Bagi pasukan pimpinan Kurdi, ancaman ISIS tidak hanya berasal dari dalam -Baghuz. Ideologi ekstrem ISIS, yang selama ini menjadi bahan bakar utama perlawanan para milisinya, rupanya menancap kuat di otak kaum muda. Bocah-bocah belasan tahun keluar dari Baghuz sambil mengusung pemikiran radikal itu. “Syariah membawa saya ke Baghuz. Islam membawa saya ke sini,” kata Mahmoud, remaja 15 tahun yang masih berharap ISIS kelak kembali berjaya.

MAHARDIKA SATRIA HADI (RUDAW, CBC NEWS, REUTERS, CNN, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus