Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISARIS Jenderal Syafruddin mendapat perintah tambahan ketika tengah berkunjung ke Sumatera Utara. Semula, Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu diutus Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian untuk mengikuti Kongres Adat Batak di Parapat, wilayah di dekat Danau Toba. Tapi, begitu dia tiba di Parapat, Jumat tengah malam dua pekan lalu, Tito tiba-tiba meneleponnya. "Pak, tolong kejadian di Tanjungbalai ditangani," kata Syafruddin menirukan perintah Tito pada Rabu pekan lalu.
Beberapa jam sebelumnya, tiga vihara, delapan kelenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai dirusak dan dibakar massa yang mengamuk. Massa, misalnya, membakar Vihara Tri Ratna di Jalan Asahan, Vihara Avalokitesvara di Jalan Imam Bonjol, Kelenteng Dewi Ratna di Jalan Asahan, Kelenteng Tio Hai Bio di Jalan Asahan, Kelenteng Dewi Samudera di Jalan Asahan, dan Kelenteng Lyoung di Jalan Jenderal Sudirman.
Massa juga merusak Vihara Vimalakirti di Jalan Pahlawan, Kelenteng Hien Tien Siong Thien di Jalan M.T. Haryono, Kelenteng Lin Kioe Ing Tong di Jalan Ahmad Yani, serta Kelenteng Huat Cu Jeng dan O Hoo Thua di Jalan Juanda. Selain itu, massa merusak sebuah tempat pengobatan di Jalan K.S. Tubun, Yayasan Putra Esa di Jalan Nuri, Yayasan Sosial Kemalangan di Jalan W.R. Supratman, serta kediaman Meliana di depan Masjid Al-Maksum. Tiga mobil, dua sepeda motor, dan satu becak motor ikut dibakar. Sedangkan tiga mobil dan satu sepeda motor lain dirusak.
Syafruddin langsung berkoordinasi dengan sejumlah pejabat kepolisian setempat. Ia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Budi Winarso datang dan memantau langsung kondisi di sana. Sabtu pagi, Syafruddin tiba di Tanjungbalai, kota yang terletak di tepi Sungai Asahan. Dia memberi tenggat kepada Budi Winarso agar suasana di Tanjungbalai kondusif paling lambat pukul 08.00. "Semua aktivitas warga harus kembali pulih," ujarnya.
Untuk mengendalikan kerusuhan, polisi menurunkan satu kompi Brigade Mobil ke Tanjungbalai. Mereka membantu sekitar 400 personel Kepolisian Resor Tanjungbalai yang berupaya mengendalikan massa yang mengamuk. Dalam waktu tiga jam, menurut Syafruddin, kondisi di Tanjungbalai kembali terkendali. "Kalau tak cepat diatasi, nanti bisa memunculkan ekses baru," kata mantan Wakil Kepala Polda Sumatera Utara ini.
Saat kerusuhan terjadi, menurut seorang saksi mata, tak ada petugas kepolisian yang berjaga. Personel Brigade Mobil baru datang setelah massa membakar dan menghancurkan beberapa vihara serta kelenteng pada Sabtu pagi. "Massa berhamburan dan berlarian ketika Brimob datang."
Hingga Kamis pekan lalu, polisi telah menetapkan 20 orang sebagai tersangka kerusuhan Tanjungbalai. Dua di antaranya dianggap sebagai provokator, yakni Al Rifai Juherisyah, 20 tahun, dan Budi Harianto, 24 tahun. Keduanya warga Tanjungbalai. Juru bicara Kepolisian Resor Tanjungbalai, Ajun Komisaris Y. Sinulingga, mengatakan tujuh di antara 20 tersangka masih di bawah umur. "Lima orang sudah dipulangkan, dua lainnya menyusul," ucapnya.
Menurut Sinulingga, tersangka yang masih ditahan sebanyak 15 orang. Rinciannya, sebelas tersangka berada di kantor Polres Asahan, sementara empat lainnya di Polres Tanjungbalai. Selain itu, Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap Ahmad Taufik. Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Hengki Haryadi mengatakan Ahmad Taufik terbukti menyebarkan informasi di media sosial yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan terkait dengan kerusuhan di Tanjungbalai. "Pelaku ditangkap di rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan," ujar Hengki.
PESAN yang dibawa Kasidiq membuat puluhan anggota jemaah Masjid Al-Maksum di Jalan Karya, Tanjungbalai Selatan, terkejut. Selepas salat magrib, Jumat dua pekan lalu, Kasidiq menyampaikan pesan seorang tetangganya untuk imam dan jemaah masjid itu. Tetangganya itu bernama Meliana, 41 tahun, warga Tionghoa, yang rumahnya berada di depan masjid tersebut. "Dia memprotes bunyi pengeras suara masjid saat azan," kata Harris Tua Marpaung, imam Masjid Al-Maksum, menirukan ucapan Kasidiq saat itu.
Mendengar pesan itu, sebagian anggota jemaah langsung tersulut emosinya. Mereka bergerak menuju rumah Meliana untuk menanyakan maksud protes tersebut. Harris mencoba mencegah, tapi jemaah berkeras mendatangi rumah Meliana. Harris dan sejumlah anggota jemaah akhirnya ikut menyusul mereka. Setiba di sana, mereka hanya ditemui anak laki-laki Meliana, Ferry Salim. Harris lalu menjelaskan maksud kedatangan mereka. Tapi Ferry justru menanggapinya dengan emosi. "Dia juga memprotes bunyi pengeras suara masjid yang bising," ujar Harris.
Harris mencoba menenangkan Ferry. Ia memberi penjelasan bahwa apa yang disiarkan lewat pengeras suara masjid adalah lantunan ayat-ayat Tuhan bagi umat Islam. Di tengah situasi itu, tiba-tiba Meliana muncul dari dalam rumah. Menurut Harris, Meliana langsung mengarahkan telunjuknya ke arah pengurus dan jemaah masjid. "Itu pengeras suara masjid bikin telinga awak pekak," kata Harris menirukan ucapan Meliana. "Arahnya ke rumah saya. Bising!"
Ketika Harris tengah memberi penjelasan, suami Meliana, Lian Tui, datang dan mencoba memberikan pengertian kepada istri dan anaknya. Sekretaris pengurus masjid, Daelani, mengatakan pria 51 tahun itu meminta maaf atas perkataan Meliana dan Ferry. Setelah itu, pengurus dan jemaah masjid memutuskan pamit dari rumah tersebut. "Jemaah kembali ke masjid," ujar Daelani. Beberapa saat kemudian, Lian mendatangi masjid. Kepada pengurus masjid, untuk kedua kalinya ia meminta maaf atas tindakan istri dan anaknya. Suasana kembali kondusif hingga azan isya berkumandang.
Kericuhan muncul satu jam setelahnya. Meliana keluar dari teras rumahnya dan berteriak ke arah masjid. "Dia memprotes bunyi suara azan isya," kata Harris. Menurut dia, tindakan Meliana memancing emosi puluhan anggota jemaah yang masih berada di dalam masjid. Puluhan anggota jemaah lain ikut berteriak. Beberapa di antaranya bahkan melempar batu ke arah rumah Meliana. Beruntung, pengurus dan jemaah lain dengan cepat mencegah aksi brutal itu.
Untuk menenangkan situasi, sejumlah pengurus dan jemaah masjid mengajak Meliana ke kantor Kelurahan Tanjungbalai, yang berjarak 500 meter dari masjid, untuk mediasi. Menurut ketua pengurus Masjid Al-Maksum, Sayuti Iskandar, Meliana mengakui kesalahannya di hadapan Lurah Tanjungbalai Edy Muriadi dan sejumlah tokoh masyarakat. "Pengurus dan jemaah masjid memaafkan," ujar Sayuti. Namun kondisi di luar kantor lurah mulai tak terkendali. Puluhan penduduk berteriak meminta Meliana membuat permintaan maaf secara tertulis.
Edy Muriadi mengabulkan tuntutan itu. Ia menginstruksikan bawahannya menyiapkan surat pernyataan yang akan diteken. Tapi surat permintaan maaf itu batal ditandatangani. Sebab, suasana di luar kantor lurah semakin tak terkendali karena massa tampak semakin marah. "Saya putuskan membawa Meliana ke kantor polisi," ujar Edy. Sekitar pukul 21.00, Meliana diantar petugas keamanan menuju kantor Kepolisian Sektor Tanjungbalai Selatan. Jarak kantor Polsek sekitar satu kilometer dari masjid.
Edy menyusul Meliana menuju kantor Polsek Tanjungbalai Selatan. Di sana, Edy dan Meliana bersama sejumlah tokoh masyarakat kembali melanjutkan mediasi. Saat perundingan berlangsung, ratusan orang mendatangi rumah Meliana. "Mereka mencoba membakar rumah itu," kata seorang saksi mata. Warga setempat mencoba menenangkan massa dan memadamkan api. Amukan massa dapat diredam.
Tak berhenti di situ, massa kemudian bergerak menuju Kelenteng Huat Cu Jeng di Jalan Juanda. Jaraknya sekitar 500 meter dari rumah Meliana. Menurut seorang saksi mata, ratusan orang yang terdiri atas pemuda dan anak-anak memasuki lingkungan kelenteng itu sekitar pukul 00.00. Massa yang sebagian besar bukan warga lingkungan sekitar itu mulai merusak kelenteng. Dari situ, massa menyebar. Mereka masuk ke kelenteng dan vihara lain. Perusakan dan pembakaran berlangsung selama hampir dua jam. "Semua tampak berjalan spontan. Tak ada komando," ujarnya.
Saksi mata lain mengatakan provokasi muncul dalam bentuk teriakan dari kerumunan orang. Isi hasutan itu mengajak massa menyerang dan menghancurkan vihara dan kelenteng di Tanjungbalai. "Mayoritas dari mereka hanya menggunakan batu sebagai senjata," ujarnya. Dengan perlengkapan itu, mereka merusak pagar, menghancurkan patung-patung, serta membakar sejumlah barang di vihara dan kelenteng.
Setelah melakukan pembakaran dan penjarahan, massa berkumpul di halaman vihara atau kelenteng. "Mereka bersorak-sorak seperti orang yang baru memenangi sesuatu," kata warga Tanjungbalai itu. PRIHANDOKO, INGE KLARA SAFITRI (JAKARTA), LIL ASKAR MONDZA (TANJUNGBALAI)
Bara Pengeras Suara
AMUK massa di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Jumat malam dua pekan lalu, menambah panjang daftar kerusuhan karena pengeras suara di tempat ibadah. Bermula dari protes seorang penduduk yang meminta volume azan di sebuah masjid dikecilkan, berujung pada pembakaran serta perusakan sejumlah vihara dan kelenteng. Polisi menetapkan 19 orang sebagai tersangka.
Jumat, 29 Juli 2016
19.50 WIB
Meliana memprotes besarnya volume pengeras suara azan isya di Masjid Al-Maksum.
20.15 WIB
Puluhan anggota jemaah dan pengurus Masjid Al-Maksum mendatangi rumah Meliana memberikan penjelasan. Karena Meliana tidak mau mengerti, terjadi keributan.
21.00 WIB
Meliana dan jemaah masjid pergi ke kantor Kepolisian Sektor Tanjungbalai Selatan. Puluhan orang berkumpul di depan kantor polisi itu dan menghujat Meliana. Polisi kemudian membubarkan massa.
22.30 WIB
Ratusan orang kembali berkumpul setelah terprovokasi hasutan pelarangan azan di masjid.
23.00 WIB
Massa yang beringas berusaha membakar rumah Meliana, tapi dapat dihalau warga setempat. Massa kemudian melampiaskan kemarahannya dengan merusak dan membakar sedikitnya tiga vihara dan delapan kelenteng.
Sabtu, 30 Juli 2016
05.00 WIB
Aparat kepolisian berhasil menghentikan amuk massa. Sejumlah orang, terutama pelaku penjarahan, ditangkap.
Kamis, 4 Agustus 2016
Polisi sudah menetapkan 20 tersangka.
Dasar Hukum
Aturan pengeras suara di masjid sudah diatur sejak 1978 melalui instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978Â tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Kerap dilanggar.
1. Perawatan penggunaan pengeras suara seharusnya dilakukan orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Ini menghindari suara bising, dengung, yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Al-Quran, dan lain-lain) harus memiliki suara yang fasih, merdu, dan enak, tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindari anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid, bahkan jauh dari menimbulkan rasa cinta dan simpati orang yang mendengar, selain menjengkelkan.
3. Memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan, seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat.
4. Orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah, atau sedang dalam upacara. Dalam keadaan demikian, kecuali azan, tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas: suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala, selain berarti seruan takwa, dapat dianggap sebagai hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Yang perlu diperhatikan adalah suara muazin tidak sumbang, tapi sebaliknya: enak, merdu, dan syahdu.
Terbakar karena Pelantang
Berikut ini kasus protes terhadap pengeras suara tempat ibadah. Ada yang berujung kerusuhan dan ada yang berakhir damai.
Februari 2013
Sayed Hasan, 75 tahun, warga Banda Aceh, menggugat Kepala Kantor Kementerian Agama dan sejumlah pihak karena merasa terganggu oleh 10 pelantang atau pengeras suara masjid di sekitar rumahnya yang kerap memperdengarkan suara rekaman orang membaca Al-Quran. Kasus ini berakhir damai.
Juli 2015
Warga nonmuslim di Tolikara, Papua, keberatan dengan penggunaan pengeras suara saat warga muslim di sana menggelar salat Idul Fitri di markas Komando Rayon Militer Karubaga. Protes ini berujung penyerbuan terhadap warga muslim yang sedang melakukan salat Idul Fitri dan pembakaran sejumlah bangunan, termasuk musala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo