Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Antara Pungli dan Korupsi

Bupati Aceh Selatan dituduh memungut uang liar 266 orang calon pegawai negeri.

14 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK pagi ribuan orang, dari pejabat-pejabat teras di Kantor Gubernur sampai ke abang-abang becak, menjejali gedung pengadilan. Pengadilan Negeri Banda Aceh, Kamis pekan lalu, bagai mengadakan hajatan besar: mengadili Bupati Aceh Selatan, Ridwansyah, dalam perkara korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ridwansyah, 44, tamatan Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, diseret Jaksa Abdurrahman ke meja hijau dengan tuduhan memungut uang secara "liar" atau pungli dari sekitar 266 orang calon pegawai negeri ketika ia menjabat Kepala Biro Kepegawaian pada Setwilda Istimewa Aceh, sejak 1980 sampai 1983.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari para calon pegawai pemerintah daerah itu, kata Jaksa, Ridwansyah menarik pungutan Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu, yang semuanya diperkirakan meliputi jumlah Rp 62 juta. Duduk perkaranya, tutur Jaksa, begini. Melalui surat kawat Menteri Dalam Negeri dan Surat Keputusan Gubernur, dibuka kesempatan bagi pegawai honorer di daerah untuk dikukuhkan menjadi pegawai negeri melalui proses pemutihan.

Di situ juga dicantumkan bahwa formulir daftar isian data pegawai untuk pemutihan itu hanya bisa diisi oleh orang-orang yang sudah berstatus pegawai honorer daerah. Ternyata, Ridwansyah, selaku Kepala Biro Kepegawaian dan Sekretaris Panitia Pemutihan, bersama stafnya, T. Rusdi, memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadinya. Ia, tuduh Jaksa, telah memberikan formulir-formulir tadi kepada pelamar yang bukan pegawai honorer daerah.

Tentu saja dengan imbalan uang. Akibatnya, pegawai yang benar-benar berhak tidak mendapat kesempatan untuk diangkat menjadi pegawai negeri. Untuk itu, mula-mula, Ridwansyah mendapat "hukuman disiplin" dari Gubernur, 9 Februari lalu. Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa kenaikan pangkatnya ditunda selama setahun. Setelah itu, 30 Oktober lalu, ia dibebaskan sementara dari jabatan bupati.

Sebagai penggantinya, Gubernur menunjuk Zainal Abidin, dari Kantor Gubernur Aceh, dengan status pejabat sementara. Menurut sumber TEMPO, sebenarnya perbuatan Ridwansyah sudah diketahui sejak ia belum diangkat sebagai bupati, 1983. Yaitu ketika beberapa orang dari calon pegawai negeri yang terkena "pungli", ternyata, gagal diangkat. Para calon yang gagal itu, di antaranya Ernawati dan Nurmainah, mengadu ke Kantor Gubernur.

Tapi persoalan itu bisa diselesaikan Sekwilda Aceh, waktu itu, Ayub Yusuf dengan mengembalikan uang kedua gadis itu Rp 600.000. Namun, masih banyak calon lain yang juga gagal menjadi pegawai negeri. Sebab itu, kata sumber tadi, Ridwansyah disponsori seorang pejabat teras di Kantor Gubernur untuk menduduki jabatan sebagai bupati di Aceh Selatan. Diharapkan, dengan jabatan barunya itu, Ridwansyah bisa mengembalikan uang para korban.

Sementara itu, stafnya, Rusdi, dimutasikan ke Perwakilan Provinsi Aceh di Jakarta, dengan tujuan bisa mengurus pengangkatan calon-calon pegawai itu di Pusat. Ternyata, tutur sumber itu, Ridwansyah, walau sudah menjadi bupati, tetap tidak bisa mengembalikan uang para korban. Rusdi juga tidak berhasil menggolkan calon-calon itu menjadi pegawai negeri. "Ridwansyah malah kesulitan uang karena ia harus memberi upeti kepada pejabat yang mengorbitkannya itu," tambah sumber itu.

Belakangan, rupanya, hubungan Ridwansyah dengan "bapak angkat"-nya itu pun renggang. Konon, gara-gara ia tidak lagi memenuhi kewajibannya membayar upeti. Si bapak angkat rupanya membocorkan rahasia Ridwansyah ke Pusat. Itulah sebabnya, akhirnya Ridwansyah harus ke meja hijau. "Keterlambatan" perkara itu disidangkan - sampai Ridwansyah diangkat sebagai bupati - disesalkan berbagai pihak.

Anggota DPRD Aceh, Usmanuddin, misalnya berkata, "Sekarang, sebagai kepala daerah, 'kan menjadi aib bagi Pemda untuk menyeretnya ke pengadilan." Padahal, katanya, "Seseorang yang akan menjadi kepala daerah perlu 'tanda bersih diri'. Dan, dengan lolosnya ia dari proses, berarti ia sudah lulus. Jadi, kalau memang ia tersangkut perkara korupsi, kenapa tidak dari waktu itu dipersoalkan." Ridwansyah tidak banyak komentar mengenai perkaranya itu.

Pengacaranya, Nasrullah, mengatakan bahwa kasus itu bukan menjadi tanggung jawab Biro Kepegawaian, tapi Panitia Pemutihan. "Seharusnya ketua panitia, Sekwilda Aceh, yang bertanggung jawab. Sebab, Ridwansyah hanya sekretaris," ujar Nasrullah. Sebab itu, ia curiga perkara itu hanyalah permainan politik untuk menjatuhkan sang bupati. Putusan pengadilan nanti yang akan membuktikan pada tempatnyakah kecurigaan Nasrullah. Karni Ilyas Laporan Makmun Al-Mudjahid

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Antara Pungli dan Korupsi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus