Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH enam bulan Ajun Komisaris Besar Eddy Triswoyo datang ke kantor hanya untuk mengisi daftar hadir. Ia tak mendapat tugas apa pun setelah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Bidang Telekomunikasi dan Informatika di Kepolisian Daerah Kalimantan Barat.
Eddy, 54 tahun, "bebas tugas" sejak menjadi tersangka kasus penggelembungan tagihan ratusan saluran telepon kantor dan rumah dinas pejabat Polda Kalimantan Barat. Dalam waktu tiga tahun, sejak 2011 sampai 2014, Eddy diduga merekayasa tagihan telepon hingga kemahalan sekitar Rp 6,5 miliar.
"Berkas pemeriksaan sudah dianggap lengkap oleh kejaksaan tinggi," kata Kepala Polda Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto, Selasa pekan lalu. "Tinggal menunggu pelimpahan berkas dan tersangka."
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Barat juga telah menetapkan tiga tersangka lain yang diduga bersekongkol dengan Eddy. Mereka adalah seorang manajer keuangan dan dua bekas Ketua Koperasi Pegawai Telkom.
Menurut Arief, keempat tersangka bersikap kooperatif selama penyelidikan. "Sehingga mereka tidak ditahan," ujar Arief. Polisi menjerat para tersangka dengan Pasal 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
INSPEKTUR Pengawasan Polda Kalimantan Barat Komisaris Besar Didi Haryono tertegun melihat tagihan rekening telepon rumah dinasnya pada November tahun lalu. Tagihan telepon bulan itu sebesar Rp 250 ribu. "Selama bulan itu saya tak pernah memakai telepon rumah, hanya mengandalkan telepon seluler," kata Didi, Selasa dua pekan lalu.
Tagihan besar tanpa pemakaian itu membuat Didi curiga. Dia lantas melaporkan hal tersebut ke Kepala Polda Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto. Sama-sama curiga, Arief pun meminta Didi memeriksa tagihan telepon di rumah dinas Kepala Polda dan wakilnya.
Lagi-lagi Didi tercengang melihat jumlah tagihan telepon di rumah dinas kedua pemimpin kepolisian daerah yang juga jarang dipakai itu. "Tagihan bisa sampai jutaan rupiah dalam sebulan," ujar Didi.
Arief lalu menugasi Didi menelusuri ketidakwajaran tagihan tersebut. Langkah pertama, Didi memanggil Eddy Triswoyo, yang menjabat Kepala Bidang Telekomunikasi dan Informatika. Kala itu Eddy masih berkelit dengan menjelaskan bahwa tagihan membengkak karena kesalahan data.
Tak puas dengan jawaban Eddy, Didi meminta data semua tagihan telepon di Polda Kalimantan Barat untuk November 2014. Didi juga membentuk tim khusus untuk mempelajari data pemakaian dan tagihan 272 saluran telepon di kantor dan rumah dinas pejabat polisi daerah pada bulan tersebut.
Setelah memperoleh data tagihan bulan November yang mencapai ratusan juta rupiah, Didi kembali memanggil Eddy. Kali ini Didi langsung melontarkan kecurigaan adanya penggelembungan tagihan. "Dia mengaku melakukan mark up, tapi hanya sepanjang 2014," ucap Didi.
Tim audit internal bentukan Didi terus menelisik laporan tagihan telepon hingga 2013. Dalam kurun dua tahun, tagihan telepon yang mencurigakan mencapai miliaran rupiah. Ketika dihadapkan pada temuan tersebut, Eddy tak menyangkal telah menggelembungkan tagihan. Namun ia hanya mengakui merekayasa tagihan sepanjang 2013 dan 2014.
Tak mau dibohongi lagi, Didi meminta timnya memeriksa tagihan telepon sampai 2008, ketika Eddy mulai menjabat Kepala Bidang Telekomunikasi dan Informatika. "Kami menghitung tagihan 272 saluran telepon selama periode 48 bulan," kata Didi. Ternyata tim inspektorat menemukan kejanggalan pembayaran telepon sejak awal 2011.
Menurut Didi, ketidakwajaran tagihan bermula ketika Polda memutus kontrak pengurusan tagihan telepon dengan PT Telkom pada 10 Januari 2011. Mengatasnamakan Kepala Polda waktu itu, Eddy mengalihkan kontrak pengurusan tagihan telepon ke Koperasi Pegawai Telkom Pontianak.
Didi menduga pengalihan kontrak tersebut hanya akal-akalan Eddy untuk memuluskan rencana dia. Indikasinya, sejak Maret 2011 sampai Desember 2014, Eddy beberapa kali mengirimkan surat atas nama Kepala Polda, dengan cap surat Kepala Bidang Telekomunikasi dan Informatika. Dalam surat itu, Eddy meminta penambahan biaya ke dalam tagihan telepon kantor dan rumah dinas pejabat Polda.
Koperasi Pegawai Telkom pun memenuhi permintaan Eddy. Mereka mengeluarkan kuitansi penambahan tagihan yang selalu ditandatangani Eddy. "Penambahan biaya tagihan rata-rata sekitar Rp 150 juta per bulan," ujar Didi. Setelah semua tagihan dibayar Polda, koperasi menyerahkan uang kelebihan pembayaran kepada Eddy. "Entah apa alasannya, setiap menerima uang dari koperasi, Eddy selalu menandatangani kuitansi," kata Didi.
Berdasarkan penelusuran polisi, Eddy merekayasa tagihan telepon dengan bantuan tiga pengurus koperasi. Mereka antara lain Manajer Keuangan Koperasi Pegawai Telkom, Farida, yang selama ini menerima tagihan pemakaian riil dari PT Telkom Pontianak.
Atas permintaan Eddy, Farida mengubah dan menambahkan jumlah nominal pada berkas tagihan. Berkas tersebut kemudian ditandatangani ketua koperasi. Selama penggelembungan tagihan berjalan, ada dua ketua koperasi yang diduga membantu Eddy, yakni Mochamad Yusuf dan Febri Supriadi. "Manajer dan mantan ketua koperasi mendapat fee enam persen dari tagihan bulanan," kata Didi.
Kuasa hukum ketiga tersangka ini, Tamsil Syukur, membantah tuduhan polisi. Tamsil mengatakan setiap transaksi dengan Polda Kalimantan Barat selalu disertai surat resmi. "Uang tak pernah mengalir ke ketiga pengurus itu. Mereka tak mendapat keuntungan pribadi," kata Tamsil, Rabu pekan lalu. Semua transaksi antara koperasi dan Polda, menurut Tamsil, bersifat resmi dan selalu disertai kuitansi.
Pada Maret lalu, setelah tim inspektorat menyelesaikan investigasi, Eddy kembali dihadapkan pada berbagai bukti. Kali ini dia mengakui semua perbuatannya. Atas perintah Kepala Polda Arief Sulistyanto, Didi memberikan waktu dua bulan kepada Eddy untuk mengembalikan semua kelebihan tagihan telepon.
Hingga melewati tenggat, Eddy hanya menyerahkan Rp 650 juta dalam dua kali pembayaran. Meski Eddy mengembalikan sebagian uang, pengusutan kasus tak berhenti. Pada Mei lalu, pengusutan masuk ke tahap penyidikan oleh tim Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Sebulan kemudian, Eddy dicopot dari jabatannya.
Menurut Kepala Polda Arief Sulistyanto, sebelum menjadi tersangka korupsi tagihan telepon, Eddy belum pernah tercatat melakukan tindakan kriminal. "Selama ini rekam jejaknya baik-baik saja," kata Arief.
Untuk memastikan jumlah kerugian negara, Polda Kalimantan Barat juga meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan audit investigasi. "BPKP pun menemukan kerugian negara Rp 6,5 miliar," ujar Arief. Pada Oktober lalu, polisi baru menetapkan tiga pengurus koperasi sebagai tersangka.
Polisi telah menyita sejumlah aset milik Eddy yang diperkirakan diperoleh pada 2011-2014. Salah satunya rumah di kompleks Bhayangkara Permai, Pontianak. Rumah yang direnovasi pada 2011 itu terbilang paling mewah di perumahan polisi tersebut.
Aset lain Eddy yang tercatat telah disita adalah mobil Ford Ecosport keluaran 2014. Menurut taksiran polisi, mobil tersebut harganya sekitar Rp 200 juta.
Dua pekan lalu, penyidik pernah memasang tanda bahwa rumah Eddy di kompleks Bhayangkara telah disita. Namun, ketika Tempo berkunjung ke rumah itu pada Kamis pekan lalu, papan tanda penyitaan tak terlihat lagi. Adapun mobil Ford putih yang disebut-sebut telah disita terparkir di garasi yang pintunya terbuka.
Ditemui di rumahnya, Eddy menolak berkomentar panjang. "Mungkin ini ujian buat kami. Saya serahkan semuanya kepada kebijakan pimpinan," katanya. Polda Kalimantan Barat, menurut Eddy, sudah menunjuk seorang pengacara untuk membantu dia menjalani proses hukum. "Saya percayakan kasus ini kepada pengacara," ujarnya.
Yuliawati, Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo