Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

<font color=brown>Hati Baru</font> dari Tianjin

Dahlan Iskan berhasil menjalani cangkok hati di Cina. Kesiapan dan kemampuan transplantasi serupa belum teruji di Indonesia.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak ada yang dramatis bagi Dahlan Iskan setelah sukses menjalani pencangkokan hati. Padahal, pemimpin Grup Jawa Pos itu melewati 18 jam dibius, 5,5 jam operasi, dua hari terbujur dengan selang centang-perenang di ruang perawatan intensif (ICU). Ketika dia sadar, dan tahu masih bernyawa, Dahlan mengaku tidak terlalu gembira. ”Karena saya siap mati, juga siap hidup,” kata laki-laki 56 tahun itu.

”Nggak ada yang berbeda. Hanya saya lebih confidence,” dia menambahkan. Sebelum operasi, dia tidak berani membuat perencanaan, misalnya bertemu rekan bisnis pada bulan berikutnya. ”Karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi; apakah saya harus ke dokter pada hari H,” tuturnya kepada Tempo pada Selasa pekan lalu.

Kini dia bebas berencana. Laki-laki kelahiran Magetan, Jawa Timur, ini kelihatan segar. Tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia baru menjalani cangkok hati dua bulan berselang. Operasi itu dilangsungkan di Rumah Sakit Yi Zhong Xin Yi Yuan, Tianjin, Cina.

Sebelum dibedah, liver Dahlan sudah sirosis. Hati yang bertugas melawan infeksi dan membersihkan darah dalam tubuh nyaris tidak berfungsi. Ukuran organ itu menciut dan mengeras. Menurut Dahlan, kadar albuminnya, yakni protein yang berfungsi membuang kelebihan air, baik dalam bentuk keringat maupun air seni, selalu rendah selama 10 tahun terakhir, yaitu 2,7 (normalnya 3,2). Akibatnya, Dahlan takut minum air karena sulit dibuang. Tubuhnya membengkak.

Profesor Shao, seorang dokter perempuan di Tianjin, mulai menangani Dahlan tatkala dia berobat ke sana setahun lalu. Untunglah, saat itu rongga perutnya belum tergenang air. Jika sudah sampai tahap tersebut, kondisinya amatlah berbahaya. Adapun rongga dadanya ketika itu berbunyi bila diketuk. Itu pertanda ukuran hati menciut. Payudaranya juga membesar (ginekomastia).

Maka, tak ada pilihan kecuali menjalani cangkok liver. Mendapat vonis seperti itu, Dahlan yang terkena virus hepatitis B 15 tahun silam langsung berhitung. Tingkat keberhasilan cangkok hati memang sudah tinggi, sekitar 90 persen. Teknologi dan dokter-dokter di Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Singapura bagus dan teruji, namun dia memperhitungkan lamanya waktu antre sampai memperoleh donor hati yang tepat. Di negara-negara yang serba teratur, kecil kemungkinannya segera mendapatkan hati. ”Di Singapura, belum tentu dalam 10 tahun saya bisa dapat giliran,” katanya.

Nah, menurut Dahlan, Cina dipilih karena tingkat kecelakaan lalu lintasnya cukup tinggi, yaitu 300 orang per hari—sebagian pasti ada yang meninggal. Dengan demikian, kemungkinan mendapat hati yang cocok lebih cepat. Dia hanya perlu menunggu empat bulan sebelum mendapat organ yang pas.

Dahlan pun memilih Rumah Sakit Yi Zhong Xin Yi Yuan, Tianjin, sekitar 100 kilometer dari Beijing. Dokter Shen Zhong Yang yang memimpin operasi. Yi Zhong dikenal sebagai rumah sakit pusat transplantasi terbesar di dunia. Dokter Shen adalah kepala rumah sakit tersebut. Ia punya jam terbang tinggi dalam soal transplantasi hati. Dokter berumur 52 tahun itu sudah melakukan operasi cangkok liver lebih dari 800 kali. Shen yang mendapat gelar doktor dari Jepang itu adalah pemegang rekor dunia transplantasi hati pasien tertua (79 tahun) dan termuda (96 hari). Dia juga dokter yang terbanyak melakukan transplantasi tanpa infus. Maka, Dahlan sangat yakin ketika sang dokter turun tangan. Operasi berjalan lancar.

Tahap krusial berikutnya adalah memastikan tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Sejak transplantasi hati pertama pada 1963 di Denver, Colorado, penolakan hati baru menjadi perhatian utama pelaku cangkok. Pada 1970-an, tingkat bertahan hidup hingga setahun pascatransplantasi hanya 25 persen. Walaupun kini tingkat keberhasilan—pasien bisa beraktivitas seperti orang sehat—sudah 85–90 persen, ancaman penolakan tetap ada.

Untuk itu, Dahlan harus minum obat yang mengekang daya tahan tubuh (immunosuppressants). Akibatnya, dia rentan terhadap serangan virus dan infeksi sekecil apa pun. Obat ini punya efek samping meningkatkan kadar kolesterol, menimbulkan diabetes, melemahkan tulang, dan dapat merusak ginjal. Untuk itulah, tim dokter harus terus memantau perkembangan si pasien, termasuk menjalani pemeriksaan USG (ultrasonography) selama beberapa hari setelah operasi.

O ya, ingin tahu wujud ”si hati sakit” Dahlan? Bentuknya seperti ”daging panggang kematangan”—demikian ditulis Dahlan dalam artikel berseri yang dimuat di harian-harian grup Jawa Pos. Dalam hati yang rusak itu, menurut pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), sudah bercokol tiga buah kanker berukuran enam, empat, dan dua sentimeter, serta dua calon kanker. Ini yang membuat tim dokter perlu meneliti lebih jauh apakah kanker tersebut sudah menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Itu semua tidak mempengaruhi Dahlan. Sesampainya di Indonesia, Senin lalu, dia langsung memimpin rapat perusahaan. ”Kangen rapat,” katanya. Begitu juga ketika Tempo mewawancarainya keesokan paginya, dia sudah siap dengan pakaian kerja yang rapi. ”Dua minggu lagi saya sudah boleh menyetir mobil sendiri,” katanya. Dia memang dilarang menyetir selama tiga bulan setelah operasi.

Dahlan tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Setelah mengalami semuanya, dia justru berpikir tentang nasib orang Indonesia yang di masa mendatang harus menjalani cangkok hati. Apalagi, menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikeluarkan bersamaan dengan peringatan Hari Peduli Hepatitis Sedunia, awal Oktober lalu, tak kurang dari 400 juta warga dunia terkena virus hepatitis B. Sekitar 12 juta di antaranya penduduk Indonesia. Ini bom waktu karena gejala sakit lever baru muncul sekitar 20 tahun setelah terjangkit. Jika tidak tertangani bisa menjadi sirosis dan kemungkinan butuh tindakan cangkok.

Transplantasi hati dengan donor dari orang yang sudah meninggal (cadaver) masih ilegal di Indonesia. Cangkok hanya bisa dilakukan dari sebagian hati orang yang dekat dengan penderita, seperti yang dialami Ulung Hara Utama. Dia mendapat sebagian hati ibunya. Ulung, 2 tahun, adalah pasien cangkok hati pertama di Indonesia di Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang. Operasi pada tahun lalu itu sukses. ”Kalau tetap dilarang, bagaimana nasib orang Indonesia? Dokter Indonesia seumur hidup tak dapat pintar di bidang itu,” kata Dahlan.

Dokter Budi Santoso, dokter spesialis anak, Koordinator Tim Cangkok Hati RS Dr. Kariadi, juga punya pendapat serupa. Menurut Budi, teknologi transplantasi hati di beberapa negara hampir sama. ”Yang membedakan adalah jam terbang dokter. Dan ini mempengaruhi kesigapan menjalankan operasi,” katanya. Dia yakin, bila diberi kesempatan, dokter-dokter di rumah sakit lain di Indonesia juga akan mampu melakukan cangkok hati.

Karena masih ada larangan menggunakan donor organ dari cadaver di sini, maka kesempatan mencangkok terbatas. Tim RS Dr Kariadi, karena keberhasilan Ulung, kini memiliki lima pasien anak calon untuk cangkok hati. Itulah yang membuat orang-orang yang mampu seperti Dahlan memilih mencari hati di negeri orang.

Bina Bektiati, Kukuh Setyo Wibowo (Surabaya), Sohirin Irin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus