BOB Geldof, penyanyi pop Inggris, yang namanya tambah terkenal karena berhasil mengkoordinasikan penyanyi-penyanyi dunia lainnya dalam sebuah konser musik untuk menolong kelaparan di Afrika, mendadak muncul ke Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris, Senin pekan ini. Gagal menemui Dubes B. Arifin, yang konon sedang berkunjung ke Dublin, Republik Irlandia, penyanyi yang karena usahanya itu dicalonkan sebagai salah seorang peraih Hadiah Nobel - tapi ternyata tak terpilih - itu tambah kecewa. Ia berang, dan bahkan sempat mengumpat. Bob Geldof datang ke Kedubes Indonesia memang berniat menyampaikan protes keras. Kepada Adi Pradana, koresponden TEMPO di London, penyanyi itu menjelaskan, protes yang tadinya akan disampaikannya, tak lain, pernyataan tak senang karena pembajakan kaset Live Aid bikinannya. "Indonesia begitu tega memanfaatkan kelaparan dan penderitaan orang-orang Afrika untuk mengeduk keuntungan," katanya berang. "Percuma saja Indonesia menyumbangkan surplus berasnya ke Etiopia yang miskin." Dengan bersungut-sungut, Bob menyatakan rasa anehnya, mengapa pemerintah Indonesia membiarkan saja perusahaan rekaman membajak kaset Live Aid rekaman konser amal di London dan Philadelphia yang sengaja disebarkan ke seluruh dunia untuk mencari dana bagi kelaparan di Afrika, khususnya Etiopia. Grup yang membantu Bob, yang menggunakan nama Badan Penyelenggara Bantuan Kelaparan untuk Etiopia, ikut pula menyatakan pendapat. "Indonesia, satu-satunya negara yang sering membajak lagu asing, tanpa malu-malu," kata seorang dari mereka. "Kalau kaset biasa, okay saja, tapi Live Aid 'kan untuk membantu orang kelaparan. Ini merisaukan." Seorang yang lain berkomentar, sekalipun kaset biasa, sudah merupakan pelanggaran. Yang satu ini malah bertanya-tanya apakah izin pembajakan itu diberikan supaya pemerintah bisa memungut pajak dari perusahaan-perusahaan rekaman. Bob Geldof mengklaim, ia katanya sudah menyelidiki semua perihal pembajakan Live Aid. Sedikit mengejutkan, ia bilang, kaset-kaset bajakan produksi Indonesia itu dijual secara besar-besaran di Eropa, Timur Tengah, dan Timur Jauh. Di Italia, kata Geldof lagi, sudah disita 10.000 kaset, dan kini razia masih berlangsung terus. Menurut perhitungan Geldof - entah bagaimana ia mengkalkulasi - pemerintah Indonesia sedikitnya sudah mendapat US$ 30.000 dari memajak kaset-kaset bajakan itu. "Ini perbuatan despicable (hina)," katanya, "dengan jumlah itu, ribuan orang Afrika tak harus mati." Protes Bob bisa memburukkan citra Indonesia di luar negeri dalam waktu singkat, sebab tampaknya akan menyulut arus protes penyanyi-penyanyi kenamaan. Bintang-bintang pop terkenal, Phil Collins dan Duran Duran, kini lagi bersiap-siap melancarkan kampanye anti pembajakan kaset Live Aid. Sementara itu, Federasi Produsen Piringan Hitam dan Video Inggris dengan cepat pula melihat peluang. Dave Laing, juru bicaranya, mengatakan, total sudah sekitar 1 juta kaset bajakan diproduksi Indonesia. Walau ia mengakui Indonesia tidak terikat pada Konvensi Bern perihal hak cipta internasional, ia mengatakan toh akan mendesak pemerintah Inggris untuk mengeluarkan semacam sanksi ekonomi. Bagi pemerintah Indonesia, persoalannya tak segampang yang diduga penyanyi-penyanyi dunia itu. Barangkali itu sebabnya seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, segera menampik tudingan Bob Geldof. "Sah tidak sahnya suatu kaset yang beredar, apakah mengandung misi kemanusiaan atau bukan, bukan urusan Direktorat Jenderal Pajak," katanya. Lebih jauh, pejabat itu menjelaskan, pemajakan kaset sebagai tanda lunas pajak pertambahan nilai dilakukan dengan menjual stiker (pita cukai) bernilai Rp 160 tiap kaset. "Ini sudah merupakan peraturan pemerintah demi kepentingan negara," katanya. Sambil balik bertanya-tanya, pejabat itu mengutarakan, dapatkah memilah-milah pita cukai hingga terhindar dari memajak barang bajakan. Pada kenyataannya, Live Aid memang dibajak ramai-ramai di Indonesia. Di hampir semua toko kaset, kita dengan mudah menemukannya dalam berbagai merk: King's Record, Bill Board, Team, Cash Box, AR, dan masih sejumlah lagi. Seorang pengusaha perusahaan rekaman mengakui, "Lebih dari sepuluh perusahaan, deh, kalau lagunya memang top." Walau ia tak bisa memberikan keterangan perihal kaset yang beredar di luar negeri, pengusaha yang tak mau disebutkan namanya itu memperkirakan di seluruh Indonesia Live Aid bajakan mencapai 300.000 kaset. Erwin Harahap, seorang pengurus asosiasi produsen kaset, mengutarakan pembajakan kaset asing sudah merupakan tradisi. "Dari segi hukumnya kita belum anggota Konvensi Bern, dan keadaan itu dimanfaatkan sejumlah pengusaha untuk memproduksi kaset tidak bayar," katanya. Soal pembajakan Live Aid, Erwin merasa tak bisa berbuat banyak, bahkan soal moral tadinya pun tidak terpikir. Memang, para pembeli pun barangkali tidak. Tapi kini, setelah protes Bob, ada baiknya Live Aid didengarkan lagi. "We are the world," ujar sebuah lagunya, "We are the children." Dan kita bisa menikmati lagunya. Tapi mengapa kita bajak kasetnya, kita nikmati pajaknya? Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini