BISA jadi ini pertanda kebangkitan nasionalisme di Uni Soviet, negeri yang dihuni sekitar 285 juta manusia, yang terdiri dari 100 kelompok bangsa. Pertama kali dalam sejarah Soviet muncul demonstrasi besar-besaran di tiga tempat: Yerevan, ibu kota Republik Soviet Armenia, lalu di Stepanakert, ibu kota daerah Nagorno-Karabakh, dan di Sumgait, kota industri di Republik Soviet Azerbaijan. Untuk pertama kali pula Moskow, Jumat pekan lalu mengakui, 31 orang meninggal akibat kerusuhan di Sumgait, yang meledak di Minggu, 28 Februari. Semua huru-hara tersebut merupakan rentetan sambung-menyambung sejak pertengahan bulan lalu. Mula-mula di Yerevan muncul demonstrasi damai warga Armenia. Disusul demonstrasi di Stepanakert, 180 km di timur Yerevan. Di dua tempat itu massa menuntut hal yang sama: "Kembalikan wilayah Nagorno-Karabakh." Daerah yang disebut-sebut itu dulunya termasuk kawasan Armenia, lalu pada 1923 pemerintah Soviet memasukkannya dalam wilayah Republik Azerbaijan. Padahal tiga perempat penduduknya keturunan orang Armenia beragama Kristen, sementara orang-orang Azerbaijan pemeluk Islam. Sampai Jumat dua pekan lalu gelombang demonstrasi itu berjalan aman. Bentrokan fisik boleh dibilang tak ada. Tapi dua pekan terakhir aksi-aksi itu melibatkan ratusan ribu orang. Jumat dua pekan lalu dikabarkan demonstrasi di Yerevan dan Stepanaert mereda sudah, setelah utusan dari Moskow muncul di Yerevan. Menurut saksi mata, dua orang meninggal dalam aksi di Yerevan. Dan, di hari Minggu, 28 Februari, di Sumgait ganti orang-orang Azerbaijan melancarkan protes, dengan cara lebih keras. Menurut kantor berita Reuters, seorang saksi mata menceritakan bahwa huru-hara di Sumgait disertai pembunuhan, perampokan, dan perkosaan terhadap orang keturunan Armenia. Gennady Gerasimov, juru bicara kementerian luar negeri Uni Soviet, tak menolak ketika peristiwa berdarah itu disebut sebagai reaksi orang Azerbaijan terhadap aksi jalanan orang Armenia sebelumnya. Kerusuhan itu mereda setelah tentara turun ke jalan-jalan, kata saksi mata itu. Dan 31 orang mati, sekitar 300 luka-luka. Sejumlah orang yang dituduh sebagai biang keladinya juga sudah diciduk. Para pengamat politik menyimpulkan, peristiwa ini sebagai tantangan paling serius dalam riwayat politik rezim komunis Uni Soviet. Sebab, sebelumnya tak pernah terjadi gelombang demonstrasi demikian besar dan berani di negeri tirai besi itu. Sebenarnya, kehidupan bertetangga antara orang Armenia dan Azerbaijan sudah diwarnai oleh rasialisme cukup lama. Yakni sejak Revolusi Komunis menumbangkan kekuasaan Tsar di Moskow, pada tahun 1916. Yang lalu disusul, itu tadi, pada 1923 wilayah Nagorno-Karabakh secara administratif dimasukkan ke dalam wilayah Republik Azerbaijan. Bahwa mayoritas warga Nagorno-Karabakh yang keturunan Armenia sebenarnya tak ingin berbaur dengan orang Azerbaijan, bisa dilihat dari suasana sehari-hari di wilayah itu. Orang-orang Armenia tetap mempertahankan kultur mereka yang berbeda dengan orang Azerbaijan. Tapi kenapa baru sekarang orang Armenia menuntut kembali Nagorno-Karabakh? Bukankah sudah lama dirasakan bahwa di Nagorno-Karabakh orang Armenia dianaktirikan oleh pemerintah Azerbaijan? Mungkinkah ini pertanda munculnya nasionalisme di negeri tirai besi itu? Salah satu bunyi tuntutan para demonstran, "Satu bangsa, satu republik." Tampaknya glasnost -- politik keterbukaan yang diterapkan Mikhail Gorbachev tiga tahun lalu -- secara tak langsung menyulut keberanian orang-orang itu. Glasnost, seperti kata Gorbachev dalam berbagai kesempatan, berarti pembenan kebebasan lebih luas bagi rakyat untuk berbicara dan menyampaikan tuntutan. Dan pemerintah tak akan bertindak sebagai polisi untuk mengatasi persoalan dalam negeri, katanya. Bahkan dalam pertemuan Komite Sentral PKUS di Moskow pertengahan bulan lalu, menjelang meledaknya demonstrasi orang Armenia, Gorbachev menekankan, "Uni Soviet mengikuti kebijaksanaan nasional Lenin." Yakni menjunjung tinggi martabat, kehormatan, kebudayaan, bahasa, dan sejarah setiap bangsa. Glasnost itulah yang rupanya memberi alternatlf. Selama ini di negeri tirai besi ini tak ada lembaga lain sebagai pilihan selain PKUS. Tak seperti di Polandia, misalnya, yang Gereja Katoliknya tetap berdiri independen, dan karenanya bisa menjadi alternatif. Sebelum kerusuhan Armenia-Azerbaijan ini pun, di masa setelah ada glasnost telah muncul pula beberapa protes. Di bulan Desember 1986 ribuan rakyat berdemonstrasi di Alma Ata, ibu kota Republik Soviet Kazakhtan, gara-gara Moskow mengangkat seorang Rusia sebagai sekretaris satu partai komunis setempat. Selama ini sekretaris satu selalu dipegang oleh warga asli setempat, sementara orang Rusia hanya menduduki sekretaris dua. Namun, sekretaris dua itulah yang punya hak berhubungan langsung dengan Moskow. Seperti diketahui kelompok bangsa Rusia memang menjadi mayoritas di Soviet, dan mendominasi kehidupan sosial politik. Dibandingkan dengan protes-protes sebelumnya, bentrok antara orang Armenia dan Azerbaijan yang tak sedikit pun memperotes dominasi kelompok Rusia, merupakan protes baru. Gorbachev dan glasnost-nya memang sedang diuji. Praginanto, riset oleh Choirul A. (perpustakaan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini