Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Saatnya Menjerat Si Hidung Belang

Pendekatan kriminalisasi konsumen seks untuk menekan prostitusi marak di Eropa. Siasat melindungi perempuan korban perdagangan manusia.

23 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyum puas pengguna jasa seks ketika keluar dari tempat prostitusi akan berganti dengan senyum kecut. Atau mereka sudah jeri lebih dulu sebelum bertransaksi. Kejadian ini bakal tak terhindarkan seiring dengan maraknya aturan dengan pendekatan kriminalisasi pemakai jasa seks. Dengan aturan itu, para tukang "jajan" tak hanya diawasi istri, keluarga, atau kerabat, tapi juga negara. Pendekatan ini kian populer di Eropa, mengikuti cerita sukses pemberantasan prostitusi di Swedia.

Rabu dua pekan lalu, majelis rendah nasional Prancis menyetujui rancangan undang-undang antiprostitusi yang memuat ancaman hukuman bagi pembeli jasa seks dengan perolehan suara 268-138 dan 79 abstain. Seseorang yang terbukti menggunakan jasa perempuan penjual seks akan didenda 1.500 euro atau sekitar Rp 22,5 juta. Jika orang yang sama mengulang aksinya, dendanya berlipat dan terus berlipat jika belum kunjung kapok.

RUU itu menunggu pengesahan di Senat dan presiden sebelum resmi diberlakukan beberapa bulan ke depan. Setelah berlaku, kaum laki-lakilah yang paling potensial terjerat. Dari lampiran penelitian pada draf RUU, 85 persen dari sekitar 20 ribu pekerja seks di Prancis adalah perempuan, dan 99 persen pengguna jasanya laki-laki.

Pemerintah menegaskan bahwa aturan itu untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan melindungi sebagian besar perempuan korban perdagangan manusia. "Prancis akhirnya bisa terbebas dari usaha gelap yang tak bermartabat," kata Menteri Hak Perempuan Prancis Najat Vallaud-Belkacem.

Data Kementerian Dalam Negeri Prancis menunjukkan 90 persen pekerja seks di Prancis didatangkan dari luar dan umumnya korban perdagangan manusia. Mereka kebanyakan dari negara di bagian timur Eropa, Afrika, Cina, dan Amerika Selatan. Pada 1990-an, proporsi pekerja seks "impor" baru 10 persen.

Rancangan regulasi itu merupakan wujud perubahan radikal dari sikap terhadap prostitusi—sebelumnya prostitusi legal di Prancis. Jika lolos, regulasi antiprostitusi ini akan jadi aturan pembatasan prostitusi paling ketat di Eropa. RUU Antiprostitusi Prancis memadukan hukum Belanda dan Jerman. Pekerja seks terdaftar sebagai pembayar pajak dan penerima manfaat kesehatan. Dari Swedia, pengaturan soal klien prostitusi yang dicukil.

Pada 1999, Swedia menjadi negara pertama yang mengkriminalisasi penggunaan jasa seks. Aktivitas menjajakan seks tidak ilegal, tapi warga dilarang "membeli". Semangatnya kurang-lebih demikian, "Kami tidak punya masalah dengan pelacur. Kami punya masalah dengan pria yang membeli seks."

Para pekerja seks diposisikan sebagai korban dan komoditas dalam perdagangan seks sehingga bebas dari jerat hukum. Sedangkan konsumen akan dikenai denda atau penjara maksimal 6 bulan. Masih kurang, ada bonus rasa malu karena dipublikasikan di media. Sejak aturan itu diterapkan, 4.784 orang dinyatakan bersalah.

Hukum ala Swedia—biasa disebut model Nordik—awalnya diragukan bisa terlaksana. Ternyata hasilnya signifikan. Jumlah pekerja seks di Swedia turun dari 2.500 orang pada 1998 menjadi 1.500 dalam waktu lima tahun. Hasil lain: Swedia menjadi negara di Eropa yang "paling jarang ditemukan" masalah perdagangan manusia.

Belakangan, Swedia akan lebih meningkatkan kualitas pelaksanaannya. Isyarat itu disampaikan Perdana Menteri Fredrik Reinfeldt dalam pidatonya di Stockholm, Senin dua pekan lalu. "Sudah waktunya ditegaskan kita tidak hanya memiliki sanksi denda, tapi juga penjara," katanya. Dalam prakteknya, sejauh ini hakim hanya mengenakan denda hingga 7.500 krona (sekitar Rp 13,64 juta).

Sebelum Prancis, sejumlah negara telah mengikuti jejak Swedia, seperti Islandia, Norwegia, dan Slovakia. Belgia dan Irlandia tengah mempertimbangkan. Secara umum, model Nordik dilirik di Eropa seiring dengan temuan soal perdagangan manusia dan turunannya. Laporan parlemen Eropa terbaru, seperti dikutip The Guardian, memperkirakan di Eropa 880 ribu orang hidup dalam kondisi mirip perbudakan, sebagian adalah korban eksploitasi seksual.

Di Inggris, pegiat perempuan mendorong pemerintah mengadopsi gagasan kriminalisasi pemakai jasa seks, mengingat aturan pembatasan yang relatif longgar. "Dukungan terhadap kriminalisasi pembeli jasa seks terus meningkat. Tidak hanya di negara-negara Skandinavia, tapi juga di Prancis, Irlandia Utara, dan lainnya," kata Mary Honeyball, anggota parlemen dari Partai Buruh, yang juga pelapor khusus parlemen Eropa soal kesetaraan gender.

Namun pejabat tinggi kepolisian Inggris yang menangani prostitusi menilai model Nordik sulit diterapkan. "Kecuali wilayah operasinya di tempat sepi atau daerah tidak aman," kata Asisten Kepala Polisi Chris Armitt. "Jika hubungan seksual terjadi di antara dua orang dewasa, mengapa polisi harus dilibatkan?"

Kementerian Dalam Negeri Inggris telah menyodorkan rancangan undang-undang anti-trafficking dan perbudakan. Namun kritik atas rancangan ini adalah kurang memperhatikan soal prostitusi. "Semua indikator menyatakan RUU anti-trafficking mengabaikan prostitusi sama sekali," kata Gavin Shuker, anggota Partai Buruh dan ketua kelompok parlemen soal prostitusi.

Padahal prostitusi selalu seiring jalan dengan perdagangan manusia. "Sulit menghapus trafficking tanpa menghapus permintaan prostitusi," kata Andrea Matolcsi dari lembaga Equality Now. Dia mengambil contoh Jerman, yang melegalkan prostitusi, dan hasilnya rumah bordil kewalahan menolak gelombang pekerja seks dari luar.

Jerman memberi pula contoh kasus yang berbeda. Perdagangan seks di Jerman melonjak sejak prostitusi dibebaskan mulai 2002. Seperti disinggung dalam film dokumenter Sex: Made in Germany, lebih dari satu juta laki-laki "jajan" setiap hari di Jerman. Total pekerja seks mencapai 400 ribu orang—hingga Jerman mendapat julukan cemoohan "rumah bordil terbesar di Eropa".

Hukum Jerman tentang prostitusi dinilai salah satu yang paling liberal. Regulasinya disahkan koalisi pemerintah sebelumnya, Partai Sosial Demokrat (SPD) dan Partai Hijau, dengan semangat memperkuat hak pekerja seks dan memberikan akses atas asuransi kesehatan serta manfaat lainnya. Pekerja seks bahkan bisa menuntut pelanggan yang tidak membayar.

Dampak sampingannya terasa setelah satu dasawarsa: pekerja seks migran membanjir. Kini dua pertiga pekerja seks berasal dari luar dan dinilai salah satu buah dari praktek perdagangan manusia. "Kedatangan perempuan migran ke sini sangat bergantung pada orang lain," kata Roshan Heiler, kepala konseling organisasi perempuan Solwodi cabang Aachen.

Namun angin perubahan juga melanda Jerman. Dalam perjanjian koalisi antara Partai Sosial Demokrat dan Partai Kristen Demokrat serta Sosialis (CDU/CSU) telah disepakati perubahan untuk undang-undang prostitusi. "Kami tak hanya akan menghukum pelaku yang memperjual belikan manusia dan memaksa wanita melacur, tapi juga menghukum mereka yang telah memanfaatkan keadaan sulit yang dialami para korban," kata Erika Steinbach, ketua kelompok kerja hak asasi manusia dan bantuan kemanusiaan CDU/CSU.

Gelombang kriminalisasi prostitusi terus menguat, tapi bukannya tanpa kritik dan protes. "Kriminalisasi klien tidak akan menghentikan prostitusi, bahkan menambah stigma pekerja seks," kata Niki Adam dari English Collective of Prostitutes.

Di Prancis, warga yang menolak kebijakan menghukum klien seks juga gencar menggelar unjuk rasa. "Kami merasa mendapat tekanan luar biasa," ujar seorang pekerja seks di Bois de Boulogne, pusat prostitusi di pinggiran Paris. Kata Sarah, demikian dia minta dipanggil, dalam dua pekan terakhir kunjungan tamu merosot. Sebagian masih datang, tapi dengan takut-takut.

Harun Mahbub, Natalia Santi (AP, BBC, CNN, DWDE, France24, The Guardian, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus