Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima polisi bertandang ke kediaman dosen Universitas Negeri Jakarta sekaligus aktivis hak asasi manusia, Robertus Robet, di Depok, Jawa Barat, menjelang tengah malam, Rabu pekan lalu. Personel Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI yang dipimpin Kepala Subdirektorat II Komisaris Besar Ricky Naldo Chairul itu menunjukkan surat penangkapan untuk Robet.
Polisi menganggap orasi Robet sebagai penghinaan terhadap lembaga negara. Orasi yang menentang kembalinya dwifungsi Tentara Nasional Indonesia disampaikan Robet saat Aksi Kamisan di depan Istana Presiden pada Kamis dua pekan lalu. “Dalam penangkapan saya, selain karena memenuhi unsur, ada tujuan lain. Kata polisi, untuk melindungi saya,” ujar Robet, Jumat pekan lalu.
Pelindungan muncul lantaran riuhnya persekusi terhadap Robet di media sosial Facebook sejak Rabu siang pekan lalu. Musababnya adalah potongan video pembuka orasi Robet berupa pelesetan “Mars ABRI” yang tanpa konteks. “Memang ada ancaman, persekusi, akhirnya akun Facebook saya deaktivasi,” ucapnya.
Robet kemudian membuat video klarifikasi dan permintaan maaf atas kesalah pahaman yang muncul. Meski demikian, polisi proaktif membuat laporan tipe A—dari kalangan internal mereka sendiri—pada hari itu juga dan menangkap Robet pada malam harinya.
Dalam surat penangkapan, disebutkan bahwa Robet disangka melanggar Pasal 18 ayat 2 juncto Pasal 45-a ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 14 ayat 2 juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman maksimal dari pasal yang memuat ketentuan ujaran kebencian itu berupa hukuman penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar.
Setiba di kantor Badan Reserse Kriminal di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, sekitar pukul 1 dinihari, Robet yang didampingi tim kuasa hukum Nurkholis Hidayat serta beberapa orang dari Koalisi Masyarakat Sipil itu langsung menjalani pemeriksaan. Dalam interogasi selama hampir empat jam, penyidik mencecar Robet dengan belasan pertanyaan, termasuk maksud atau motif orasi. Penyidik juga memutarkan video orasi versi lengkap, yang berdurasi sekitar tujuh menit.
Robet menyampaikan orasinya itu untuk mengkritik rencana penempatan perwira pada jabatan sipil. Kepada penyidik, dia mengatakan lagu pelesetan “Mars ABRI” dipilih menjadi pembuka orasi karena, sebagai dosen, dia ingin menjelaskan sesuatu secara kronologis. Menurut dia, maksud orasi itu adalah TNI yang sudah mengalami reformasi jangan lagi kembali ke era Orde Baru. “Dalam orasi itu justru saya menyampaikan kita harus mencintai TNI yang lebih profesional. Jadi enggak ada saya mendiskreditkan TNI,” ujarnya.
Di era rezim Presiden Soeharto, kata dia, militer berperan besar dalam politik Orde Baru dan menghasilkan masalah. “Setelah itu, ada reformasi. Reformasi TNI yang sudah berjalan itu jangan dibikin mundur. Itu reminder saya,” ujarnya.
Tapi ada orang-orang yang memotong isi video tersebut. Akibatnya, orang tidak mendengarkan utuh sehingga muncul kehebohan di media sosial. Bahkan, pada Rabu siang pekan lalu, ada orang yang mengaku dari komando distrik militer menyambangi kediaman Robet. Ketika Robet sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian, juga ada pria yang mengaku sebagai personel TNI mendatangi rumahnya di Depok. “Entah tujuannya apa, bikin orang marah. Saya tidak menduga orang motong-motong jadi pendek sehingga lepas dari konteks,” katanya.
Polisi juga mencecar Robet soal tujuan kehadirannya di Aksi Kamisan. Ia pun menjelaskan hadir dalam aksi rutin yang diikuti korban dan keluarga pelanggaran hak asasi manusia itu karena diundang untuk memberikan refleksi. “Saya diundang karena dianggap netral dalam politik perpilpresan,” ujarnya.
Dia menyebutkan kontestasi pemilihan presiden ini harus dimanfaatkan untuk mendorong penebalan budaya hak asasi. “Di tengah orang selalu ribut, justru kita, kelompok hak asasi, harus mendorong hak asasi itu. Itu yang saya tekankan, sehingga saya mau hadir.”
Nurkholis mengatakan polisi juga menanyakan kepada kliennya itu soal penyebaran potongan-potongan video orasi. Namun Robet kala itu tidak tahu awal mula penyebarannya dan bukan dia yang melakukannya.
Seusai pemeriksaan dan jeda istirahat, Robet beserta tim kuasa hukum kemudian bertemu dengan pimpinan Direktorat Siber sekitar pukul 09.00, Kamis pekan lalu. Obrolan itu lebih banyak membahas opsi pengamanan terhadap Robet.
Polisi juga menyatakan tidak akan menahan Robet karena belakangan dia dijerat dengan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia, yang ancaman hukuman maksimalnya satu setengah tahun penjara. Pasal ini dianggap sudah tidak relevan karena Mahkamah Konstitusi menyatakan delik penghinaan tak boleh lagi digunakan pemerintah ataupun pejabat pemerintah pusat dan daerah.
Sejak awal penangkapan, kata Nurkholis, polisi kerap mengatakan tidak ingin terjadi lagi kasus seperti penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta, dan pembakaran kantor Kepolisian Sektor Ciracas, Jakarta Timur. Dua kerusuhan itu dipicu persoalan dengan TNI. “Sejak penangkapan pertama, itu terus yang diomongin,” ujar mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu.
Meski polisi berfokus pada soal keamanan Robet, Nurkholis mengatakan caranya bukan dengan penangkapan dan melakukan pro justitia. “Semua dilakukan dalam satu hari, terburu-buru sekali,” ucapnya.
Nurkholis dan Koalisi Masyarakat Sipil tetap keberatan terhadap penangkapan beserta proses hukum yang lain itu. Karena itu, tim kuasa hukum akan menempuh beberapa prosedur hingga terbit surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Robet. Namun Robet menyatakan siap menjalani proses hukum yang masih berjalan. “Tidak apa-apa kalau saya dihukum,” kata Robet.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan Robet tak ditahan, tapi kasusnya tetap berlanjut. Jika polisi memerlukan keterangan lagi dari Robet, dia memastikan pria 48 tahun itu akan diperiksa lagi. Ihwal penerapan Pasal 207 yang dianggap sudah tidak relevan, Dedi menyatakan polisi punya alasan tersendiri. “Polri dalam hal ini melakukan proses penyidikan dengan standar profesional tinggi dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang dianalisis komprehensif,” ujar Dedi.
Saat disinggung soal maksud dari pelindungan terhadap Robet, Dedi enggan berkomentar. Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Komisaris Besar Asep Syafrudin juga memilih bungkam. “Silakan ke humas, ya,” kata Asep.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi menyatakan institusinya tak tersinggung oleh orasi Robet. Menurut dia, justru orasi Robet merupakan masukan berharga agar TNI tetap profesional. “TNI zaman now tidak antikritik,” ujar Sisriadi. TNI juga ikut menjaga kediaman Robet. “Sempat dilakukan penjagaan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan,” kata anggota intel Komando Distrik Militer Depok, Hardono.
LINDA TRIANITA, IRSYAN HASYIM (DEPOK)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo