Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Duit Elektronik Memantik Polemik

Bank Indonesia mempercepat penerapan Gerbang Pembayaran Nasional. Biaya isi ulang duit plastik menuai penolakan.

2 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Duit Elektronik Memantik Polemik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan terakhir, Direktur Eksekutif Kepala Program Sistem Pembayaran Nasional Pusat Program Transformasi Bank Indonesia Aribowo harus mengunjungi sejumlah tempat. Agenda dan tujuannya sama, yakni menjelaskan perihal adanya pungutan dalam penambahan saldo (top up) uang elektronik yang harus ditanggung konsumen.

Rabu pekan lalu, Aribowo memaparkan soal ini di hadapan anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Sebelumnya, hampir setiap hari dia bersafari ke sejumlah kantor media massa, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional. "Saya sampai sakit karena agenda pekerjaan juga padat," katanya saat ditemui di kantornya, Kamis pekan lalu.

Agenda tambahan yang harus dijalani Aribowo sepanjang akhir September itu merupakan buntut dari terbitnya Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Bank Indonesia tentang Gerbang Pembayaran Nasional atau National Payment Gateway pada 20 September lalu. Aturan ini menetapkan mekanisme bagi pengguna ataupun penyelenggara transaksi nontunai. Termasuk mengenai skema harga dan pungutan. Hal terakhir inilah yang memantik kontroversi.

Dua pekan sebelum PADG Nomor 19 tersebut diterbitkan, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan bakal mengatur biaya pengisian ulang saldo uang elektronik. Pernyataan Agus merespons rencana pemerintah yang akan memberlakukan transaksi nontunai di seluruh ruas jalan tol pada 1 Oktober 2017. Keberadaan biaya ini, menurut Agus, sebagai insentif buat perbankan agar dapat memperbanyak infrastruktur transaksi uang elektronik.

Penolakan muncul di mana-mana. Pada 18 September lalu, misalnya, David Marutum Lumban Tobing, yang berprofesi pengacara, melaporkan Agus Martowardojo kepada Ombudsman. Dalam laporannya, David meminta Ombudsman memberikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk membatalkan rencana penerbitan aturan biaya isi ulang saldo kartu uang elektronik dan melindungi hak konsumen untuk melakukan transaksi menggunakan uang pecahan kertas ataupun logam.

Laporan David inilah yang membuat Aribowo datang ke kantor Ombudsman dan sejumlah lembaga lain. Dalam pertemuan tertutup selama hampir empat jam di kantor ORI, Aribowo didampingi Deputi Direktur Program Sistem Pembayaran Nasional Pusat Program Transformasi BI Donanto Wibowo. Perwakilan sejumlah operator jalan tol, Badan Pengurus Jalan Tol, hingga wakil bank yang terlibat dalam sistem pembayaran nontunai hadir di sana.

Aribowo menilai dilaporkannya BI ke Ombudsman keliru. Soalnya, kewajiban penggunaan transaksi nontunai di jalan tol bukan dikeluarkan bank sentral, melainkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Kepada anggota ORI, Aribowo menjelaskan, penetapan biaya isi ulang saldo itu hanya sebagian kecil dari kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional. "Momentumnya adalah pemberlakuan transaksi nontunai di jalan tol."

Meski disoroti banyak lembaga, bank sentral tetap menetapkan batas atas biaya top up saldo uang elektronik. BI menetapkan dua jenis transaksi top up uang plastik, yakni on us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu) dan off us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda atau mitra). Tarif isi ulang on us hanya dipungut untuk pembayaran di atas Rp 200 ribu. Besarnya Rp 750. Adapun tarif maksimal untuk isi ulang off us senilai Rp 1.500.

Aribowo memaparkan, sebelum ada aturan ini, konsumen sudah dikenai biaya isi ulang saldo. Nilainya berkisar Rp 1.500-6.500. Pasalnya, tanpa aturan pembayaran terpadu, bank menganggap pengisian saldo kartu uang elektronik sama dengan transfer antarbank. "Justru dengan adanya aturan ini biaya jadi lebih murah."

l l l

RIBUT-ribut biaya isi ulang itu terjadi di tengah upaya bank sentral menerapkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Sistem pembayaran ini bukan barang baru. Kajian menyusun ekosistem pembayaran yang lebih efisien itu sudah dimulai satu dasawarsa lalu. Tahun lalu, Bank Indonesia membahas aturan GPN bersama pelaku industri dan pemegang kepentingan lain. Tepatnya setelah Presiden Joko Widodo berpesan agar ekonomi digital lebih tertata sehingga transaksi online meningkat.

Puncaknya, dalam rapat terbatas kabinet April lalu, Jokowi meminta secara spesifik seluruh transaksi di jalan tol dilakukan secara nontunai. Bank Indonesia-yang berencana menerapkan GPN pada awal 2018-akhirnya mempercepat langkah itu pada Oktober ini.

Kalangan perbankan mendukung program tersebut. Bank Mandiri, yang punya kontrak eksklusif transaksi elektronik dengan Jasa Marga hingga tahun depan, harus berkorban. Bank pelat merah itu diminta membuka kesempatan agar kartu elektronik bank lain bisa ikut digunakan di seluruh ruas tol. "Kami legowo. Ini program pemerintah," ujar Senior Vice President Transaction Retail Banking SalesBank Mandiri Thomas Wahyudi, Kamis pekan lalu. Dia mengatakan GPN membuat bank saling berbagi infrastruktur pembayaran nontunai. "Kami membuka aksesibilitas lebih luas bagi nasabah."

Thomas menjelaskan, kalangan perbankan sepakat GPN dijalankan tahun ini karena manfaatnya akan terasa dalam jangka panjang. "Jika ditunda-tunda, kita akan ketinggalan," katanya. Manfaat yang dimaksud Thomas adalah terwujudnya masyarakat nontunai (cashless society). Tujuannya agar peredaran uang tunai bisa lebih rendah. "Ini bagus buat industri keuangan karena biaya handling uang tunai itu sangat mahal dan rumit," ujar Thomas.

Meski penerapannya dimajukan, pembahasan sistem GPN sebetulnya tak selalu berlangsung mulus. Penyebabnya sistem ini akan mengintegrasikan aneka lembaga keuangan tempat pembeli dan penjual menyimpan dana. Ruang lingkupnya pun, menurut Aribowo, bukan sekadar transaksi e-commerce, tapi melingkupi semua sistem pembayaran elektronik. Melalui GPN, masyarakat bisa membayar tagihan listrik atau telepon melalui satu alat pembayaran dengan lokasi pembayaran yang fleksibel.

Salah satu tarik-ulur yang terjadi adalah ketika Bank Indonesia hendak menentukan model switching (penggunaan kartu anjungan tunai mandiri/ATM di gerai ATM bank berbeda) yang digunakan dalam Gerbang Pembayaran Nasional. Switching salah satu aspek yang diatur dalam GPN, bersama otorisasi (persetujuan bank atas suatu transaksi) dan kliring (perpindahan dana dari satu akun ke akun lain).

Untuk aspek switching, BI dihadapkan pada sejumlah pilihan: menunjuk satu operator untuk meleburkan perusahaan switching, membuat super-switch, menerapkan model hub and spoke dengan satu pemain sebagai penghubung, atau mendirikan sebuah lembaga yang mengatur koneksi di antara pelaku bisnis sistem pembayaran. Dari pelbagai pilihan itu, BI memilih model interkoneksi dan interoperabilitas. "Untuk bisa interkoneksi, interoperabilitas harus tercapai," kata Aribowo. Nantinya akan ada lembaga switching principal yang memastikan interoperabilitas antarperusahaan switching berjalan sehingga interkoneksi hidup.

Saat ini setidaknya ada beberapa perusahaan switching lokal, seperti ATM Bersama, Alto, Prima, dan Link. Selama ini mereka menangani lalu lintas transaksi di ATM dan kartu debit. Sejak 2013, para perusahaan switching ini sudah terkoneksi. Interkoneksi antarperusahaan ini membuat nasabah bank bisa mengirimkan dana ke rekening di bank lain atau melakukan pembayaran menggunakan kartu debit di mesin electronic data capture (EDC) milik bank berbeda.

Direktur Strategi Korporat dan Pengembangan PT Rintis Sejahtera (Jaringan Prima) Abraham J. Adriaansz mengatakan, meski transaksi di ATM dan kartu debit terkoneksi sejak empat tahun lalu, biayanya masih mahal. Biaya yang dimaksud adalah merchant discount rate (MDR), yang harus dibayarkan pemilik usaha yang menggunakan mesin EDC untuk bertransaksi. Besaran MDR adalah 1,6-2,5 persen dari setiap nilai transaksi. "Secara tidak langsung MDR ditanggung oleh konsumen yang bertransaksi menggunakan kartu debit meski yang membayar MDR adalah pemilik usaha," ujar Abraham.

Biasanya, kata Abraham, pemilik usaha akan membebankan biaya MDR dengan cara menaikkan harga jual. Dengan diterapkannya Gerbang Pembayaran Nasional, beban MDR menjadi berkurang. Bank Indonesia membatasi maksimal 1 persen jika transaksi dilakukan off us dan 0,5 persen jika dilakukan on us.

Penurunan biaya MDR, menurut Direktur Bank Central Asia Santoso, bisa tercapai karena-dengan adanya GPN-transaksi elektronik tak lagi diproses di luar negeri. Tapi, kata dia, agar proses transaksi interkoneksi dan interoperabilitas berjalan baik perlu ada principal. Selama ini principal yang ada di Indonesia kebanyakan perusahaan asing, yakni Visa dan MasterCard. "Karena bank harus bayar principal dalam mata uang asing, terjadi devisa keluar," ujar Santoso. Itu sebabnya, dengan diproses di dalam negeri akan terjadi efisiensi lebih baik.

Peran principal, kata Santoso, pada akhirnya bisa digantikan oleh tiga fungsi baru, yakni switching, lembaga standar yang akan dibentuk Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, dan lembaga servis yang sahamnya dimiliki bersama oleh perusahaan switching dan bank kategori Buku 4. Dalam PADG BI tentang Gerbang Pembayaran Nasional disebutkan perusahaan switching yang terlibat minimal 80 persen sahamnya harus dimiliki warga negara Indonesia. "Ini membuat Visa dan MasterCard berada di luar sistem."

Visa mulai membangun sistem lokal. Sistem ini belum tersertifikasi sehingga belum beroperasi. Sebaliknya, menurut Santoso, ada keengganan dari MasterCard mengikuti sistem tersebut. Perusahaan asal New York, Amerika Serikat, ini gencar melobi bank sentral untuk menunda penerapan GPN. Isu ini, kata Santoso, mencuat pertama kali menjelang Idul Fitri lalu. "Beberapa teman di regulator sampai tidak berlebaran." Bank sentral menyampaikan sejumlah pernyataan, tapi menolak dikutip.

Dihubungi pada Jumat pekan lalu, MasterCard Indonesia belum memberikan tanggapan. Direktur MasterCard Indonesia Tommy Singgih tengah berada di luar negeri. "Pertanyaan sudah kami sampaikan, tapi kami tidak mengetahui jadwal Bapak di luar negeri dan kapan bisa membalas," kata Dini Arista, konsultan public relations Weber Shandwick, perusahaan yang selama ini menjadi firma komunikasi eksternal MasterCard.

Praga Utama, Khairul Anam, Ayu Primasandi


Kian Masif Uang Plastik

PENGGUNAAN uang elektronik semakin masif, terutama sebagai alat pembayaran jasa transportasi, seperti Transjakarta, Commuter Line, dan jalan tol. Tak aneh bila kebijakan Bank Indonesia mematok biaya isi ulang uang plastik menuai penolakan. Lewat Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 10 Tahun 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional, salah satu pasal dalam regulasi ini mengatur skema biaya isi ulang elektronik.

Tak sedikit yang menuding kebijakan ini justru menghambat realisasi masyarakat nontunai (cashless society). Sementara itu, Bank Indonesia berdalih biaya top up merupakan ikhtiar bank sentral melindungi konsumen. Alasan lain: agar perbankan bisa meningkatkan layanan sehingga kartu dari beragam penerbit bisa terbaca di semua kanal dan saling terkoneksi. Ini semua bagian dari misi mewujudkan Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway).

Skema Harga Top Up Uang Elektronik

Sebelum Diatur
Via TransjakartaRp 2.000
Via mitra seperti Indomaret/Alfamart Rp 1.000-2.000
Via ATM beda penerbitRp 6.500

Setelah Diatur
Sesama bank penerbit: sampai Rp 200 ribu Rp 0
di atas Rp 200 ribu Rp 0-750
Beda bank penerbit dan mitra Rp 0-1.500

Transaksi Uang Elektronik Beredar (Rp triliun)
2013: 2,9
2014: 3,3
2015: 5,2
2016: 7,06
2017: 0,79

Jumlah Uang Elektronik Beredar (juta kartu)
2013: 36,2
2014: 35,7
2015: 34,3
2016: 51,2
2017: 68,8
*) Per Agustus

Infrastruktur Uang Elektronik (mesin reader)
2013: 139.157
2014: 206.826
2015: 281.988
2016: 374.861
2017: 454.346

Skema Interkoneksi

Bank Indonesia memilih model interkoneksi antar-switch sebagai model pemrosesan yang paling sesuai dengan kondisi sistem pembayaran di Tanah Air.

Ekosistem Sistem Pembayaran Nasional

Instrumen SP Retail
Kartu ATM + debit 138 juta
Kartu kredit 17,5 juta
Uang elektronik 53 juta

Penyelenggara Transfer Dana
111 Penyelenggara Transfer Dana Bukan Bank

Principal

Kartu kredit
5 (Amex, JCB, MasterCard, Visa, UP)

Kartu debit
6 (ATM Bersama, Alto, Prima, MasterCard, Visa, UP)

Kartu ATM
6 (ATM Bersama, Alto, Prima, MasterCard, Visa, UP)

Acquirer
Kartu kredit 13

Kartu debit 18
Kliring: Antarbank Nasional Bank Indonesia (Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia/SKNBI)

Kartu kredit
3 (JCB, MasterCard, Visa)

Kartu debit
5 (ATM Bersama, Prima, MasterCard, Visa)

Kartu ATM
5 (ATM Bersama, Alto, Prima, MasterCard, Visa)

Penyelenggara Kliring & Settlement

Settlement: Antarbank nasional Bank Indonesia (BI-RTGS)

Kartu kredit
4 (JCB, MasterCard, Visa, Prima)

Kartu debit
5 (ATM Bersama, Alto, Prima, MasterCard, Visa)

Kartu ATM
5 (ATM Bersama, Alto, Prima, MasterCard, Visa)

Infrastruktur

Anjungan tunai mandiri (ATM) 102 ribu

Mesin EDC 1,09 juta

Penerbit
Kartu ATM/debit 111
Kartu kredit 24
Uang elektronik 20

Anggota Penyelenggara Kliring dan Settlement
SKNBI 138
BI-RTGS 145
BI-SSSS 176

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus