Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN yang mengelilingi alun-alun Qalat Erbil di pusat Kota Erbil, Kurdistan Irak, dibanjiri ratusan mobil dan manusia. Musik berdentam-dentam, orang menari-nari. Para pemuda berdiri di atap-atap gedung dan mobil. Mereka mengibaskan bendera-bendera merah-putih-hijau dengan matahari kuning di tengahnya- bendera Kurdistan, negara yang mereka impikan.
Di Kirkuk, kota kaya minyak di sebelah selatan Erbil, orang-orang dengan baju warna-warni juga berpesta merayakan referendum kemerdekaan negeri itu. "Ini hari terbaik dalam hidup saya," kata Abdul Karim Karakash, pandai besi berusia 62 tahun.
"Saya berharap Barat akan melihat ini sebagai hari bersejarah dan bukan cuma proyek satu partai. Ini lebih dari itu," ujar Mala Rasul Mamis, adik Abdul berusia 40 tahun. "Begitu banyak darah kami tumpah untuk menjadi Kurdi. Pemerintah Irak telah memperlakukan kami dengan hal-hal yang bahkan orang kafir pun tak lakukan."
Kembang-kembang api dilontarkan ke udara Erbil. Semuanya meledak di langit kota yang beranjak kelam setelah kotak-kotak suara referendum resmi ditutup pada Senin pekan lalu. Bangsa Kurdi sedang menulis di halaman baru kitab sejarah mereka.
"Selamat tinggal, Irak! Selamat tinggal!" teriak anak-anak muda di atap mobil itu dengan penuh semangat.
Dua hari kemudian, hasil referendum yang diselenggarakan Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) itu diumumkan: 92 persen rakyat Kurdi memilih "ya" untuk merdeka dari Bagdad. Dunia pun terguncang. Irak dan Amerika Serikat menolak referendum yang diikuti sekitar lima juta orang itu. Turki menuntut Bagdad mengambil "semua langkah yang diperlukan" untuk menjaga kesatuan negeri tersebut.
Parlemen Irak meminta Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi menerjunkan pasukan ke Kirkuk, salah satu daerah sengketa yang dikuasai Kurdi tapi diklaim Bagdad, dan semua ladang minyak di Kurdistan Irak.
Perdana Menteri Abadi belum menunjukkan keinginannya untuk memenuhi harapan parlemen. "Tak ada perang antar-rakyat negeri ini," ucapnya Rabu pekan lalu. Tapi dia mengirim delegasi dari militer Irak ke Iran untuk mengkoordinasikan langkah-langkah militer.
Abadi juga menjatuhkan ultimatum kepada Kurdistan agar menyerahkan dua bandar udara internasional, Erbil dan Sulaimaniyah, di Kurdistan atau akan menutupnya sama sekali. Otoritas penerbangan Irak kemudian memberi tahu maskapai-maskapai penerbangan asing bahwa pemerintah membatalkan semua izin keberangkatan dan pendaratan di dua bandara internasional Kurdi sejak Jumat sore.
Tapi Pemerintah Regional Kurdistan menolak menyerahkan bandar udara itu. Menteri Transportasi Kurdistan Mowlud Murad mengatakan ultimatum itu politis dan ilegal. "Dua bandar udara itu tidak melanggar hukum, dan keputusan apa pun yang dikeluarkan Otoritas Penerbangan Sipil Federal," katanya.
Menurut Murad, bandar udara itu penting bagi pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat untuk melawan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Peshmerga, pasukan Kurdistan, adalah pendukung utama koalisi dalam memerangi ISIS. "Kami siap menerapkan keputusan Otoritas Penerbangan Sipil. Tapi, jika keputusan pemerintah Irak ini sebuah hukuman yang berkaitan dengan referendum, perundingan tak akan berjalan," ujarnya. Murad mengatakan pemerintah Kurdistan setuju untuk berunding mengenai penempatan pengawas dari pemerintah Irak di bandar udara mereka.
Belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Irak. Tapi, di depan parlemen, Abadi menyatakan Irak tak akan berunding kecuali Kurdistan membatalkan hasil referendum. Dia memperingatkan Kurdistan terhadap konsekuensi dari krisis ini. "Menjaga keamanan rakyat negeri ini adalah prioritas kita," tuturnya.
Sejak Rabu pekan lalu, sedikitnya enam maskapai- tiga maskapai Turki, Middle East Airlines punya Libanon, Royal Jordanian, dan Egypt Air- mulai mengumumkan kepada calon penumpangnya mengenai pembatalan penerbangan dari Erbil dan Sulaimaniyah.
Impian untuk mendirikan negara sendiri sudah lama muncul di benak rakyat Kurdistan. Nenek moyang mereka telah memproklamasikan berdirinya Republik Kurdistan pada 22 Januari1946, yang diinisiasi oleh Partai Demokratik Kurdistan (KDP), partai nasionalis yang dominan hingga kini di kawasan Kurdistan Irak. Saat itu, Ghazi Mohammad, pemimpin KDP, mengangkat sumpah di atas kitab suci Al-Quran serta peta dan bendera Kurdistan.
Menurut peta itu, wilayah Republik Kurdistan meliputi Kurdistan Selatan (kini wilayah Kurdistan Irak), Kurdistan Utara (bagian tenggara Turki), Kurdistan Barat (bagian timur Suriah), dan Kurdistan Timur (bagian barat Iran). Pada Perang Dunia II, tentara Kurdistan bahkan menguasai wilayah-wilayah tersebut. Sekarang pun orang-orang Kurdi tersebar di Turki (sekitar 14 juta orang), Iran (6,7 juta), Irak (5,7 juta), dan Suriah (2 juta), sehingga total populasi mereka diperkirakan 28 juta jiwa. Ini belum termasuk diaspora Kurdi di seluruh dunia, sekitar 1,5 juta orang, yang separuhnya ada di Jerman.
Republik Kurdistan adalah pemerintah de facto di sana, tapi belum ada pengakuan nasional ataupun internasional terhadapnya. Kalau kemerdekaan Kurdistan melalui referendum sekarang diakui, dikhawatirkan mereka akan mengklaim wilayah-wilayah tersebut. Itu sebabnya negara-negara tetangga Irak menuntut Bagdad buru-buru membereskan urusan ini.
Kurdi punya pengalaman traumatis terhadap Iran dan Irak. Di masa kepemimpinan Reza Shah di Iran, etnis Kurdi ditekan. Masa pemerintahan Presiden Saddam Hussein dan Partai Baath di Irak adalah puncaknya. Pada mulanya Saddam melarang apa pun yang berhubungan dengan budaya dan identitas Kurdi, lalu perintah itu berujung pada pembersihan.
Pada 1983, sebanyak 8.000 orang Barzani di gurun pasir Irak selatan dijemput dari rumahnya dan tak pernah pulang. Suku Barzani setia pada gerakan nasionalis Kurdi serta aktif mendukung melalui politik dan operasi militer. Sebulan kemudian, Saddam berpidato di hadapan sejumlah orang Kurdi dan menyatakan tak ada orang yang dapat melawannya. Dia mengatakan orang Kurdi sudah dihukum dan akhirnya mereka "pergi ke neraka".
Pada 1988, Saddam menggelar kampanye Anfal. Ribuan tentara Irak menyerbu Kurdistan. Selama delapan bulan, serangan itu diperkirakan telah mengakibatkan 15 ribu orang tewas, 180 ribu orang hilang, serta 1.000 orang mengungsi ke Iran dan Turki. Selain itu, 2.400 lebih desa hancur dan 2.000-an masjid rusak.
Di tengah penyerbuan itu, setelah Maret 1988, Kota Halabja dikepung. Mula-mula, pasukan Saddam menembakkan bom-bom napalm bersama bom dan artileri konvensional ke kota yang sudah lumpuh itu. Tapi akhirnya bom gas dilepas. Sebanyak 5.000 orang tewas dan 15 ribu orang cedera dalam serangan itu. Pengadilan Tinggi Irak dalam sidangnya kemudian memastikan serangan itu adalah genosida yang memakai senjata kimia terlarang. Kenangan-kenangan mengerikan itu mungkin telah menyatukan sikap masyarakat Kurdistan terhadap Irak.
Pemerintahan Kurdistan kini dikuasai dua partai besar, KDP pimpinan Masoud Mustafa al-Barzani dan Uni Kurdistan Patriotik (PUK) pimpinan Jalal Talabani. Barzani, penggagas referendum itu, paham bahwa ada dua mekanisme dalam proses keadilan transisi: amnesti dan pengungkapan kebenaran. Ketika menjadi Presiden Kurdistan, Barzani mengumumkan amnesti untuk 470 ribu orang Kurdi yang berkolaborasi dengan rezim Saddam, termasuk mengizinkan dua tentara Irak meninggalkan Kurdistan dan pulang ke rumah masing-masing. Langkah ini telah memperkuat dasar lahirnya Kurdistan Raya. Tanpa pengampunan, lingkaran setan kekerasan tak akan berhenti di sana.
Pada 2005, Irak menulis konstitusi baru. Kali ini mereka mengakui Kurdistan dan memberikan kawasan otonomi bagi Kurdi di Irak utara. Selama bertahun-tahun kemudian, Kurdistan mengendalikan perbatasan mereka sendiri dengan Turki dan Suriah.
Kini Kurdistan melangkah lebih jauh dengan menggelar referendum. Rakyatnya mendukung penuh kemerdekaan negeri itu. Tapi Kurdistan terlalu strategis dan kaya untuk dilepaskan oleh Bagdad.
Sejak mendapat status otonomi de facto pada awal 1990-an ketika Amerika Serikat menerapkan larangan terbang di Irak, Kurdistan punya waktu banyak untuk membangun pemerintahan dan militer yang stabil. Kini 80 persen pendapatan pemerintahan Kurdistan bersumber dari minyak. Sekitar 600 ribu barel minyak per hari mereka ekspor lewat pipa melalui Turki menuju pelabuhan Ceyhan. "Minyak adalah sumber utama pendapatan wilayah ini. Maka ekonomi KRG bergantung pada pipa yang menjual minyak ke pasar internasional dan pipa yang melintasi Turki. Anda tutup pipa itu, Anda mencekik ekonomi Kurdi," kata Bilal Wahab, analis Washington Institute for Near East Policy, kepada The Atlantic.
Dan Turki salah satu negara yang paling keras menentang referendum Kurdi. Negeri itu khawatir hal tersebut akan memicu gerakan separatisme di kalangan Kurdi di sana. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut referendum itu "pengkhianatan" dan menegaskan bahwa daerah tersebut tak akan mendapat makanan dan pakaian jika sanksi dijatuhkan kepada Kurdistan.
Jalan masih panjang bagi Kurdistan untuk menjadi sebuah negara. Selain dukungan dari negara-negara tetangga, mereka butuh pengakuan internasional. Yang jelas, setelah ISIS berakhir, Kurdistan menjadi masalah baru yang harus segera diselesaikan negara-negara Timur Tengah.
Kurniawan (middle East Eye, The Guardian, Middle East Monitor, New York Times, The Atlantic)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo